Aku menyerah.
Sebuah kalimat yang mengartikan bermacam-macam makna. Kepasrahan, ketidakberdayaan, kelemahan.
Barangkali itulah gambaran dalam keadaanku saat ini.
Langit telah sepenuhnya hitam pekat, tanpa rembulan yang kini tengah tertutupi awan malam. Sebentar lagi akan turun hujan, aku tau. Namun aku tak berusaha untuk bergegas pulang. Taman kota ini merangkulku sedemikian erat hingga membuatku sesak, tak kudapati oksigen di sini bahkan kenyamanan sekalipun, semua seolah sirna, seolah menjauh dariku.
Akankah keadaan terus seperti ini? Bertarung dengan diri sendiri, seolah memperebutkan akal sehat. Barangkali, perlahan-lahan, hari demi hari, tahun demi tahun, adalah awal menuju kegilaan.
Ebara, bantu aku. Pertanggung jawabkanlah rasa yang pernah kamu berikan.
Tetesan air hujan yang semakin deras telah membasahi semua diri ini. Pergelangan kakiku yang sedari tadi bermasalah seolah tak kuhiraukan, dan tetap melangkahkan kaki hingga terduduk lemas di depan pintu rumah Ebara.
"Nada?!" Ebara yang baru saja membukakan pintu segera menghampiri dan menarik pergelangan tanganku untuk berdiri, namun entah mengapa aku merintih sudah tak kuat menahan sakit dipergelangan kaki yang sedari tadi kuabaikan.
Tanpa banyak berpikir, Ebara menggendong tubuhku ke punggungnya.
Nyaman. Inilah kenyamanan yang sesungguhnya, yang mampu memberikan kehangatan dan ketenangan. Kupejamkan mata sesaat untuk menikmatinya.
Tanpa sadar aku mulai menitikkan air mata, hingga semua diluar kendali, aku ingin menumpahkannya. Ebara menurunkanku di sofa, berjongkok menghadap kearahku yang tengah menangis terisak. Kurasakan tangannya meraih tanganku ke dalam genggaman erat, dan sudah tak kusadari bahwa kini aku tengah dalam pelukan hangat yang sungguh kurindukan.
Cukup lama kutumpahkan semua sesak yang selama ini kupendam, hingga akhirnya dapat mampu kukendalikan kembali.
Ebara pergi sesaat dan kembali tak lama berselang dengan membawa handuk yang lantas ia sandarkan di kepalaku untuk kemudian ia bantu mengeringkan rambut panjang ku yang basah kuyup.
"Gosokkan handuknya," Dia memerintah, tapi tidak kuturuti, handuk itu hanya tersandar dipundakku. Sementara Ebara beralih membukakan flatshoes yang kukenakan dan mendapati luka lecet di kaki kiri.
"Mau cerita, Nada?"
Dan aku hanya diam.
"Belum puas menikmati masa kecilmu, hah?" tanyanya dengan terkekeh pelan, barangkali keadaanku saat ini ia anggap lucu. "Lain kali ajak aku basah kuyup."
"Aw..."
Mendengar rintihanku dia menyeringai puas karena berhasil membuat mulut ini mengeluarkan suaranya. Bagaimana tidak, Ebara sengaja menekan luka lecetku, dia tak punya belas kasih!
"Kamu nakal, Nada. Harus aku apakan?"
"Aku hanya jalan-jalan kamu anggap aku kayak gitu?!" Tak terima maka aku memprotes.
"Hanya jalan-jalan?" Dia seolah ibuku, mengintrogasi sampai mendapatkan jawaban yang ingin didengarnya.
Maka hanya kutanggapi dengan anggukan penegasan.
"Sana mandi, air hangat. Jangan sampai Giri ngelihat kamu kayak gini." Baru kusadari bahwa luka lecetku sudah dibalut plaster. "Mau kugendong lagi?"
"Gak perlu, takut jatuh di tangga." Dengan datar aku berkata demikian sambil berlalu pergi dari hadapan seseorang yang bahkan sebenarnya tak ingin sedetikpun aku berpaling dari hadapan Ebara.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Girl From Hell [GxG]
RomancePerempuan itu mencuri hatiku, menarik ulurnya, lalu setelah bosan mempermainkannya, ia buang begitu saja. Perempuan itu sepupuku, dan aku mencintainya. Ini salah, salah besar. Ini gila, aku tahu. Tapi ini cinta, dan aku merasakannya. ...