Bicara

24 5 0
                                    

"Udah berapa kali aku bilang? Kenapa kamu gak pernah dengerin?"

Mungkin sudah sepuluh menit Saka berkacak pinggang di hadapanku dengan melempar tatapan tajam dan kalimat-kalimat yang memojokkan. Dan selama itu pula, aku memilih untuk membisu.

Hubungan kami sudah masuk pada tahun kedua, dan selama itu permasalahan-permasalahan yang datang memang tak jauh dari persoalan komunikasi. Atau lebih tepatnya, aku yang tak ahli dalam mengungkap apa yang memenuhi kepala.

"Apa yang harus aku lakuin biar kamu percaya sama aku, Ay?" oktaf suara Saka menurun, juga helaan napas tanda menyerah. Dia menjatuhkan tubuh pada satu-satunya kursi di kamar kos. Enggan untuk kembali menatapku.

Harusnya aku mendekat, menggenggam tangannya, menjelaskan apa yang terjadi. Tapi sungguh, tubuhku terasa kaku. Lidah pun menjadi kelu.

"Kalau nggak ada kepercayaan di hubungan ini...," Saka menggantungkan ucapan. Yang sontak membuatku makin merasa runyam.

Tidak.

Jangan sampai Saka kembali mengatakan ungkapan menyakitkan itu.

"Kamu mau aku pergi? Kayak dulu?"

Gelengan kepala secara  berkala menjadi jawaban. Lapisan mata yang membasah telah tak mampu menahan air mata.

Pecah.

Semuanya pecah, berantakan.

Kenangan akan tiga bulan hidupku tanpa adanya Sakala menjadi memori yang terlalu menakutkan untuk diulang kembali.

"Ja-jangan... jangan pergi."

Jika ada yang bertanya hal apa yang paling kubenci, maka jawabannya adalah perpisahan. Dan berpisah dari orang yang dicintai sama dengan memilih untuk mati secara perlahan.

"Jangan pergi."

Saka beranjak memelukku yang masih menangis. Jari-jemariku tertancap kuat di punggung Saka. Mencengkram sekuat mungkin karena aku takut Saka akan menghilang jika aku melepaskan pegangan.

"Jangan pergi... Jangan..."

Saka turut merengkuh tubuhku yang bergetar. Menepuk-nepuk punggung dengan bisikan-bisikan menenangkan, "Aku di sini. Maaf, Ay. Aku selalu di sini."

"A-aku cuma nggak mau kamu bosen sama curhatanku yang nggak jauh-jauh dari hubungan Papa dan Mama. Aku nggak mau kamu mikir kalau aku berlebihan karena ngerasa hancur tiap liat mereka bertengkar. Aku nggak mau kamu-"

"Sstt... sst..."

Elusan tangan Saka di punggung tak berhenti meski dia berusaha menjeda penjelasan yang sejak tadi berada di ujung lidah.

"Ay, harus berapa kali aku bilang? Aku nggak mau kamu pendam semuanya, termasuk rasa sedih tiap habis pulang ke rumah. Aku mau kamu bicara dan aku nggak akan pernah bosen denger semuanya."

Aku termasuk golongan manusia yang sulit menangis, tapi jika sudah pecah seperti ini akan tak mudah untuk berhenti. Aku tahu, jika Saka berusaha menenangkan tapi semua kata yang Saka ucapkan seolah mengundang air mata untuk pergi dari pelabuhannya.

"Perasaan kamu valid. Aku nggak akan pernah mandang kamu berlebihan sama kesedihan itu. Kalau sedih ya sedih, kalau bahagia ya bahagia. Sesederhana itu, Ay. Aku mau kamu bicara ke aku dengan sesederhana itu. Telingaku, bahuku, aku... akan tetap di sini untuk kamu. Jadi tolong, jangan menghilang tiba-tiba dan sulit dihubungi kayak kemarin."

Untuk kesekian kali, Saka menjadi satu-satunya yang mampu meraihku dan membawaku lari dari segala bayangan gelap yang kusimpan di kepala.

*

SakalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang