BAB KESATU

9 2 0
                                    

Aku ingat pagi hari, sekitar pukul delapan pagi. Saat itu aku bersama kedua Abangku sedang menunggu warung tempat jualan orang tuaku, saat itu umurku baru enam tahun sedangkan kedua Abangku kelas enam SD dan kelas tiga SD.

Pagi itu tampak biasa saja seperti hari hari sebelumnya, ayahku menemani ibu ku yang sedang sakit di rumah sakit, sedangkan aku dan Abang Abangku menunggu warung untuk membantu berjualan. Kebetulan warung tempat kami berjualan dan rumah kami menyatu sehingga tidak cukup sulit untuk melakukan itu. Hari itu Abang Abangku sedang libur sekolah sedangkan aku belum masuk sekolah karena umurku yang masih belum cukup.

Namaku Halim dan Abang ku yang pertama bernama Eri dan Abang keduaku bernama Arif. Kami tiga bersaudara dan aku adalah anak paling kecil diantar tiga bersaudara itu.

Ketenangan pagi itu buyar ketika tiba tiba Abangku bertengkar, entah masalah apa waktu itu sehingga membuatku menangis pagi itu karena ketakutan. Mereka berdua cekcok di depan ku sehingga menimbulkan ketakutan kepadaku, pertengkaran itu sebenarnya hanya pertengkaran biasa antara Abang dan adik wajar pula karena saat itu semua masih kecil termasuk aku yang belum tau apa apa.

Sebenernya aku tidak menyangka bahwa pertengkaran itu menjadi pertanda besar bagi keluargaku. Aku tidak menyangka pagi itu ibuku meninggalkan aku dan semuanya. Aku sangat sedih mendengar itu. Ketika pamanku datang kerumah dan memberikan kabar buruk itu kepada kami sehingga seketika keadaan itu menjadi hening.

" Eri, umi kalian udah gak ada. Tadi bapak kalian nelfon om. " Om ku yang baru datang mencoba menenangkan kamu dan memberikan kabar itu dengan nada yang lembut dan membuat kami menerimanya merasa kaget.

" Maksudnya udah meninggal om?. " Abangku bertanya mencoba meminta penjelasan.

Keadaan hening itu pecah ketika semua mulai mengeluarkan air mata yang sudah tidak terbendung dalam kelopak mata meminta keluar seakan tidak percaya dengan kejadian tersebut.

" Iya, umi kalian sudah meninggal tadi pagi dirumah sakit. " Pamanku mencoba menjelaskan kepada kami dan menenangkan kami.

Tangisan kami tidak terbendung, aku sebagai anak yang masih kecil dan belum mengerti semuanya sangat merasa kehilangan akan kejadian tersebut, tak henti hentinya aku menangis, menangisi kepergian ibu ku orang yang paling aku sayang dan orang yang paling berarti dalam hidup ku berasa terhenti kasih sayang yang diberikannya kepadaku saat aku mendengar kabar seperti itu, seakan tak percaya denga semua yang telah terjadi.

Paman ku terus mencoba untuk menenangkan kami bertiga. " Udah udah jangan di tangisin kasihan nanti umi kalian sedih melihat kalian nangis begini. Sekarang kita tutup warung kita kerumah kakek soalnya sebentar lagi jenazah umi kalian datang. "

Rumah aku dan rumah kakekku tidak terlalu jauh sehingga abangku langsung menutup warung dan bersiap siap kerumah kakek untuk  melihat ibuku yang terakhir kalinya. Dengan rasa yang masih sedih dan hati yang masih tidak terima dengan semua yang telah terjadi dengan berat hati aku bersiap siap.

" Udah Lim jangan nangis lagi, kasihan umi kalau kita tangisin terus. " Abangku Eri coba untuk menenangkan aku. Aku yang menangis menghiraukan perkataan Abangku dan membuat tangisanku tambah keras karena perkataan tersebut membuatku sangat terpukul dan merasa sangat kehilangan.

Ketika kami semua sudah siap, kami segera menuju ke rumah kakek kamu yang letaknya tidak jauh dari rumah kami. Sesampainya di rumah kakek ternyata sudah banyak dari keluarga yang datang dan sangat berduka atas kehilangan satu keluarganya yaitu ibuku, begitu juga aku yang sangat tidak percaya dengan semua yang terjadi.

Aku duduk di teras depan rumah kakeku menunggu kedatangan jenazah ibuku dari rumah sakit. Rumah sakit tersebut kebetulan tidak terlalu jauh dari tempatku sehingga tidak butuh waktu lama sekitar setengah jam bunyi dari mobil ambulance itu pun mulai terdengar yang menandakan bahwadatang yang membawa ayahku dan jenazah ibuku.

Tulisan UtuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang