Demo

335 54 27
                                    

Kalau harus dibilang Introvert, Irene sebenarnya tidak bisa menyebut dirinya demikian. Dia suka kok bergaul bersama teman-temannya. Berkumpul di suatu tempat sambil membahas berita terbaru yang sedang tren—alias ghibah. Tapi terkadang juga, ketika moodnya sedang tidak begitu bagus, Irene akan lebih memilih berdiam diri di kosan sampai dia bosan sendiri.

Tergantung vibes, kalau kata si Jennie mah.

Dan sekarang Irene sedang tidak memiliki niat berada di keramaian. Tapi ternyata Joy juga sedang tidak berniat membiarkan Irene mengurung diri di kamar kos seperti biasanya.

Pagi buta, gadis bertubuh semampai itu sudah ribut menggedor-gedor pintu dengan setelan rapi. Celana jeans, kaos berwarna putih dan almamater abu juga tas ransel yang menggantung nyaman diatas bahunya.

"Apa sih Joy? Pakaian mu udah kaya mau demo aja." Gumam Irene ngelantur dengan nada setengah mengantuk.

Dia tidak tahu, bahwa ucapan ngasalnya memang merupakan alasan dibalik kedatangan Joy kesini.

"Kita memang mau demo. Ayo bangun pemalas! Mandi dan bersiaplah! Anak-anak sudah menunggu didepan kampus." Kata Joy terburu-buru.

Anak-anak siapa?

Irene yang belum sepenuhnya sadar dan tidak siap menerima serangan dari sahabatnya itu akhirnya harus mau diseret paksa dan dijebloskan ke dalam kamar mandi. Joy bahkan dengan tumben menyiapkan baju dan segala keperluan yang mungkin mereka butuhkan nanti, termasuk parfum dan deodorant.

Jadi, disinilah Irene sekarang. Berdiri terbengong menyaksikan kericuhan yang diakibatkan oleh aksi yang gagal dilakukan sesuai ketentuan. Semua orang berteriak, saling melemparkan botol minuman kosong, atau bahkan batu yang entah mereka dapat dari mana—toh Irene tidak begitu peduli.

Sudah dia bilang kan, Irene tidak terlalu suka keramaian. Apalagi dengan konteks ricuh dan tidak jelas seperti ini. Dia bahkan tidak tahu, untuk apa dia disini.

Yang Irene tahu, sepatu sebelah kanannya hilang entah kemana dan sekarang dia kehilangan Joy juga teman-temannya yang lain.

Irene ingin pulang.

"CEWEK-CEWEK MUNDUR. ADA GAS AIR MATA!"

Tidak perlu gas air mata, mata Irene sudah basah sedari tadi.

"MUNDUR-MUNDUR!"

"YANG COWOK LINDUNGIN CEWEK-CEWEK!"

Irene baru saja tersadar bahwa dia harus lari dari sini, ketika sebentuk tangan mewakilinya untuk melakukan itu. Tangan itu menarik lengan Irene yang lemas dan yang satunya menutupi mata Irene hingga dia tidak punya pilihan lain selain mempercayai siapapun lelaki yang kini sedang menyeretnya menjauhi jalanan berhujan.

"Kamu enggak apa-apa kan?"

"Hah?"

Irene menoleh, memperhatikan kerumunan mahasiswa yang memakai jas abu seperti dirinya, kemudian pandangannya jatuh pada sesosok malaikat tak bersayap yang sudah dengan begitu baik menyelematkannya tadi.

"A-aku..." Irene rasanya ingin menangis, apalagi saat netra gelapnya bertemu pandang dengan sepasang mata coklat dan senyum hangat yang ditawarkan orang didepannya.

"Mas Aya..."

"Sekarang kamu aman. Jangan jauh-jauh dari temen-temen kamu, ya?"

Irene mengangguk, ingin sekali mengucapkan terima kasih tapi lidahnya kelu saking kaget. Dia tidak pernah menyangka akan bertemu Wendy disini.

Lelaki itu terlihat kacau. Jas almamater birunya basah—Irene baru sadar pakaian miliknya tidak sebasah milik Wendy, yang hanya berarti dia sudah dengan berani merelakan dirinya sendiri demi melindungi Irene. Wajah juga rambutnya juga basah, dan tangannya kotor.

Irene merasa bodoh karena bagiamana pun kacaunya Wendy, lelaki itu masih terlihat begitu tampan dan menawan.

"Pakai ini. Mungkin agak kebesaran, tapi itu masih lebih baik daripada kamu berjalan tanpa sepatu seperti itu." Katanya lagi sambil menyerahkan sepasang sepatu olahraga yang terlihat sangat besar.

Warnanya biru, ciri khas Mas Aya sekali.

"Ta-tapi... Mas gimana?" Tanya Irene ragu.

"Enggak usah khawatir, aku akan cari sandal nanti. Yang penting kamu gak kenapa-kenapa. Sudah ya, mas mau pergi dulu. Kamu jaga diri baik-baik."

Setelah mengatakan itu, Wendy berlari meninggalkan Irene. Sendiri dengan pikirannya dan jantungnya yang berdegup kencang.

Juga kata 'terima kasih' yang gagal terucapkan.





Tbc

Mas MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang