BAGIAN 6

155 12 0
                                    

Witara dan Wisesa terus mengawasi suasana sekelilingnya dengan sikap waspada. Tepat di depan anjing yang terkapar mati, mereka berhenti.
"Lihat! Mata anjing ini berubah menghitam seperti hangus!" seru Wisesa.
"Astaga! Binatang ini dibunuh dengan racun yang sangat mematikan!" Witara menimpali. "Aku yakin, pembunuhnya pasti masih berkeliaran di sekitar sini."
"Periksa rumah itu!" Wisesa memberi aba-aba. Dengan langkah sangat hati-hati, Witara menghampiri pintu dapur yang tampak tidak terkunci. Namun belum sempat tiba di situ, pintu itu terbuka lebar. Angin sedingin es seketika menderu.
"Awas, Witara...!" Nyaris angin dingin itu melabrak tubuh Witara jika Wisesa tidak memperingatkan.
Wus!
"Ikh...! Gila!"
Witara cepat bersalto beberapa kali menjauhi pintu. Kemudian kakinya berdiri tegak dengan napas mendengus tidak teratur.
"Bangsat pembunuh yang bersembunyi di dalam! Harap keluar, tunjukkan diri!" bentak Wisesa marah.
Sesaat suasana di sekeliling berubah hening mencekam. Dari bagian dalam tidak terdengar jawaban apa-apa.
"Manusia tengik yang ada di dalam. Cepat tunjukan diri jika ingin selamat!" Wisesa mengulangi perintahnya.
Justru pada waktu bersamaan, seleret sinar hitam kembali melesat ke luar melabrak Wisesa. Laki-laki ini tidak tinggal diam. Segera dilepaskannya pukulan tangan kosong. Seketika itu pula angin kencang disertai hawa panas luar biasa meluruk deras ke arah sinar hitam tadi.
Glar!
Saat itu juga, terdengar suara benturan menggeledek. Pintu dapur bobol, hancur porak-poranda. Tubuh Wisesa terhuyung-huyung, namun cepat memperbaiki keseimbangannya.
"Keparat!" geram laki-laki berbaju merah ini dalam hati.
Dari dalam rumah terdengar suara tawa mengikik panjang. Jelas, pemilik suaranya adalah seorang perempuan. Witara menduga-duga. Ternyata, dugaannya beralasan. Tidak lama, sosok tubuh dengan gerakan sangat indah sekali tampak melesat keluar dan menjejakkan kakinya tiga batang tombak di depan Wisesa dan Witara.
"Dewi Sembadra...!" seru kedua orang ini begitu mengenali siapa gadis berbaju kembang-kembang di depan mereka.
"Hihihi...! Kalian mengapa bengong begitu? Aku memang Dewi Sembadra!" kata gadis berbaju kembang-kembang mengakui.
"Bagaimana mungkin...? Dewi Sembadra telah meninggal delapan tahun yang lalu. Mustahil dapat hidup kembali...!" desis Witara, tidak percaya.
"Hihihi...! Memang segalanya sulit dipercaya. Tapi berkat pengorbanan darah dan kesaktian orang yang kami junjung tinggi, terbukti kalian semua dapat melihatku kembali, bukan?" Dewi Sembadra tertawa mengejek.
"Jadi kaulah orangnya yang telah membunuh Ki Lokapala dan istrinya, juga para pengawal kadipaten itu?" tanya Wisesa tidak sabar.
Gadis cantik di depan dua dari Tiga Pendekar Golok Terbang menyeringai lebar. Wajahnya yang pucat pasi tampak berubah mengerikan. Demikian juga tatapan matanya yang seakan tidak memiliki gairah hidup sekali. Mata itu sekarang tampak berbinar-binar, mengandung sinar aneh menyimpan kekejaman.
"Memang kuakui, aku yang bertanggung jawab dalam urusan kematian mereka!" dengus Dewi Sembadra.
"Mengapa kau membunuhnya?!" bentak Witara.
"Membunuh siapa pun, memang merupakan tugas yang diberikan padaku. Bahkan aku juga sebentar lagi akan membunuh dua ekor tikus jelek yang sengaja menunggu datangnya kematian!"
Wisesa dan Witara saling berpandangan. Siapa pun orangnya yang dimaksudkan oleh gadis ini, tidak lain diri mereka sendiri.
"Coba katakan padaku, siapa orang yang menyuruhmu?" tanya Wisesa lebih jauh.
"Hihihi. Nanti kalau telah berada di neraka, kalian pasti segera tahu siapa orang yang menyuruhku. Maka itu, bersiap-siaplah untuk mati! Hiyaaa...!" Dewi Sembadra tiba-tiba saja berteriak nyaring. Tubuhnya berkelebat cepat, sambil mengirimkan satu jotosan berisi tenaga dalam tinggi.
"Heiiit...!"
Dengan gerakan indah, Wisesa dan Witara langsung berkelit ke samping sebanyak dua langkah. Lalu dengan jurus 'Membelah Mega Menggulung Topan', mereka mengadakan serangan balik yang tidak kalah gencarnya.
"Bagus! Kalian telah berani melawan adik kandung majikan sendiri. Kalian pasti akan menjadi manusia yang merugi!" dengus gadis berbaju kembang kembang ini. Lalu tubuhnya berputar. Kemudian tangan dan kakinya menghantam deras perut dan tenggorokan lawannya.
"Manusia ini hanyalah rongsokan yang diperalat iblis! Lebih baik kita cincang dia sekarang juga!" kata Witara melalui ilmu menyusup suara.
Rupanya Dewi Sembadra mampu juga mendengarnya. Sehingga sambil mendengus marah, serangannya semakin diperhebat. Setiap jurus yang dilancarkan Dewi Sembadra mengandung racun yang sangat ganas. Bahkan jemari tangannya yang terkembang dan berkuku runcing menyambar-nyambar ke bagian-bagian tubuh Wisesa dan Witara.
"Hm," gumam Witara tidak jelas.
Sementara itu serangan-serangan yang dilakukan Dewi Sembadra semakin cepat. Bahkan berkali-kali nyaris melukai lawan-lawannya.
"Heaaa...!" Witara melompat mundur. Diberinya isyarat pada kakak seperguruannya. Lalu...
Sret! Sret! Bet!
Kini sebilah golok besar tajam berkilat telah berada di dalam genggaman tangan Wisesa dan Witara. Sedangkan Dewi Sembadra hanya menyeringai lebar.
"Bagus! Kalian telah mengeluarkan senjata! Hiyaaa...!" dengus gadis berbaju kembang-kembang ini.
Dewi Sembadra kemudian memutar tangannya sedemikian rupa. Putaran tangannya semakin lama semakin cepat bukan main. Sehingga menimbulkan gelombang angin besar yang sangat dingin. Witara terkesiap. Dari hembusan angin akibat putaran tangan lawannya saja, sudah bisa dipastikan kalau wanita itu sekarang telah bersiap-siap melepaskan pukulan beracunnya.
Tanpa menunggu lebih lama, Wisesa dan Witara langsung menerjang. Pertempuran jarak dekat terjadi! Golok besar di tangan dua dari Tiga Pendekar Golok Terbang berkelebat menyambar, sehingga menimbulkan deru angin disertai berkelebatnya sinar putih berkilauan. Golok itu membabat ke berbagai jalan kematian. Gerakan mereka cepat bukan main, sehingga membuat Dewi Sembadra tampak terdesak dan terus menerus bergerak mundur. Bahkan dari arah belakang, serangan Witara juga tidak kalah gencar dan berbahayanya.
Sementara gadis yang telah meninggal delapan tahun yang lalu ini akhirnya terpaksa melompat ke udara. Namun sayang, golok besar di tangan Wisesa telah bergerak memotong terlebih dahulu. Sehingga dengan gugup dia berusaha menangkisnya.
"Heaaa...!"
Wut! Cras!
"Aaakh...!"
Dewi Sembadra menjerit tertahan. Tangan kirinya yang dipergunakan untuk menangkis, terbabat putus oleh golok besar di tangan Wisesa. Dan puntungan tangan itu jatuh persis di depan kaki Dewi Sembadra. Darah langsung mengucur dari luka yang cukup mengerikan ini. Tapi sungguh aneh. Warna darah yang mengucur dari luka itu juga berwarna hitam pekat.
"Bangsat rendah! Kalian segera merasakan betapa pedihnya pembalasanku!" teriak Dewi Sembadra. Seakan tidak menghiraukan luka yang diderita. Dan seakan tidak peduli dengan apa yang terjadi dengan dirinya, gadis berbaju kembang-kembang ini tiba-tiba saja menyilangkan tangan kanan ke depan dada. Wajahnya yang pucat tampak mengelam. Sementara, telapak tangannya telah berubah hitam. Malah perlahan-lahan bertambah hitam menggidikkan. Tangan yang telah teraliri tenaga dalam ini tampak mengepulkan uap hitam berbau menusuk.
Wisesa dan Witara tersentak kaget. Sadarlah mereka kalau lawan yang dihadapi sekarang telah mengerahkan pukulan 'Bayangan Perenggut Nyawa'. Sadar betapa berbahayanya pukulan tersebut, tanpa membuang waktu lagi kedua laki-laki ini memutar goloknya yang di tangan kiri. Sedangkan tangan kanan melepaskan pukulan 'Badai Gurun'.
"Hiyaaa!"
Wisesa dan Witara melompat tinggi. Tangan kanan mereka dihentakkan ke depan, bersamaan waktunya dengan datangnya sinar hitam yang melesat dari telapak tangan Dewi Sembadra. Sinar hitam datang menggebu-gebu. Udara di sekeliling mereka berubah panas dan dingin. Lalu...
Blar!
Terjadi benturan keras menggelegar saat dua pukulan sakti dan berisi tenaga dalam tinggi bertemu di udara.
"Hugkh...!"
"Akh!"
Wisesa dan Witara jatuh terguling-guling sambil menutupi dada dan wajahnya yang seperti ditusuk-tusuk ribuan batang jarum. Sedangkan Dewi Sembadra sendiri jatuh terduduk, dengan kaki menekuk. Darah meleleh dari sela-sela bibir Wisesa. Sedang dari hidung Witara juga tampak darah mengucur deras. Namun laki-laki ini cepat bangkit berdiri setelah mengerahkan hawa murni untuk menyembuhkan luka dalam yang diderita.
"Dia ternyata menderita luka seperti kita, Kakang!" bisik Witara setelah melihat lawannya berusaha bangkit dan tempatnya.
"Jika bisa terluka dalam, tentu tubuhnya tidak kebal terhadap senjata. Kita telah memutus tangannya. Sekarang, hanya tinggal membereskannya saja!" timpal Wisesa.
"Tapi...!"
"Jangan ragu-ragu! Dia hanya berada dalam pengaruh iblis. Sedangkan tubuhnya hanya jasad Dewi Sembadra yang telah mati!" tegas Wisesa yang seakan mengerti apa yang sedang dipikirkan adik seperguruannya.
Akhirnya tanpa berpikir panjang lagi dua saudara seperguruan ini langsung menyerang kembali mengandalkan jurus 'Membalik Bukit Memupus Siluman'. Inilah salah satu jurus yang terhebat yang dimiliki Tiga Pendekar Golok Terbang. Senjata di tangan mereka berkelebat lenyap, seakan-akan telah berubah menjadi banyak. Sinar golok berkelebat mendengung-dengung.
"Ihhh...!" Dewi Sembadra yang sudah terluka tampak terkejut bukan main.
Laksana kilat, dia melompat ke belakang menghindari tebasan golok sejauh tiga batang tombak. Tampaknya dia juga tidak mau kalah. Sambil menggeram marah, dikerahkannya jurus 'Tameng Para Iblis'. Tubuh Dewi Sembadra berkelebat menghindar. Di satu kesempatan dia melancarkan serangan balik ke arah Wisesa. Tendangan kakinya menderu deras, terarah pada bagian selangkangan Wisesa. Tapi sebelum serangan dahsyat itu mencapai sasarannya dan arah samping kiri golok di tangan Witara menebas.
Wus!
Dewi Sembadra yang tidak menyangka datangnya serangan lain, berusaha menarik balik kakinya. Tapi terlambat. Karena...
Cras!
"Hugkh...!"
Dewi Sembadra memekik kaget begitu kakinya terbabat putus oleh golok Witara. Tubuhnya mengejang. Darah menyembur dari kakinya yang putus. Dan belum sempat wanita itu berbuat apa-apa dari arah samping terlihat Wisesa juga menusukkan golok di tangan ke bagian perutnya.
"Heaaa...!"
Dengan terpincang-pincang Dewi Sembadra masih berusaha berkelit. Serangan Wisesa luput. Namun tanpa mengenal rasa putus asa, laki-laki ini berbalik. Golok di tangannya menyambar deras ke bagian dada Dewi Sembadra.
Cres!
"Aaa...!"
Dewi Sembadra melolong panjang. Tubuhnya kontan terbanting keras. Darah berwarna hitam menyembur dari bagian luka di dadanya yang nyaris terputus menjadi dua bagian. Tubuhnya menggelepar sesaat, lalu terdiam mati.
Wisesa dan Witara terus memperhatikan keadaan lawannya ini. Lalu mereka tiba-tiba saja berseru kaget. Tanpa sadar mereka sempat mundur beberapa langkah. Bagaimana tidak? Wajah yang cantik mulus ini secara perlahan tampak berubah keriput seperti nenek renta berusia sembilan puluh tahun. Sekujur kulit tubuhnya juga mengendor, lalu membusuk cepat. Kemudian tercium bau busuk yang begitu menusuk. Mayat Dewi Sembadra meleleh bagai mayat yang telah kehilangan nyawa lebih dari empat puluh hari.
"Benar-benar ilmu iblis!" desis Witara sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kalau tidak melihat sendiri apa yang terjadi di depannya, mungkin laki-laki berbaju merah ini tak akan percaya.
"Rupanya delapan tahun yang lalu, seseorang telah menculik mayat-mayat dari dalam kubur, semata-mata hanya untuk dijadikan pesuruh setelah dibangkitkan dengan ilmu sesat," gumam Wisesa.
"Dunia ini memang dipenuhi berbagai keanehan, Kakang! Tapi alangkah baiknya kalau kita tinggalkan tempat ini secepatnya! Adipati Danu Tirta tampaknya membutuhkan pengawalan ketat!"
"Ayolah! Entah mengapa aku sendiri sekarang malah mengkhawatirkan keselamatan adipati," sahut Wisesa.

***

Sementara itu Pendekar Rajawali Sakti meneruskan perjalanannya sampai ke tengah-tengah Hutan Cagak Kemuning. Tapi anehnya, sampai sejauh itu tidak ditemui hambatan yang berarti lagi. Hingga akhirnya, sampailah Rangga di dataran yang agak tinggi. Di sini, Dewa Bayu kembali memperdengarkan ringkikan resah. Rangga meningkatkan kewaspadaannya. Matanya yang tajam menjelajahi sekitarnya. Sampai kemudian Pendekar Rajawali Sakti melihat sebuah dataran rendah. Keningnya tampak berkerut dalam ketika melihat satu keanehan di sana.
"Apa itu? Kulihat seperti peti mati. Tapi mengapa jumlahnya begitu banyak?" kata Rangga membatin.
Pendekar Rajawali Sakti akhirnya memutuskan untuk memeriksa suasana di dataran rendah yang mirip lembah kecil itu. Perlahan-lahan kuda dipacu.
"Tetaplah di sini, Dewa Bayu! Aku ingin memeriksa peti-peti mati di depan sana!" ujar Rangga, lalu melompat turun.
Setelah mengelus-elus tengkuk Dewa Bayu, Rangga menghampiri peti-peti mati itu. Mulai ditelitinya keadaan peti mati yang agaknya sudah cukup tua. Dengan penasaran, Pendekar Rajawali Sakti membuka salah satu peti. Dan ternyata, seluruhnya dalam keadaan kosong.
"Mungkin di sinilah orang itu membangkitkan mayat-mayat yang diculiknya delapan tahun lalu. Heh... Ada kendi besar di sana!" desah Rangga.
Segera Pendekar Rajawali Sakti menghampiri kendi berwarna hitam yang berada lima tombak di depannya. "Hm... Bukan main busuknya bau kendi ini. Jelas..., jelas sekali sisa-sisa cairan di dalam kendi ini berubah darah yang sudah tidak terpakai. Sekarang aku baru mengerti kalau sebenarnya mayat-mayat itu dibangkitkan kembali dengan bantuan darah ini," kata Rangga dalam hati. Tapi mengapa aku tidak melihat ada orang di sini? Ataukah, orang itu telah meninggalkan Hutan Cagak Kemuning dan menyerbu ke Kadipaten Blambangan?"
Pendekar Rajawali Sakti tampak ragu-ragu. Dan belum juga keraguannya lenyap tiba-tiba saja satu hantaman keras menderu ke arah tulang rusuk kirinya. Rangga tersentak kaget. Kehadiran orang yang menyerangnya benar-benar tidak menimbulkan suara sama sekali. Dapat dibayangkan betapa tingginya kepandaian yang dimiliki pembokongnya.
"Heaaa...!" Secepat kilat Rangga berkelit menghindar. Namun sebuah serangan lain sempat menyerempet tangannya.
Buk
"Hugkh!"
Rangga mengeluh pendek. Tubuhnya sempat bergetar terhantam jotosan tadi. Dengan terhuyung-huyung, tubuhnya berbalik dan langsung menghadang ke arah sosok yang baru saja menyerangnya cara gelap.
Ketika Pendekar Rajawali Sakti menoleh ke samping kiri, di sana telah berdiri seorang laki-laki tua berbaju hitam. Jenggot dan kumisnya serba putih. Laki-laki ini memegang sebatang toya pendek berwarna hitam. Pada setiap ujungnya, tampak sebuah lubang kecil.
"Siapa Kisanak? Mengapa menyerangku?" tanya Rangga bersikap waspada.
Laki-laki berbaju hitam dan bertampang dingin ini tersenyum rawan. Wajahnya yang pucat tidak berdarah, berubah kelam dan menyimpan hawa membunuh yang menyala-nyala.
"Aku berjuluk Toya Maut. Dan mengapa aku menyerangmu? Kau jangan banyak tanya!" bentak kakek berambut putih ini, sambil bertolak pinggang.
"Hm, begitu?" desis Rangga. Matanya memandang tajam pada laki-laki di depannya.
"Tentu saja. Kau memasuki lembah ini tanpa sepengetahuan majikan kami...!"
"Majikan?" potong Rangga. "Siapa majikanmu?" desak Rangga menyelidik.
"Kau tidak pantas mengetahui majikan kami! Yang boleh kau ketahui, kau telah memasuki daerah terlarang. Tidak ada jalan lain bagimu, kecuali mati!" sahut kakek ini, ketus.
Rangga tersenyum. "Hm.... Sekarang aku sudah tahu, bahwa sebenarnya kau juga merupakan anak buah manusia setan itu. Siapa pun yang menjadi anak buahnya, yang jelas tetap merupakan mayat hidup yang dirasuki kekuatan iblis! Kau adalah bangkai, Kisanak. Bangkai yang menjadi alat manusia yang mempunyai dendam membara!" sentak Rangga, sehingga membuat kakek berwajah angker ini jadi terkejut juga menggeram penuh kemarahan.
"Keparat! Heaaa...!" keras dan tajam bentakan kakek ini. Tiba-tiba saja tubuh Toya Maut melenting ke udara. Setelah bersalto beberapa kali di atas kepala Rangga, toya hitam di tangannya dipukulkan ke bagian kepala Pendekar Rajawali Sakti.
Wut!
"Iblis...!" desis Rangga.
Slap!
Seketika itu juga, Pendekar Rajawali Sakti menggeser langkahnya sambil menarik tubuhnya hingga condong ke belakang.

***

155. Pendekar Rajawali Sakti : Misteri Mayat DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang