31. DI BALIK SEMUA TABIR YANG TERSINGKAP (1)

6.4K 524 21
                                    

Malam, Dears! ^^

Nih Hara kasih intronya dulu sebelum benar-benar ending. Belum selesai ketik. Bagian 2 lanjutannya akan diupdate setelah selesai ketik. Malam ini kok, tenang aja.

Bersabarlah, orang sabar banyak duwitnya. Wkwkwkk

Budayakan vote sebelum baca,
Biasakan komentar di akhir cerita.

Happy reading!



***





Aira berjalan lesu melewati pagar rumah. Kepalanya menunduk sambil sesekali berhenti untuk menghela napas panjang. Tak lupa beberapa kerikil melayang berkat tendangan ujung sepatu yang dia kenakan.

Langkahnya tiba-tiba tercegat sempurna kala melihat mobil yang dia kenal terparkir di halaman rumah. Sejujurnya, dia belum ingin berbicara apa pun lagi setelah energinya habis terkuras. Baru kali ini dia benar-benar merasakan kalau berpikir ala orang dewasa sungguh membuatnya lelah.

Aira bisa saja mengambil langkah untuk menghindar dan kabur khas anak remaja. Sayangnya, dia tidak bisa. Dia bukan lagi remaja labil yang bisa berbuat sesukanya. Banyak hal yang dia pikirkan sebelum bertindak dan memutuskan. Salah satunya tentang rencana pernikahan yang berjalan hampir seratus persen di mana kedua orang tua saling terlibat di dalamnya. Tidak hanya orang tuanya, melainkan juga orang tua dari pihak pria.

"Akhirnya, Ya Tuhan ... Kamu dari mana saja, Sayang?" sapa Ardi yang muncul dari dalam mobil. Dia berjalan mendekati Aira.

Aira mengangkat wajah. Retinanya sontak menangkap sosok Ardi yang begitu berantakan. Rambut dan kemejanya kusut dan terdapat noda merah samar di bagian lipatan kancing depan. Telihat seperti noda darah yang sudah mengering.

Mata Aira memicing memastikan. Ketika pandangannya naik, Aira melihat bibir bawah Ardi robek. Sudut bibir kirinya lebam. Penampilan Ardi yang demikian cukup memberikan jawaban kalau pria itu baru selesai baku hantam.

Ardi merengkuh Aira dalam pelukannya. Dihunjamkannya kecupan bertubi-tubi pada salah satu sisi kepala Aira sembari berkata, "Syukurlah kamu tidak apa-apa. Aku cari kamu, Aira. Ak mau gila rasanya tidak menemukanmu di mana pun. Aku pikir ... Aku pikir kamu-"

"Kamu pikir aku akan melakukan percobaan bunuh diri?" sela Aira cepat.

Aira mendorong dada Ardi agak keras, membuat sang empunya meringis menahan sakit. Dia melihat ringisan itu, tetapi menolak untuk peduli. Bagaimana mungkin dia memilih memedulikan keadaan orang lain dibandingkan keadaan dirinya yang nyaris tak tertolong?

"Sayang, kamu-" ucap Ardi terkejut, tetapi kembali terputus.

"Aku capek. Kalau mau bicara, bicara di dalam saja." Aira tahu kalau menjelang sore begini Papi belum pulang, sementara Mami pasti akan lupa waktu kalau sudah bertemu calon besan. Terbukti dengan pintu rumahnya yang masih tertutup rapat.

Ardi menghela napas pasrah. Satu jam dia menunggu Aira memang untuk bertemu dan berbicara dengan wanita itu. Dia tak akan mengeluh dengan sambutan Aira yang berubah. Sedikit banyak dia sudah memprediksinya. Namun, dia tak menyangka kalau Aira akan berubah sedingin itu padanya.

Aira memijak teras lebih dulu, sedangkan Ardi mengekorinya. Dia menuju pot bunga yang digantung di dekat kolam ikan dan merogohkan tangannya ke dalam pot tersebut. Kemudian dia mengangkat tangannya yang memegang sebuah kunci. Mami memang pernah bilang kalau Aira bisa menemukan kunci cadangan rumah baru mereka di sana. Tempat yang sudah mereka sepakati sebagai tempat rahasia.

Tanpa menoleh pada Ardi yang terus memandangnya, Aira membuka pintu dalam satu gerakan ringan. Dia bahkan tak memersilakan Ardi masuk dan hanya membuka pintu lebar. Tungkainya terus bergerak menuju sofa. Dia memilih mengempaskan bokongnya di sofa single, menyisakan sofa panjang di seberang meja.

Ardi mengosongkan paru-parunya sembari berjalan menempati sofa panjang. Dia memilih duduk di hadapan Aira seolah-olah siap untuk diadili sebagai tersangka. Ingat, hanya tersangka karena dirinya jelas bisa membalikkan keadaan untuk meninggalkan status terdakwa yang ada di depan mata.

"Ada yang ingin kamu ceritakan padaku?" tanya Aira dingin. Sorot matanya terlampau datar tanpa ada setitik pun riak ekspresi.

"Kalau itu tentang Ayu yang sedang hamil, maka itu benar." Ardi mulai membuka suaranya tanpa gentar.

"Jadi benar kalau wanita itu hamil," gumam Aira lirih, tetapi masih bisa Ardi dengar.

"Ya. Dia hamil anak-"

"Anakmu." Aira manggut-manggut seakan-akan sudah paham.

Kedua pangkal alis Ardi menyatu. Glabelanya mengerut seiring lemparan tatapan tak percayanya.

"Kamu bilang apa?"

"Anakmu. Dia hamil anakmu, 'kan?" ulang Aira.






Tbc



See you soon!





Big hug,
Vanilla Hara
31/10/20

TOO LATE TO FORGIVE YOU | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang