“Kapan-kapan kita jalan bersama ya”
———
Jungkook POV
Pagi ini terasa lebih dingin dari kemarin, sontak terus membuatku merapatkan selimut yang ku kenakan. Bahkan bukan hanya satu lapis, melainkan dua—satunya baru saja kuambil dari kamar kakekku—menyelimutiku hingga menjadi seperti buntalan kapas. Tidak ada yang harus dilakukan pagi ini, jadi dengan senang hati aku membiarkan sekujur tubuhku untuk beristirahat meski sinar matahari selalu menarikku untuk bangun dari medan magnet yang diciptakan benda berbentuk kotak ini.
Ya, maksudku kasur tercinta yang sudah menemaniku sejak 10 tahun belakangan ini.
Tidak ada manusia yang akan menyia-nyiakan waktu leha-lehanya. Apalagi untuk usia sepertiku, dimana pada masa seperti ini selalu dibanjiri tugas kampus dengan deadline yang tidak pernah masuk akal. Namun, untuk saat ini sepertinya dosen ku sedang menerima sebuah bunga di depan pintu rumahnya, jam ku kosong dan peralatan tulis ku menganggur untuk sementara. Jadi, siapa manusia yang akan menyia-nyiakan waktu emas ini?
Perlahan, ku pejamkan mataku kembali sambil menyamankan tubuhku agar kembali berteman dengan sumber kenyamanan. Butuh waktu lama untuk menyesuaikan sampai akhirnya berhasil menemukan zona dimana aku bisa tertidur dengan tenang. Penglihatanku perlahan mengabur dengan corak warna abu bergradasi hitam. Sepersekian mimpi mulai mempengaruhiku dan tubuhku mulai terlelap. Namun tidak tahu berapa lama yang telah kuhabiskan, tiba-tiba tubuhku tersontak setelah mendengar suara yang tak asing di indra pendengaranku.
Dengan segera kusibak dua selimut yang bertengger di tubuhku, kemudian berjalan menjauh dari sumber kenyamanan yang tadi sempat membawaku ber-euphoria dalam mimpi. Kulihat dari balik jendela kamar, disana terdapat pria manis yang selalu membuat ku terpana setiap kali ku jatuhkan pandangan ke arahnya.
Selalu setiap pagi dia menyapa seluruh penghuni desa—Tidak, bukan desa melainkan lingkup lebih kecil—dengan sepeda keranjang berwarna merah miliknya. Tidak lupa dengan outer musim dingin dan juga kupluk yang selalu membuatnya terlihat manis.
Dia, Park Jimin, anak tunggal dari Nyonya Park penjual kue beras yang terkenal dengan kelezatannya. Seluruh penduduk disini mengetahuinya, tidak ada satupun yang tidak mengenal keluarga yang terkenal dengan kebaikannya itu. Mereka memang dikenal seperti malaikat yang baru saja diturunkan dari surga.
Semua orang menyukainya, dan tentunya aku pun ikut serta.
Kududuk di pinggir jendela sambil memperhatikan Jimin yang saat ini sedang mengobrol dengan tetangga depan rumahku. Mereka terlihat begitu akrab atau memang mereka sudah akrab. Aku tahu bahwa Jimin memang orang yang hangat, terlihat dari senyuman yang dilukiskannya untuk semua orang. Bahkan jika menatapnya, kau bisa melihat tata surya bernaung di sana.
Memang tidak ada yang bisa menandingi kesempurnaannya, hanya menurutku, sih.
Dengan sayang, aku hanya bisa menatapnya dari jauh dan mengaguminya dalam diam. Terkadang juga, aku sering berimajinasi menjadi seseorang yang akan menemaninya setiap jam. Bukan, aku bukan penakut tapi hanya saja aku terlalu gengsi. Aku belum pernah memiliki hubungan spesial dengan siapapun sebelumnya. Ya, meski kakek dan bundaku selalu bilang bahwa aku ini seperti keong yang terus menyembunyikan diri dalam cangkang.
Tidak, aku bukan keong, aku ini manusia, hanya saja sedikit pemalu. Mungkin ada saatnya rasa gengsi ku ini hilang terbawa angin. Saatnya tidak tahu kapan tapi yang penting ada saatnya.
"Hei! Kau yang berada di atas sana!" Lamunanku seketika buyar setelah mendengar seseorang berteriak memanggilku (?) Ya, Sepertinya memang memanggilku.
Aku mencari sumber suara yang baru saja menginterupsi ku. Aku tidak mau terlalu berharap, tapi sedikit ku menyadari bahwa dia lah yang memanggilku. Kubuka jendela kamarkulebih lebar hingga membuat angin pagi mengajak rambutku sedikit berdansa.
Kulihat Jimin sudah menghilang dari tempat dia berada sebelumnya. Aku pun menghela napas, rutinitas pagiku kini lebih pendek dari hari kemarin. Aku pun akhirnya menutup jendela ku kembali dan mengabaikan panggilan yang tadi membuyarkan lamunanku.
*TAK*
Aku tersontak ketika melihat ada sebuah ceri mendarat sempurna di jendelaku. Untung saja bukan sebuah batu, jika sampai benar mungkin bunda akan melakukan orasinya.
Bingung dengan siapa pelakunya, aku pun membuka jendela ku kembali. Hendak ingin memarahi namun aku malah terkejut.
"Hai, Mr. Pemalu!" Sapanya membuatku tergugup setengah mati.
"J-jimin?" Ucapku pelan yang sudah dapat kupastikan dia tidak akan mendengarnya. Kulihat di bawah sana juga terdapat kakek yang sedang menyiram tanaman. Kakek melihat ke arahku sambil tersenyum, terlihat seakan menyiratkan sesuatu dari senyumannya.
Jangan bilang kakek membocorkan rahasiaku pada Jimin?
"Kau pengagum rahasia ku ya?" Ucap Jimin sedikit kencang membuatku menggeleng gugup.
"T-tidak, kata siapa?"
"Ada seseorang yang bilang padaku! By the way, kau ini bagaimana sih? Kakekmu sedang menyiram bunga kenapa tidak kau bantu?!" Omel nya membuat kakek tertawa dan aku tersipu malu. Bukan malu karena terpesona tapi karena malu ketahuan kalau aku ini memang anak pemalas.
"Namaku, Jimin! Panggil aku saja kalau kita bertemu! Jangan hanya diam, aku jadi takut padamu tahu!" Mendengar itu membuatku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. Aku jadi merasa bersalah membuatnya tidak nyaman.
"M-maaf!" Ucapku gugup dengan sedikit keras agar dia mendengarnya. Jimin mengangguk kemudian berjalan mendekati sepeda miliknya.
"Kapan-kapan kita jalan bersama ya, Mr. Pemalu!" Katanya terakhir lalu berpamitan pada kakek. Aku masih terdiam belum memproses makna dari kalimat Jimin.
Dia? Mengajakku jalan? Seperti kencan maksudnya?
Semburan air mengenai wajahku tiba-tiba saat aku sedang berpikir maksud dari perkataan Jimin. Sudah tahu siapa pelakunya, siapa lagi kalau bukan kakek yang tadi sedang menyiram bunga?
"Kakek kok menyiramku sih?!" Tanyaku sambil menghapus bulir air yang bertengger di wajahku dengan lengan kaus yang kugunakan.
"Cepat mandi kemudian bantu kakek menyuci mobil atau kau mau kakek bocorkan semua rahasia mu pada Jimin?" Aku menggeleng keras setelah mendengar penuturan kakek. Memang semua rahasiaku ada pada kakek dan semua rahasia itu adalah tentang Jimin dan bagaimana aku mengaguminya. Jika Jimin mengetahui itu semua, habis saja kadar percaya diriku ini.
Aku pun bergegas mengambil handuk dan menuju kamar mandi. Saking cepatnya membuatku sedikit terpeleset hingga kotak pasta gigi mengenai kepalaku. Bukannya bangun, tapi aku malah terdiam seperti seorang idiot. Bayang-bayang kalimat Jimin kembali muncul dipikiranku.
Seperti, apa aku baru saja memakan sebuah fortune cookie hingga kini dewi keberuntungan sedang di pihakku?
———
KAMU SEDANG MEMBACA
in a day • jikook
Fanfiction[ jikook au : finished ✔ ] ❝Kau bersepeda di depan rumahku, khas dengan outer musim dingin yang selalu membuatmu tenggelam manis. Di kedai kau memulainya dan saat malam Halloween tiba, biarkan itu menjadi saksi bahwa setidaknya kita pernah merajut c...