That Black Diary: 1

2.5K 146 8
                                    

ALOHAAAAA!!
Gue udah ngga tau berapa tahun gue ngga ngurusin buku Histoire d'Amour ini, tapi, kali ini gue comeback.......dengan satu cerita berisi 2 part.
Ga banyak sih hehe hehe but hope u like it😄

JADIII, let me tell you something,
Ini cerita tentang Davian yang di Caramel Macchiato ya, plis buat yg ga suka sama Davian jangan bash dan buat yg suka sama Davian, semoga kalian suka, karena aku sebenernya lebih suka sama karakter Davian dibanding Herjuno :""))))) wkwkwkwkk.

Dan cerita ini hanya ada hubungan dengan Caramel Macchiato yg ada di wattpad, bukan di buku aslinya :))

(( gue nggak bilang kalau di bukunya Keiza bakal sama Davian, tapi beli ajalah wong 44 ribu doang kok WKWKWKWK ))

So, enjoy!

-----

"Siapa, Dav?"

Davian menghela napasnya kasar, jengah. "Tukang pos."

Perempuan itu langsung antusias begitu Davian memperlihatkan apa yang ia dapatkan dari tukang pos. "Gue juga dapat undangannya Keiza!"

"Gue nggak akan datang," ujar Davian lempeng, langsung menuju kamarnya. "gue nggak bisa."

Perempuan itu, Nabila, langsung berdiri di depan tubuh Davian. Menghalangi jalannya menuju kamarnya. "Nggak bisa apa? Ini sudah undangan resital piano ketiga yang dia kasih ke lo cuma cuma. Harusnya lo datang dan nemuin dia!"

"Permisi, gue mau tidur." Davian menatap sahabat SMAnya risih. "Baiknya lo pulang sekarang, Bil. Udah malam, nggak baik cewek ada di rumah cowok malam malam."

"Katanya lo sayang sama Keiza?"
Nabila menatap punggung Davian dengan tatapan galaknya. "Perjuangin Keiza kalau lo sayang sama dia, jangan diam dan ngelihat dia dari jauh aja!"

"Lo tahu, Bil, semua orang berhak hidup bahagia. Sama halnya Keiza."

"Kalau semua orang berhak hidup bahagia, apa lo nggak termasuk dalam lingkungan itu?" Tanya Nabila ketus. Sudah berkali kali mereka membahas bahasan seperti ini, namun Davian tetap saja menjawab pertanyaannya dengan kata kata yang sama, semua orang berhak hidup bahagia.

Bullshit.

Kenyataannya, Davian tidak bahagia, dan jika Davian tidak bahagia, maka ia juga tidak akan bahagia.

Davian terdiam, menatap Nabila sekian menit tanpa suara. Namun di menit ketiga, Davian akhirnya bersuara. "Gue sudah ngehancurin hatinya berkali kali, Bil. Nggak mungkin--"

"Lo sudah berubah, Dav. Lo bukan Davian yang nggak berpendirian kayak SMA dulu. Sudah enam tahun, Dav. It's been a long time, people changes." Nabila menurunkan nada suaranya satu oktaf. "Sudah enam tahun Herjuno ninggalin kita, gue yakin Juno senang kalau lo sama Keiza lagi."

Davian akhirnya berjalan ke arah Nabila dan memeluknya singkat. "Pulang, Bil. Tunangan lo nungguin."

"Gue nggak akan pulang sebelum lo bilang lo akan datang," Nabila tetap kokoh walaupun Davian telah memeluknya. "Lagian, Daniel masih di Belgia."

Namun walaupun begitu, Davian tetap berjalan ke arah kamarnya. Berusaha menghilangkan pikiran yang berkecamuk.

Sejujurnya, Davian ingin sekali datang. Ia ingin sekali meminta maaf, dan berkata bahwa ia masih mencintainya. Ia ingin berkata apa ia masih mendapatkan kesempatan setelah berkali kali menghancurkan hatinya.

Ia rindu bagaimana Keiza tersenyum ke arahnya, ia rindu bagaimana Keiza tertawa bersamanya.

Ia rindu dengan semua yang ada pada Keiza.

Davian terduduk di sisi ranjang dan menyalakan lampu tidur. Memegangi undangan resital piano milik Keiza sambil berpikir keras.

Jengah, Davian keluar dari kamarnya. Mendapati Nabila yang kini tengah tertidur pada sofa panjang di ruang tamu. Davian tersenyum, pasti dia ketiduran.

Davian mendekat ke arah Nabila, tersenyum, dan menggendong Nabila ke kamar tamu. Hal itu benar benar sudah biasa Davian lakukan kepada Nabila.

Namun Davian terdiam pada langkah kedua, menatap kalung yang melingkar pada leher Nabila.

Kalung dengan liontin huruf D.

Davian tertegun. D untuk Daniel.

Davian seraya melirik ke arah jari manis milik Nabila, sebuah cincin emas putih dengan satu permata besar di tengahnya. Pemberian Daniel, tunangannya sejak satu tahun yang lalu.

"Kenapa?" Suara serak khas Nabila terdengar jernih di telinga Davian. Membuat Davian kaget setengah mati. "Lo akan datang 'kan, Dav?"

Davian menelan ludahnya sendiri, gugup. "Ya, gue akan datang."

------

Setelah menempati tempat duduk khusus untuknya, Davian tersenyum. Keiza yang sedang duduk di belakang grand piano berwarna hitam itu terlihat sangat cantik; dengan terusan berwarna biru laut dan riasan tipis, Davian dibuat terpesona. Setelah satu tahun tak lagi melihat Keiza dari jauh, kini, Keiza bahkan terlihat lebih cantik dari satu tahun yang lalu.

"Keiza cantik, ya?" Tanya Nabila yang kini duduk di sebelahnya, dijawab dengan anggukan setuju Davian. "Lo nggak akan menyesal, Dav, dateng di resital pianonya kali ini."

Nada nada yang mengalun dari jari kurus Keiza menggema, terdengar jelas sampai ke ujung ruangan. Davian mengangguk dan tersenyum. "Diem, ini Fur Elise."

Senyum Nabila lenyap begitu Davian mengatakan sesuatu. Davian masih mengingatnya sampai sekarang.

Nyatanya, Davian benar benar mengingat hal kecil yang dilakukannya untuk Keiza, atau hal kecil yang dilakukan Keiza, seperti saat ia menalikan sepatu olahraga Keiza di lapangan outdoor. Tak peduli berapa banyak orang yang melihatnya dengan tatapan bodoh, Davian tetap cuek.

Setelah pertunjukan selesai, Davian buru buru memasuki ruang belakang panggung. Awalnya, Davian akan melihatnya lagi dari jauh seperti dulu--tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Namun, saat melihat Keiza di panggung tadi, tekadnya sudah bulat.

Ia ingin mencobanya lagi, berharap ada kesempatan yang bisa Keiza berikan untuknya.

Ia ingin kembali, ia benar benar ingin kembali.

Karena semua orang berhak bahagia, termasuk dirinya.

Histoire d'AmourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang