Bukan Kebetulan

36 3 0
                                    

Setengah berlari aku menyejajarkan langkah Pak Ivan, sesekali menoleh ke belakang, untuk memastikan apa yang kulihat itu, adalah benar-benar Mama.

"Ada apa, Jani? Siapa yang kamu cari?" Teguran Pak Ivan mengejutkanku.

"Ti-tidak ... tidak ada apa-apa. Oh, ya, Bang, ngomong-ngomong kapan sih ulang tahun Ibumu?" Aku mengalihkan kecurigaan pria itu.

"Loh, bukannya tadi aku sudah bilang."

Ups, aku salah bicara.

"Iya, saya tahu acaranya hari minggu, maksudnya jam berapa?"

"Pukul 12  dari apartemen, saya langsung jemput kamu." Ucapan Pak Ivan membuatku terkesiap.

"Kenapa harus menjemput saya, Bang?"

Tiba-tiba Pak Ivan menghentikan langkahnya, dan menatapku tajam. Tentu saja aku gelagapan menghadapinya.

"Ada apa, Jani? Katakan pada saya, apa yang kamu lihat tadi

"Bang Ivan belum jawab pertanyaan saya, malah nanya balik," elakku.

Sebisa mungkin aku berusaha menghindari pertanyaannya. Aku tidak ingin dia tahu tentang kecurigaanku pada Mama. Lagi pula aku sama sekali tidak tahu, apakah kecurigaan ini beralasan.

"Sudahlah, Jani—saya hargai jika kamu belum ingin bercerita, tapi ketika kamu butuh seseorang untuk mendengarkanmu, saya siap."

Perasaan aneh itu kembali mendesir, aku tidak mengerti kenapa sikap Pak Ivan seperti itu. Kembali melintas ucapan kapster di salon tadi, tidak mungkin seperti ini sikap antara sesama mitra bisnis.

Kami melangkah beriringan menuju ke area parkiran. Dan yang kembali mengejutkan, Pak Ivan membukakan pintu mobil untukku. Perlakuannya membuatku jengah.

"Maaf, Bang, biar saya buka sendiri saja, saya jadi gak enak. Bukankah Abang klien perusahaan kami."

"Lalu, ada yang salah?" tukas pria itu.

Aku mengedikkan bahu dan memilih diam. Aku mulai terbiasa dengan sikapnya, yang kuartikan sebagai seseorang yang tidak suka dengan penolakan. Namun, yang lebih mengherankan, aku sulit menolak setiap keinginannya.

Di dalam perjalanan, kami lebih banyak diam. Benakku masih dipenuhi dengan banyak pertanyaan. Mengapa Mama tidak pernah bercerita tentang kedekatannya dengan seorang pria. Rasanya tidak mungkin jika hanya teman biasa, karena sudah lama sekali Mama tidak berteman dengan teman pria.

Aku menepis rasa curiga itu, berusaha menghibur diri, berharap mereka hanya berteman. Namun, kalau teman biasa, kenapa harus berjalan sedekat itu. Kembali ragu mencuat di otakku.

"Non, kita sudah sampai—sesuai titik lokasi, kan? Jangan lupa bintang lima, ya ...."Selorohan Pak Ivan yang bersikap seolah dia adalah pengemudi taksi online.

Mendengar gurauannya, aku pun tertawa. Aku membuka seat belt dan meraih kantong belanja di kaki, yang sempat terabaikan tadi.

"Jani, besok saya tidak ke kantormu, ya ... jadi jangan kangen." Ada nada bucin di sana.

"Iya, Bang, terima kasih untuk malam ini, dan hadiahnya juga," balasku setelah berhasil meredakan kekikukkan mendengar ucapannya. Pak Ivan menyahut dengan nada yang santai.

"Jangan lupa—hari minggu siang aku jemput kamu, ya."

"Oke, Bang." Aku melambaikan tangan dan melangkah masuk ke halaman rumah. Sepertinya Mama sudah tiba di rumah. Aku membuka pintu yang tidak terkunci dan melihat Mama, yang masih berpakaian lengkap. Sepertinya Mama baru saja masuk ke rumah. Aku melirik sekilas pakaian yang dikenakan Mama. Melihat busana yang Mama kenakan, aku semakin yakin bahwa perempuan yang kulihat di Mal tadi, benar-benar Mama.

"Baru pulang, Jani?" Mama menegurku sembari tetap melangkah. Aku menyusul perempuan tercinta itu. Maksudku ingin menanyakan perihal tadi. Namun, Mama seolah menghindar, ia langsung membuka pintu kamarnya.

"Ma ... ada yang mau Jani tanyakan," panggilku sebelum tubuhnya menghilang dibalik pintu kamar.

"Besok aja, ya—eh tunggu!" Mama berbalik menatapku lekat.

"Ya, Ma—Jani ...." Ucapanku terputus saat melihat mata Mama yang melotot ke arah rambutku.

Ups. Refleks aku memegang rambut.

"Rambutmu ...." Aku pasrah jika Mama marah.

"Maaf, Ma—Jani hanya ingin coba model yang praktis. Kan nanti Jani bakal sering berada di lapangan."

Mama diam, tampak raut wajahnya kecewa, lalu berlalu meninggalkanku. Aku meringis, serba salah. Niatku untuk menanyakan perihal pria yang bersama Mama tadi, berubah jadi rasa bersalah telah mengecewakannya.

Aku menuju kamar, dan segera membersihkan diri, bersiap ke peraduan. Aku harus sabar menunggu hingga besok, untuk menghapus keresahan ini. Keresahan yang sempat membuat aku terlihat bodoh di depan Pak Ivan. Aku menepuk dahi mengingat kejadian tadi, karena perhatianku terfokus pada sosok Mama di Mal. Alangkah malunya ketika Pak Ivan menertawakanku. Tentu saja dia akan berpikir, bahw aku lemot. Namun, yang lebih mengherankan, adalah kelembutan sikap Pak Ivan. Apa maksudnya bersikap demikian terhadap diriku.

***

Keesokan paginya, seperti biasa aku dan Mama menikmati sarapan. Namun, yang tidak biasa hari ini adalah, kami lebih banyak diam. Padahal biasanya, Mama akan selalu mencecarku dengan aneka nasehat. Aku menyesap jus jeruk hangat dari gelasku.

"Ma, Jani pergi dulu, ya, Ma? Taksi yang Jani order udah di depan."

"Taksi? Mobilmu mana?"

"Tinggal di kantor, Ma.

"Jadi, kamu pulang dengan siapa tadi malam?" Tentu saja pertanyaan tiba-tiba itu membuatku kebingungan menjawab apa. Jika aku jujur, aku takut Mama akan marah. Namun, jika aku bohong, malah akan mempersulit, untuk pertanyaan berikutnya.

"Dengan klien, Ma."

"Wah, Mama jadi pengen ketemu, seperti apa klien kantor kalian itu. Kok mau ya ngantarin pulang segala."

"Bye Ma.

Terpaksa menyimpan kembali tanya yang akan kuutarakan, dari pada Mama mengorek keterangan seperti petugas investigasi. Untungnya Mama tidak lagi menyinggung soal rambutku. Aku berjalan cepat keluar rumah.

***

Hari ini Sabtu, kantor hanya setengah hari, aku berencana sepulang kantor nanti akan mampir ke outlet langgananku, untuk membeli sepotong busana yang akan kukenakan pada acara ulang tahun Ibunya Pak Ivan. Entah kenapa, aku ingin terlihat cantik di mata keluarganya.

Hei Anjani, apa-apaan kamu, dia itu Boss, tahu diri dong. Otak warasku mengingatkan, agar aku tidak mudah terjebak dalam situasi ini. Telepon selulerku berdering, dan aku langsung menjawab panggilan itu. Mama.

"Jani, tadi pagi kita belum membicarakan agenda akhir pekan ini, loh!" ucap Mama setelah aku menjawab salamnya.

Oh kenapa aku jadi lupa, agenda akhir pekan ya"

"Eh—iya, tapi ... Ma!"

"Tapi kenapa, Jani?" tanya Mama di seberang sana. Suaranya terdengar cemas.

"Ini—anu itu, Jani minta maaf." Terbata aku menjawabnya.

"Kenapa minta maaf?" desak Mama lagi.

Aku berusaha menjelaskan pada Mama, alasan tidak bisa berakhir pekan bersamanya. Aku memberi alasan, bahwa kehadiranku di acara ulang tahun Ibunya Pak Ivan, adalah karena menghargai undangan dari Pak Ivan. Tentu saja aku tekankan bahwa ini berkaitan dengan usaha membina hubungan kerja sama dengan para klien. Setelah melalui perdebatan, akhirnya Mama memberikan izin padaku. Aku menutup aplikasi panggilan di ponsel.

Maaflan Jani, Ma ....

Kehadiran Pak Ivan benar-benar mengacaukanku. Agenda rutin yang biasa aku lakukan setiap akhir pekan bersama Mama, harus ditiadakan. Dan yang paling disesali adalah, kenapa aku menyetujui ajakan Pak Ivan, sedangkan aku belum meminta izin pada Mama. Aku akui, pria dengan tatapan tajam itu memiliki sisi bossy yang tak bisa terbantahkan. Dan herannya lagi, sikap ngeboss itu tidak membuatku kesal, justru sebaliknya.

Bukan Salah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang