"Buruan napa sih, Pram, lelet amat." Sebuah suara terdengar dari atas sebuah sepeda motor yang terparkir di depan rumah dengan pagar berwarna cokelat. Dengan lengan seragam putih yang digulung sebatas siku, siapapun yang melihat pasti tak akan menyangka kalau dia hanyalah seorang siswa SMA tahun kedua di sebuah sekolah bergengsi di pusat kota.
Posturnya yang tinggi menjulang nampak mencolok diantara semua orang yang berlalu lalang pagi itu. Membuat seseorang yang dipanggil Pram barusan berdecak iri, "Ini tiang listrik bisa gak jangan ngalangin jalan?" katanya seraya mendekat hanya untuk memiting leher si cowok jangkung agar sejajar dengannya.
Si jangkung panik, buru-buru melepas kaitan Pram di lehernya yang entah kenapa terasa asing, "Gak usah pegang-pegang juga kali. Geli gue."
"Geli banget apa geli aja, Ga?"
"Bodo amat dah, Pram."
Pram tertawa.
Tawa merdu yang sempat membuat Angga, si jangkung tadi, kehilangan kata-kata. Dia memanggilnya Pram. Diambil dari nama lengkapnya, Sandara Pramudya. Cewek tomboy yang kini sudah mulai memanjangkan rambutnya meski hanya sebatas bahu. Juga wajah yang biasa tak dipoles apapun kini mulai berhias make up yang entah apa saja namanya.
Dilihatnya lagi sosok di depannya dengan pandangan menerawang. Dulu seingatnya mereka pertama kali bertemu di tahun pertama SMP. Kalau tidak salah waktu itu sehabis jam olahraga. Ya?
Angga masih ingat dirinya dibuat terkejut saat keluar dari kamar ganti cowok. Penyebabnya tidak lain adalah dua sosok yang nampak amat dekat tengah berbincang akrab sembari berangkulan macam sepasang kekasih. Gak papa sih sesama cowok seakrab itu, tapi apa gak terlalu intim ya? Tahu tempat juga kali kalau mau bermesraan.
Angga berdekham sengaja, membuat 2 makhluk di depannya menoleh serentak. Cowok dengan rambut cepak yang pertama bersuara, "Eh, loe udah kelar bro?"
"Udah kosong tuh, sekalian aja masuk berdua biar cepet kelar. Bentar lagi bel masuk juga." Angga tahu tidak seharusnya dia berbicara semenyebalkan itu. Tapi melihat dua cowok dengan kedekatan tak wajar di depannya mau tak mau membuatnya risih.
Lalu entah di bagian mana yang lucu karena si cowok cepak tiba-tiba tertawa lantang sambil memukul bahu satu orang lagi dengan rambut agak jabrik yang justru merengut sebal. Diliriknya Angga dengan pandangan tajam kemudian melengos, berbalik ke arah kamar ganti cewek yang kebetulan berseberangan dari tempatnya berdiri sekarang.
Spontan Angga nyeletuk, "Heh, loe gak bisa baca kalau itu kamar ganti cewek?"
"Persetan."
Angga spechless. Bukan karena makian yang Ia dapat, melainkan nada lembut yang keluar dari bibir seseorang yang kini sudah hilang ditelan pintu kamar ganti cewek. Katanya, "Dia... cewek?"
Cowok berambut cepak yang baru berhenti tertawa itu menyeka sudut matanya yang ternyata berair saking kencangnya Ia tertawa, "Emang gak keliatan ya?"
Angga menggeleng, "Enggak.. Soalnya muka sama rambutnya agak..."
"Iya, kan? Menurut loe juga gayanya terkesan manly banget, kan? Mana dadanya rata gitu. Gak bakal salah paham gimana coba? Padahal udah pernah gue bilangin juga sih buat ngerubah penampilan. Tapi dianya malah cuek aja."
Angga tidak tahu harus senang atau heran mendapati orang yang baru ditemuinya sekali itu nyaris tanpa jeda membicarakan orang lain yang bahkan namanyapun tak Angga kenal. Agaknya itu juga yang dirasa si cowok cepak karena sejurus kemudian dia mulai mengulurkan tangan.
"Oh iya, gue Shoka. Loe?" Shoka mengulurkan tangan antusias.
"Ashoka yang di film Bollywood itu?"
Shoka tersenyum, "Shoka aja."
"Gue Anggara, panggil aja Angga." Mau tak mau Angga membalas uluran tangan yang ditujukan Shoka padanya sambil sesekali melirik pintu di depannya serba salah.
Apalagi tak lama kemudian seseorang yang jadi objek perbincangan tadi sudah berdiri tepat di sana lengkap dengan seragam dan rok sebatas lutut, juga tas tersampir di salah satu bahunya.
Angga menggaruk tengkuknya tengsin, "Ng.. soal tadi sorry ya."
"Ka, gue duluan." Katanya tak mempedulikan, yang tentu saja makin membuat Angga makin tengsin bukan kepalang.
Sialan, batinnya.
Sementara Shoka yang merasa namanya dipanggil hanya mengerling, "Gak mau nungguin gue dulu? Yuk, tunggu di dalem aja."
Di bagian ini Angga melotot. Membuat Shoka yang memang sengaja menggoda tentu saja kembali tertawa terbahak. Sedangkan si cewek dengan rambut agak jabrik langsung berbalik pergi dengan jari tengah terangkat ke udara.
Sukses bikin Angga ternganga.
"Oy, Dara! Sandara!" Panggil Shoka pada akhirnya, namun tetap tak ada respon dari sang empunya nama. Menoleh pun tidak.
"Bar-bar banget kan?" Shoka bersuara, "Jangan diambil ati ya, dia itu emang gitu orangnya. Tapi kalo udah kenal mah lucu kok."
Kayak gue mau kenal aja, batin Angga lagi pada akhirnya.
Setidaknya itu lah yang dia pikirkan 4 tahun yang lalu. Tapi lihat bersama siapa dia sekarang.
"Loe ngeliatin guenya kok gitu banget sih?" Dara berjengit, sontak menutupi tubuh bagian depannya dengan tas yang sedari tadi hanya disampirkan di sebelah pundaknya saja. Entah kenapa mengingatkannya pada hari itu.
Angga melengos saja sambil mulai menstarter motornya, "Mau naik gak nih?"
"Tapi gak bakalan loe apa-apain kan?" Dara bertanya dengan polosnya.
"Ck, siapa juga yang nafsu sama loe. Dasar papan penggilesan."
Dara berdecak, "Awas aja kalo naksir ntar."
"Ngimpi tuh jangan ketinggian, Pram, sakit kalo jatoh entar." Mulutnya sih bilang gitu, tapi pas Dara megang bahunya untuk pegangan tetap saja bikin Angga ambyar. Ya ampun, padahal cuma bahu, bukan pinggang.
"Ra, pegangannya yang lain aja bisa gak?"
"Giliran ada maunya aja manggil Dara. Kenapa? Grogi ya dipegang sama cewek cantik?"
"Ck.. Berasa jadi pasangan maho, elaah."
Sumpah, Angga tidak bermaksud apapun. Dia hanya berusaha menyembunyikan jantungnya yang sempat berdesir entah kaarena apa. Takut-takut dia menoleh ke jok belakang dan malah mendapati Dara tengah menyumpal telinganya dengan airphone. Dia.. tidak dengar debaran jantungnya, kan?
Dara menatapnya heran, "Gak mau jalan? Udah siang tau."
"Cerewet! Numpang juga loe." Namun mau tak mau mulai tancap gas dan melaju. Meraung-raung membelah jalanan yang sudah mulai dipadati mobil-mobil pribadi. Menyamarkan desah kecewa dari seseorang yang sejak tadi hanya diam di jok belakang sembari memegang erat ponselnya yang tak menunjukkan aplikasi apapun.
"Buat loe gue masih Pram yang dulu ya, Ga?" Batin Dara miris.
Iya. Dara memang tidak mendengar debaran jantung sahabat yang diam-diam ditaksirnya 2 tahun belakangan. Tapi dia jelas mendengar bagaimana cowok itu masih menganggapanya sebagai Pram, cewek tomboy yang dikenalnya di sekolah menengah pertama. Kenapa? Padahal dia sudah berubah sejauh ini.
Bagaimana lagi caranya?
Cara supaya Angga mau melihatnya sebagai seorang wanita juga?
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Kita (SanGGara Story)
Teen Fiction"Mau coba berkencan denganku?" "Kenapa harus kamu?"