7

73 15 0
                                    


"Hanbin, ayo kita ke UKS!"

Yang dimaksud masih menengadahkan kepalanya. Hidungnya disumbat dengan tisu untuk menghentikan darah yang menetes nanti. Ia menggeleng. Untuk apa ia harus berlari dari kantor polisi ke sekolah kalau ujung-ujungnya di UKS juga?

"Kalau kau ikut pelajaran setelah ini, apa kau yakin akan fokus belajar? Kau kan yang bilang sendiri kondisimu sangat kacau? Kau tidak bisa terus-terusan memaksakan dirimu seperti ini, Hanbin!"

Perkataan Gwen ada benarnya juga. Bagaimanapun juga, ia tidak akan bisa fokus. Setidaknya, untuk hari ini. Ia membutuhkan Me-Time yang lebih banyak dari biasanya. Ada yang perlu dipikirkan oleh dirinya sendiri. Hanya sendiri.

"Baiklah."

Biasanya di UKS selalu ada bibi perawat yang standby, jika ada murid yang terluka atau sakit. Beliau sangat cerewet dan tidak segan untuk mengomeli muridnya. Menyeramkan memang. Mungkin Hanbin akan menjadi targetnya setelah ini. Ia sudah ke UKS kemarin karena tangannya. Sekarang ia berada disini lagi.

Tok tok!

"Masuk!"

Mata bibi itu menyipit ketika menyadari orang itu adalah Gwen dan Hanbin, "Bibi, Aku hanya mengantarkan Hanbin kesini. Dia kurang enak badan katanya."

"Kau lagi?"

"A-anu..."

"Bel sebentar lagi akan berbunyi. Hanbin, kamu sendiri disini. Gak papa, kan?"

"Tidak usah khawatirkan aku."

"Baiklah. Bibi, saya permisi dulu ya!"

Sekarang hanya tinggal Hanbin dan bibi itu. Hanbin meneguk salivanya seiring dengan langkah kakinya yang kian mendekat. Ia tidak tau harus berkata apa.

"Apakah kau melakukan aktivitas berat hari ini?"

Mata bibi itu benar-benar membuat Hanbin terintimidasi, "A-aku hanya berlari. Kira-kira 2 KM jaraknya."

"Hanya? Kau mau mati muda, hah!?"

Hanbin menatapnya heran. Mati muda? Itu hal terkonyol yang pernah ia dengar. Bagaimanapun juga, ia masih ingin mengejar mimpinya. Entah masa depan akan seperti apa. Yang jelas, ia tidak ingin mati sekarang.

"Kau ini sudah tidurnya kurang. Sarapan juga pasti gak banyak seperti biasa, kan? Dan berlari kencang seperti ini. Apa namanya kalau bukan cari mati???"

Hanbin tersentak, "B-bagaimana bibi bisa tau semua ini?"

"Terlihat dari matamu yang bengkak itu. Penampilanmu juga lebih kacau dari biasanya."

Ia memang tidak memperhatikan dirinya di cermin sebelum berangkat sekolah tadi. Ia benar-benar tidak peduli akan hal itu. Ia bahkan tidak tau dapat energi darimana untuk berangkat sekolah. Ia sudah sangat lelah menangis semalaman.

"Kau tau? Bibi paling benci sama orang yang menyia-nyiakan kesehatan hanya karena suatu masalah. Gak bersyukur banget. Ngerti, kan!?"

Hanbin mengangguk lemah. Ia tidak tau harus bagaimana lagi sekarang. Siapapun pasti akan seperti dirinya jika melihat saudaranya sendiri dibunuh seperti itu. Namun sayangnya, memang tidak ada yang bisa mengerti dirinya.

"Sekarang, buka mulutmu. Say Aaa!"

Hanbin menurut dan membuka mulutnya. Ia terbatuk-batuk karena tenggorokannya terasa kering. Bibi itu menyinari rongga mulutnya dengan senter kecil. Persis seperti dokter yang melakukan check-up dengan pasiennya.

"Ckckck. Meski bibi tidak tau masalah apa yang kau hadapi, ini termasuk hal terbodoh untuk mengatasinya. Kau pikir hanya menangis saja cukup?"

Ia seolah merasakan ribuan belati menusuki jantungnya. Perkataan itu benar-benar menohoknya. Menangis memang tidak pernah bisa mengembalikan keadaan. Ia menangis kepada dirinya sendiri yang terlalu pengecut. Otaknya lola, bahkan untuk berpikir mengenai apa yang harus ia lakukan pun tidak ada.

Kira-kira, apa yang harus dilakukan seorang kakak jika menemukan adiknya tergeletak tak bernyawa? Mereka akan menyesal dan merasa gagal, karena tidak hadir disaat dia membutuhkannya. Itu adalah salah satu kesalahannya. Ia tidak becus, bahkan untuk bernapas saat ini juga tidak ada artinya lagi.

"Tanganmu sudah baikan?"

Pertanyaan itu membuyarkan lamunannya, "Belum."

Hanbin menghembuskan napasnya berat. Tangannya terkadang sering berdenyut nyeri. Apalagi ditambah perkara kemarin, nyerinya seolah bersahutan dengan hatinya yang perih. Ia berusaha menepis nyeri tersebut, meski ia tidak bisa membohongi diri sendiri untuk tidak kesakitan.

"Ini obat untukmu. Bibi tambahkan obat tidur, karena di kondisimu yang seperti ini pasti kau kesulitan tidur. Sekalian, bibi akan bilang kalau kau tidak perlu belajar hingga bel pulang."

Hanbin menatap obat-obat tersebut dengan seksama. Tangannya meraba obat yang menjadi bonus itu.

'Obat tidur, ya?'

~ ♡ ~

"Berapa gajimu selama jadi polisi?"

"..."

"Apakah kau yakin cukup hanya dapat segitu per bulan? Belum lagi, kau harus mempertaruhkan nyawamu untuk itu, bukan?"

"..."

"Aku bisa memberimu dan semua rekanmu jaminan yang menjanjikan, lho! Pikirkan baik-baik sebelum bertindak. Bye~"

"..."

"Kau menerima jaminanku? Baiklah, kau masih ingat kan apa persyaratannya?"

"..."

"Yup. Itu adalah tugas yang sangat mudah. Kutu kecil itu hanya kau tekan saja dengan jari, dia sudah musnah. Tak ada apapun yang mampu menghalangi jarimu terhadap kutu kecil itu, karena memang pada dasarnya lemah. Kira-kira, begitu perumpamaannya. Kau mengerti maksudku, kan?"

"..."

"Baiklah, kutunggu proses selanjutnya. Bye~"

.

.

.

-Tbc

#Akhirnya, author kembali setelah kemarin uts hihi. Part ini lebib pendek, gapapa ya~~ 😙😙
Ditunggu eaa~ ♡

I'M NOT A PRISONER  [On-hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang