Ciuman

11 3 0
                                    

Sebenarnya pemandangan sore hari dari balkon kosan tak terlalu menarik untuk jadi bahan penyejuk mata, tapi tempat ini sudah menjadi tongkrongan wajib antara aku dan Saka jika dia datang berkunjung. Penghuni kos jadi mengikrarkan balkon sebagai area terlarang untuk ditempati jika Saka sudah memarkirkan motor di garasi kosan.

"Kamu tuh minggu depan UTS, tapi nggak selesai-selesai ngedrakornya."

Setelah berjibaku dengan makalah selama setengah jam, akhirnya Saka membuka suara. Mataku mengerling karena bosan dengan ucapannya.

"Bentar lagi juga selesai," alibiku.

Saka menutup laptopnya. Memang dua jam lalu kami berencana menghabiskan waktu bersama untuk menyelesaikan tugas, tapi berakhir Saka yang mengerjakan sendiri dan aku sibuk dengan drama yang terlalu seru untuk dilewati.

"Mahasiswa semester tujuh kenapa gini banget sih."

Gerutuan Saka kali ini mendapat balasan berupa pukulan di lengan. "Mahasiswa semester tiga diem aja. Ini tuh pelepasan buat stress sama skripsi."

Bola mata Saka merotasi malas, tapi dia memilih tak melanjutkan perdebatan dan ikut menonton drama. Jarak Saka yang lebih dekat membuatku langsung menyenderkan kepala di bahunya. Hingga saat dua pemeran dalam drama tengah berciuman, Saka malah menutup mataku dengan tangannya.

"Nggak boleh! Nggak boleh!"

Saka jadi heboh sendiri dan mempercepat drama hingga adegan ciuman itu selesai. Astaga, pacarku lucu sekali.

Setelah suasana kembali hening, aku jadi memikirkan satu pertanyaan yang tiba-tiba terlintas di kepala.

"Sa, pernah ciuman nggak?"

Saka yang tadinya duduk tenang langsung menegakkan punggung, membuat tubuhku yang bersandar padanya hampir limbung.

"KAN! KAN!"

"Apaan sih kok teriak?!"

Aku menutup dua telinga yang sempat berdengung karena pekikan Saka yang tiba-tiba. Beruntung para penghuni kos lantai dua masih sibuk dengan kegiatan di luar sana jadi aku tak akan mendapat protes karena berisik.

"Ngedrakor bikin efek negatif kan. Pikiran kamu jadi kotor!"

"Apa salahnya sih tanya begitu? Aku udah 22 tahun!"

"Tapi kelakuan masih kayak bocah!"

"Heh, yang bocah tuh kamu ya! Inget umur dong, kamu aja baru 20 tahun!"

"Dewasa seseorang gak dilihat dari umur. Nggak pernah denger kalimat itu ya?"

"Pernah tapi kan-" ucapanku terjeda karena sadar tak bisa memenangkan perdebatan itu. Dengan kesal aku memukul lengan Saka dua--ah tidak tiga kali. "Ish, nyebelin! Tanya ciuman doang jadi ribet! Belum juga ditanya udah having sex apa belum."

TAK!

Saat jari Saka mendarat dengan keras di dahiku, aku benar-benar kehilangan kesadaran untuk sedetik.

"Saka!" suara tinggiku sudah tak dapat dikontrol.

Gila!

Gila!

Sentilan Saka sakit banget!

"Matiin laptopnya!"

Bukannya meminta maaf, dia masih kekeh dengan amarah anehnya.

"Jangan-jangan kamu juga pernah nonton porno ya?" oktaf suara Saka mengecil di penghujung kalimat, tapi nada tegas tak pernah luput untuk ditekankan. Dan hal itu malah membuatku ingin balas dendam.

"Ya pernah lah! Emang apa salahnya?"

Tidak hanya menegakkan punggung, Saka sudah sepenuhnya berdiri dengan mulut mengaga. "Apa salahnya? Ya Tuhan, pacarku kenapa mesum banget."

Kata orang, kesan pertama saat melihat orang lain itu selalu berbeda dari karakteristik yang sebenarnya.  Aku menyetujuinya, bahkan sering kali menyesal karena dulu menganggap Saka seseorang yang pendiam dan jauh dari kata heboh.

"Kan udah legal nggak apa lah," aku masih menjawab dengan santai. Tak peduli pada Saka yang masih menyerang dengan tatapan tajamnya.

"Mau nonton bareng?"

Pertanyaan yang kulontar hanya bentuk candaan saja, tapi Saka malah berdecak makin keras dan meraih laptopku dengan cepat.

"Aku hapusin koleksi dramanya," ucap Saka, yang sontak membuatku ikut beranjak demi meraih kembali laptop itu. Sial, tinggi badanku yang hanya sebatas bahu Saka sama sekali tak membantu.

"SAKA JANGAN DONG!"

Aku terus memohon, mengubah air muka sesedih mungkin agar Saka menghentikan apa yang dilakukan, tapi semua sia-sia saat laptop itu sudah kembali ke pangkuanku dengan folder drama yang kosong.

"Nyebelin banget sih!"

Pada akhirnya laptop itu hanya kugeletakkan di atas meja. Moodku sudah hancur. Kali ini aku benar-benar marah pada Saka yang berbuat seenaknya. Tapi kerutan di dahi yang muncul akibat rasa kesal perlahan menghilang ketika mendapat beberapa pesan yang langsung membuatku tertawa.

"Kerjain, malah hp-an mulu," Saka masih berkomentar, dan aku memilih diam.

"Ngapain chat sama si Reno itu terus?"

Saat aku menjauhkan ponsel dari wajah, aku baru sadar jika Saka sudah kembali duduk dan mendekat demi ikut melihat layar ponsel di tanganku.

"Kak Reno cuma bagiin foto kucingnya kok. Liat deh lucu banget masa dipakein kacamata begini."

Gambar kucing berbulu putih dan oranye aku perlihatkan pada Saka, tapi dia menolak dengan memalingkan wajah.

"Kamu kenapa sih? Cemburu ya?"

Tanpa bertanya pun, aku tahu jika Saka memang cemburu jika aku mulai mengungkit apa pun yang berbau Kak Reno. Tapi, dunia harus tahu jika Saka versi cemburu adalah Saka terlucu yang pernah ada.

"Cemburu apaan, enggak."

"Iya."

"Gak."

"Iya."

"Udah ah aku mau pulang."

Aku terkesiap saat Saka kembali berdiri dan menyangguh ranselnya. Belum sempat aku meraih tangannya untuk kembali duduk, dia sudah masuk ke kamarku untuk mengambil jaket yang tersampir di balik pintu.

"Kok pulang sekarang? Baru jam 5? Katanya sampai malem!"

Aku tak suka jika harus merajuk, tapi aku tak bisa menahannya karena ingin Saka tetap di sini. Selama dua minggu terakhir kami sama-sama sibuk karena musim ujian akan datang, waktu untuk bertemu pun jadi sulit. Tidak adil rasanya jika Saka mengkhianati ucapannya sendiri untuk menghabiskan waktu bersama.

"Bodo amat, aku mau pulang. Chat aja terus sama si Reno."

"Saka... Maaf deh. Aku nggak bakal balesin lagi...," kalimatku masih menggantung, belum tersusun sempurna saat Saka menutup pintu dengan keras hingga terkesan membanting.

Kesadaranku juga menghilang setengah saat Saka menarikku mendekat dan menciumku dengan cepat.

Tiga detik? Lima detik? Kemampuan berhitungku jadi tumpul saat Saka akhirnya menjauhkan wajah dan terkekeh kecil.

"Sekarang udah pernah."

"Ha... hah?"

"Ciuman."

Harusnya, tadi aku tak perlu bertanya macam-macam.

*

SakalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang