Kisah

3.1K 482 55
                                    

Awalnya dia bukan siapa-siapa. Edo hanya anak jalanan biasa. Putus sekolah. Berjualan koran. Yatim piatu. Tak punya rumah. Dia hanya bisa melihat orang-orang mampu yang berlalu-lalang di hadapan. Menahan lapar ketika uang tak cukup untuk membeli makan. Edo tak sudi mengemis. Lebih baik dia berjualan koran, atau menjual tisu, jadi pemulung, apapun.

Edo menjalani hari-harinya dengan datar. Jika dia akan mati karena kelaparan, ya sudah. Kalau masih bisa hidup, juga tidak apa-apa. Edo tidak terlalu peduli. Terlalu malas untuk berkeluh kesah atau merutuki nasib.

Anak-anak yang tinggal di jalan itu banyak. Ada yang baik, ada yang nakal. Yang tidak peduli seperti Edo juga ada. Dari segala umur. Anak kecil, hingga remaja menjelang dewasa awal.

Keluarga Edo memang termasuk miskin sejak dulu. Jadi, dia tidak terlalu tertekan ketika kedua orang tua meninggal, dan dia harus hidup sendiri serta mencari uang. Dia sudah terbiasa.

"Do! Ikut ngga?"

Anak jalanan itu juga rentan terpengaruh. Tidak punya keluarga, membuat mereka merasa bebas melakukan apapun. Berat hidup yang sudah dirasa sejak kecil, membuat mereka ingin lepas dari perasaan itu walau hanya sebentar.

Edo berdecak, "Ngga punya duit."

Satu tangan temannya, mengibas di depan wajah, "Halah. Sisanya buat lo ntar. Ayo!"

Kaki melangkah mengikuti. Melirik tiga botol minuman yang dipegang oleh teman sebaya. Satu botol, ia ambil. Melihat dengan saksama, "Oplosan? Nyuri dari mana?"

Bukannya menjawab, teman-temannya malah tertawa. Entahlah, mungkin mereka mengingat satu peristiwa ketika sedang beraksi tadi. Botol, Edo kembalikan. Lalu, tetap mengekori dalam diam.

Hari sudah gelap sedari tadi. Bulan tak tampak. Jalanan mulai sepi. Mereka duduk membentuk lingkaran di belakang sebuah bangunan. 3 botol oplosan diletak di tengah. Empat bungkus rokok. 2 pemantik. Lalu, beberapa suntikan.

Anak miskin seperti mereka, bukan berarti tidak bisa mengakses jual-beli narkotika. Bahkan, beberapa rekan mereka juga ada yang menjualnya. Membantu bandar untuk mengedar.

Edo mengambil sebungkus rokok dan pemantik. Menyelipkan satu batang di mulut, lalu, ujung dibakar. Ia melirik bangunan di samping mereka. Kalau tidak salah, ini sebuah restoran. Tidak paham dengan pikiran teman-temannya yang lain, karena memakai barang di tempat seperti ini. Tapi, terserahlah. Sebelum subuh, Edo akan pergi duluan.

"Kalian aja yang pake. Gue ngga," asap keluar dari sela bibir. Satu botol oplosan, ia ambil untuk dibuka tutupnya.

"Yakin?" satu teman, berusaha untuk memersuasi, "Jarang-jarang kita bisa dapet barang ginian."

"Iya, anjing. Inget banget gue ditipu waktu itu," gerutu yang lain.

Edo tetap menggeleng. Dibanding narkotika yang mahal, dia lebih memilih untuk candu terhadap rokok yang masih mampu ia beli perbatangnya.

Cairan campuran itu ditenggak. Lalu, kembali mengisap batang rokok. Mengembuskan asapnya, dan menatap langit yang begitu gelap.

*****

Kedua mata Edo membuka pelan. Pengelihatan mengabur. Namun, dia sadar, ada helai rambut cokelat di hadapannya. Ada seseorang. Dahi mengerut.

"Sshhh, jangan dekat-dekat," Lalu, sebuah suara berat. Helai cokelat menghilang dari pandangan. Digantikan dengan satu bayangan yang lebih besar, "Daniel jangan di sini. Masuk aja ke dalam."

"Aish, berandal bajingan. Kenapa harus di dekat restoran kita sih?"

Pinggangnya ditendang-tendang pelan, "Heh, berengsek. Bangun. Daniel, suntikannya jangan dipegang!"

EDO [OneShot] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang