Siang, Dears! ^^
Siap menyambut ending?
Endingnya ada di bab 31 nanti malam, ya ...
Kita nikmatin dulu bab ini.
Oh, iya. Happy birthday buat kamu yang ulang tahun hari ini ya, Dear! Kemarin yang minta kado biar cerita ini tamat, Hara usahain. Wish you all the best! Semoga usianya makin berkah lagi ke depannya. Aamiin.
Budayakan vote sebelum baca,
Biasakan komentar di akhir cerita.Happy reading!
***
Aira hampir sepenuhnya percaya dengan lantunan cerita Evan. Akan tetapi, beberapa detik kemudian dia menemukan kalimat penyangkalan. Logikanya kembali begitu cepat, mengaburkan setiap perasaan yang baru saja dominan.
"Bagaimana kalau istriku sendiri yang memintaku menikahimu? Apa kamu akan berubah pikiran dan langsung setuju? Aku hanya terlalu mencintai istriku. Aku tidak mau mengecewakannya. Sebagai seorang suami, kebahagiaan istri adalah segalanya, bukan? Jadi, aku mau kita menikah."
"Kamu bohong!" Aira tiba-tiba berdiri dan menatap nyalang Evan yang masih bersimpuh. "Shalom tidak meninggal, 'kan? Di mana dia? Kamu pernah bilang kalau kamu hanya ingin menikahiku karena permintaan istrimu. Mana Shalom?" tanya Aira setengah berteriak.
Evan mendongak. Pandangan mereka saling bertumbukan. Terbesit ekspresi terkejut di wajah Evan mendengar reaksi bantahan Aira.
"Shalom sudah meninggal, Aira," jawab Evan tanpa ragu, tetapi masih dengan suara rendah. Dia berdiri berniat meraih tangan Aira kembali.
Aira memalingkan wajah seraya berjalan menjauh. Dia menyasar sofa di ruang tamu. Namun, langkahnya berbelok ke arah figura besar yang tergantung. Dia menatap nanar potret tersebut.
"Aku bilang aku mencintai istriku, bukan mencintai kamu." Ucapan Evan di kafe waktu itu bagai lagu yang mengalun.
"Kamu bilang kamu mencintai istrimu, bukan aku." Butiran hangat air mata menetes di pipi Aira. Kenangan buruknya berputar tanpa diminta. Dengan rasa sesak tak tertahan, dia kembali melanjutkan, "Kamu bilang kamu akan menikahi wanita baik-baik, bukan wanita gampangan sepertiku yang mudah membuka kaki hanya karena beberapa kalimat cinta."
Kedua mata Evan membola. Maniknya berubah kelam diselaputi rasa bersalah yang teramat dalam. Sekujur tubuhnya kaku seolah-olah baru saja melihat dosanya yang terpampang. Tentu saja dia tak asing dengan kalimat-kalimat menyakitkan itu. Dia sendirilah yang mengucapkannya dulu.
"Aira, aku-" Langkah Evan terhenti bersamaan dengan Aira yang berbalik dipenuhi tatapan terluka.
"Dan kamu masih berani mengatakan kalau kamu mencintaiku?" tanya Aira menghakimi. Dia menggeleng sembari mengusap kasar air matanya yang telanjur turun. Dia menarik napas dalam agar laju napasnya kembali teratur.
"Apa yang sudah kamu lakukan lebih banyak membuktikan daripada yang kamu ucapkan. Kamu pikir aku peduli dengan kisahmu dan Shalom?" Aira menggeleng. "Tidak sama sekali. Aira yang mencintaimu sampai bodoh sudah mati, Evan. Kamu sendiri yang melenyapkannya."
Evan terperenyak. Melihat Aira gila karenanya juga telah membunuhnya. Namun melihat Aira yang sekarang, dia ingin mengubur diri hidup-hidup. Begitu besar dan nyata dampak dari ketajaman lidahnya dulu. Mungkin, Ardi memang berhasil membawa Aira kembali hidup. Sayangnya, luka yang telah dia torehkan tetaplah menganga dan basah. Jelas sekali terlihat dari sorot mata Aira yang membawanya tenggelam dalam genangan rasa bersalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
TOO LATE TO FORGIVE YOU | ✔ | FIN
RomanceAira pernah terpuruk. Cintanya yang terlalu besar pada Evan pernah membuatnya gila ketika pria itu memilih meninggalkannya demi menikahi wanita lain. Dalam masa kelam itu, Aira tidak menemukan sebuh kewarasan selain mati untuk mengakhiri rasa sakit...