Unexpected

20.6K 652 54
                                    

Setidaknya dari kisah ini, aku mengerti akan satu hal.

Jangan pernah permainkan kata cinta, sungguh.

Jika kau mempermainkannya, maka itu akan menjadi masalah besar dalam hidupmu.

Dan bisa saja, kamu akan menyesalinya seumur hidupmu.

-----

Hari itu, jam sebelas siang, Devia menghentikan laju mobil putihnya tepat di depan rumah berwarna biru muda bertingkat dua dengan gaya minimalis.

Ia ingat sekali. Lima tahun yang lalu, seseorang yang memberikannya. Dengan janji janji yang terucap begitu saja dari bibir laki laki yang telah mengisi hatinya selama delapan tahun.

Entahlah, bahkan saat di jalanan pun, mungkin tatapannya kosong. Sambil menyetir, otaknya tak berfungsi.

Lantas apa yang dipergunakannya saat menyetir?

Devia hanya mengikuti kata hatinya. Otaknya seakan terkunci rapat. Dan tangan dan kakinya hanya mengikutinya.

Dari dalam mobil, ia melihat rumah itu. Tidak jauh berbeda dari lima tahun yang lalu. Hanya cat yang lebih kusam dan tampak tidak terawat. Dari situ, Devia mengambil kesimpulan, tidak ada yang merawat rumah ini.

Ia seraya merogoh tasnya yang berwarna cokelat tua. Mencari dua buah benda yang merupakan inti dari rumah itu.

Dan ia menemukannya.

Kunci rumah.

Ia beranjak ke dalam rumah. Memasukkan kunci pada pintu rumah itu, lalu memasukinya.

Benar benar tidak ada yang mengurus, Devia membatin. Ia melihat sekeliling, lantainya beralas karpet debu, perabotan yang mengisi rumah ini juga berdebu, bahkan ada pula yanh sudah disarangi laba laba. Walaupun, memang tidak banyak perabotan yang dipasangkan disini.

Hingga lamunan Devia melayang pada kata kata nya lima tahun yang lalu.

"Perabotannya menyicil dulu ya. Aku sudah beli sofa, meja, sama meja makan sih, setidaknya sudah terisi walau sedikit. Nanti kita isi sama sama ya Sayang,"

Devia ingat sekali kata kata yang dilontarkannya terakhir kali saat menginjaki rumah ini untuk pertama kalinya, lalu tersenyum.

Tiba tiba tangannya seakan bergerak sendiri mencari ponselnya. Lalu setelah ia menemukannya, ia seraya memencet rentetan nomor yang telah dihafalnya diluar kepala selama lebih dari lima tahun. Setelah itu, ia menempelkan ponselnya pada telinganya.

Tuut,

Ternyata masih tersambung, batinnya. Ia tersenyum sumringah, jantungnya berdetak tak beraturan. Tak lama, seseorang mengangkat telepon itu.

"Halo?"

Jantung Devia seakan berhenti mendengar suara itu. Suara yang sudah tujuh tahun terdengar menenangkan di otaknya. Suara yang empat tahun belakangan ini sangat dirindunya.

"Ini siapa?"

Buru buru tersadar dari lamunannya, Devia berdehem, membasahi kerongkongannya yang sedari tadi kering. "Pete, Ini aku,"

Entah ini hanyalah instingnya atau tidak, seseorang diseberang sana tampaknya membeku, terdiam sebentar, lalu memecah keheningan. "Devia? Kau sudah pulang dari Milan?"

Devia mengangguk pasti, "I--iya. Bisa kita bertemu?"

"Oh, bisa. Dimana?"

"Di rumah kita."

-----

Devia seraya duduk di ayunan yang terdapat pada taman kecil rumah mereka yang sudah laki laki itu beli dahulu untuk menyicil.

Histoire d'AmourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang