Prolog
Sudah lebih dari satu bulan Abian berdiam diri di rumah sejak dirinya resmi bukan lagi siswa kelas 10. Rutinitasnya selama liburan adalah tidur, makan, mandi jika diperlukan, dan nongkrong bersama keempat temannya.
Sama seperti hari ini, mereka berlima berkumpul di rumah Abian, hanya untuk tidak melakukan apapun.
"Lo udah makan ayamnya, Bi?" tanya Rizhan.
"Ba, Bi, Ba, Bi. Lo pikir gue babi?" balas Abian.
"Ah elah, masih aja baperan kutu anoa!"
"Off, baperan!" balas Zidan.
"Iye-iye, udah gue makan. Kenapa?"
"Itukan jatahnya Dinda?" balas Rizhan.
"Biarin, emangnya kenapa? Dinda kan cewek gue, apa yang punya Dinda, punya gue!"
"Your Eyes!" balas Dinda yang sedang fokus bermain Mobile lagends di ponselnya.
"Ayolah Adinda, nama kita kan sama. Abian dan Adinda. Kalau dijadiin buku nikah bakalan aesthetic tau! Lagipula kan kita dari orok udah bareng-bareng. Yakin gak mau sama aa' Bian?"
Dinda yang mendengar hal itu sontak sedikit menjauh dari Abian.
"Pantes lo nggak punya pacar. Godain cewek aja kayak anak bayi minta susu. Manja bener rengekannya!" celetuk Kahfi.
"Dia kan Puteri Solo, Kaf. Anak kesayangannya Mama Tiara. Pantes dong dia manja. Kayak gak tahu aja Mama Tiara gimana manjain Bian!" balas Rizhan.
"Gimana coba? Tante mau denger?"
Kelimanya sontak membalikkan badannya saat Tante Tiara datang ke taman belakang rumah membawa sekantung belanjaan penuh makanan dan minuman.
"Eh tante. Becanda aja kok tan. Kayak gak tahu anak muda aja, hehe," jawab Rizhan sambil tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang rapih.
"Dasar kamu, tante kan masih muda juga."
Tante Tiara mendekati Abian dan duduk di sebelahnya. Ia kemudian membenarkan rambut anaknya itu hingga membuat keempat temannya menahan ketawanya.
"Apasih, ma?"
"Biaran aja, Bubu. Kamu harusnya bersyukur karena mama masih bisa jagain kamu, perhatian sama kamu, coba kamu lihat itu Raja sana Ratu, ponakan mama. Udah papanya kerja di pelayaran, mamaknya dokter. Kurang perhatian kan?"
Bubu. Panggilan masa kecil Abian yang sampai saat ini masih sering diucapkan Tante Tiara kepada Abian. Awalnya dirinya dipanggil Bibi, dari kata Abi. Namun, saat dirinya tahu nama itu mirip dengan sebutannya kepada Bi Nurti, Abian menangis dan merengek mengganti nama Bibi menjadi Bubu.
Drama bukan? Abian kecil menangis hanya karena panggilan Bibi. Hingga akhirnya panggilan itu diganti dengan Bubu.
Namun lihat sekarang, Abian besar bahkan ingin menghapus ingatan masa lalu itu tentang panggilan Bubu padanya. Pasalnya, bukan hanya didepan keempat temannya saja dirinya dipanggil Bubu. Di depan kepala sekolah pun Tante Tiara masih suka keceplosan memanggil dirinya Bubu.
"Ini, Papa tadi balik kantor terus tiba-tiba tanya kamu. Terus mama bilang kamu lagi nongkrong di belakang sama temen-temen kamu. Yaudah deh sama papa dibeliin makanan ini. Ingat ya, jangan malem-malem! Kasihan Dinda. Kamu juga kan biasanya tidur jam 9 kan? Yaudah mama mau pergi dulu sama papa ya? Mau ke acara ulang tahun temennya papa. Jaga rumah! Bi Nurti lagi balik ke kampung, anaknya sakit. Jangan berantakin rumah! Jangan mecahin gelas lagi kayak minggu lalu! Jangan berantakin ruang tamu, kasihan Bi Nurti nanti! Jang—"
Bian menutup mulut mamaknya dengan kedua tanggannya. "Sudah cukup ma! Kebanyakan! Bubu kan udah gede, bisa semuanya. Lagi pula ada temen-temen Bian. Iya, Bian gak bakal nakal di rumah. Oh Iya, sana mama buruan pergi, papa udah nungguin kan? Ucapin salam ke papa ya! Jangan lupa nafas kalau ngomong ma!" ucap Abian sambil mendorong mamanya untuk segera keluar dari halaman belakang rumah.
Setelah Tante Tiara meninggalkan mereka, tawa meledak keluar dari mulut keempat temannya.
Temen nggak ada akhlak! Protes Abian di dalam hatinya.
Sekitar sepuluh menit berlalu, suara bel rumah membuat Abian harus meninggalkan tempat itu untuk membuka pintu.
Setelah pintu terbuka, seorang perempuan terlihat basah kuyub karena hujan yang baru saja turun belum lama ini.
"Ya, siapa?"
"Gue Claretta. Boleh pinjam hape gak? Hape gue mati. Gue mau minta jemput bokap."
"Rumah lo, mana?"
"Deket pasar."
Abian mengangguk. "Sebentar!"
Abian berlari ke dalam rumah dan mengambil hapenya dan kembali secepat mungkin ke gadis di depan rumah.
"Gue pesenin grab aja ya? Biar cepet."
"Terserah lah, yang penting gue bisa pulang."
"Oke."
Abian memesan grabcar dan menyuruh gadis itu untuk masuk ke dalam mobil jemputannya. Setelah mobil itu pergi, Kahfi datang dan menepuk pundak Abian.
"Siapa?"
Abian terdiam.
Kahfi menepuk pundak Abian sekali lagi sehingga Abian hampir saja jatuh.
"Gue nanya, putri solo! Siapa?"
"Bidadari!"
"Bidadari mata lo tujuh? Malaikat Izrail kali!"
Kahfi pergi meninggalkan Abian yang sampai saat ini masih termenung di depan rumah.
Kalau gue bisa dapetin lo, gue berhenti jadi putri solo! Eh ngomong apaan sih gue? Sialan.
[]
Author Note
Halo, semoga suka dengan ceritanya ya. Maaf jika masih terdapat kesalahan kata / typo. Cerita ini merupakan kolaborasi bersama Jenessa22 dengan judul Zidan. Cerita Abian dan Zidan dapat kalian baca secara terpisah.
Tungguin update dari kami berdua ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Abian
Teen FictionAbian, cowok manja dengan segala kharismanya mampu membuat seluruh wanita di SMA Xavier terpana dan menginginkan menjadi pacarnya. Namun, siapa sangka seorang cowok manja seperti Abian hanya terpikat pada pesona satu wanita saja. Wanita yang berhas...