Pernyataan Bukan Main-Main

20 3 0
                                    

Aku melirik jam tanganku. Sudah setengah dua siang, aku masih punya waktu tiga puluh menit lagi sebelum bertemu Pak Ivan. Beliau setuju untuk menemuiku di kafe dekat gedung kantorku untuk membahas beberapa permintaanku terkait proyek yang sedang dijalankan. Aku memang sengaja tidak ingin bertemu di kantor, tidak ingin Pak Dani melihatku berusaha negosiasi terkait tenggat waktu.

"Gue duluan ya ke atas, lo mau ke Morning Glory ya?" tanya Rani ketika kami berdua tiba di pintu masuk gedung kantor selepas makan siang di luar.

"Iya, gue janjian sama Pak Ivan di sana," jawabku membenarkan.

"Baiklah, semoga berhasil ya bok negosiasinya," kedip Rani sebelum berpisah.

Aku mengangguk dan melambaikan tangan padanya.

"Eh, jangan malah pacaran ya lo di sana mentang-mentang anak kantor enggak ada yang lihat," teriak Rani ketika jarak di antara kami sudah lumayan jauh.

Aku mendelik ke arahnya dan langsung balik badan, mempercepat langkahku menuju kafe, pura-pura tidak mengenal Rani. Semoga saja tidak ada seseorang yang kukenal mendengar teriakan Rani baru saja.

Lima menit kemudian aku sudah tiba di Morning Glory. Kafe kecil yang lokasinya tepat di pinggir jalan ini memang selalu ramai, untung saja tadi aku sempat memesan tempat di area sudut yang sedikit jauh dengan konter pemesanan.

Setelah memesan minuman, aku mengeluarkan laptop dari dalam tas dan mencari-cari dokumen timeline pengerjaan proyek yang akan kubahas dengan Pak Ivan tadi. Aku sengaja membawa tas saat makan siang tadi karena memang berencana untuk langsung jalan ke kafe, tanpa perlu kembali ke kantor. Sisa waktu setengah jam yang kumiliki saat ini cukup untuk melihat-lihat kembali dokumen yang ada serta menyiapkan diriku untuk negosiasi dengan Pak Ivan. Detail-detail yang mungkin menjadi pertanyaan Pak Ivan sudah kucatat dan kusiapkan jawabannya. Tiga bulan mengenalnya, aku mulai mengetahui apa saja yang menjadi perhatian dan kekhawatirannya. Yang pasti bukan biaya, karena pria itu tidak segan-segan mengeluarkan biaya besar demi hasil memuaskan. Pak Ivan lebih peduli akan kualitas barang dan material serta kemampuan para pekerja bangunan.

"Kamu tahu kan uang selalu dapat dicari, tapi kualitas itu susah untuk ditawar-tawar," ujarnya ketika kami membahas timeline proses pengerjaan proyek. Sebelumnya aku menawarkan waktu pengerjaan yang lebih cepat dengan jumlah pekerja yang sama, agar kami dapat menghemat waktu dan biaya.

"Kualitas seperti apa yang tidak dapat ditawar?" tanyaku saat itu. Baru Pak Ivan klien pertama yang menolak pengerjaan proyek dengan waktu yang lebih cepat dari yang diajukan saat proses tender. Tentu saja aku penasaran dengan alasannya.

"Mengerjakan proyek dengan cepat tentu sesuatu yang akan menyenangkan setiap pebisnis. Itu berarti bisnis bisa berjalan lebih cepat dari perkiraan dan bahkan keuntungan juga dapat diraih secepat kilat. Tapi untuk saya, bukan itu inti dari berbisnis." Pak Ivan mengambil asbak yang ada di meja. "Lihat asbak ini, terbuat dari tanah liat. Saya tidak merokok tapi saya tahu kalau kita meletakkan puntung rokok di sini, bekasnya tidak akan terlalu terlihat dibandingkan dengan asbak yang terbuat dari bahan kuningan. Apalagi yang hanya menggunakan kertas sebagai asbak, bekas bolong dari api akan nyata terlihat."

Aku mengangguk tetapi keningku berkerut, berusaha memahami penjelasan Pak Ivan.

"Secara fungsi mereka sama, tempat rokok beristirahat sejenak atau tempat puntung rokok terbuang, tetapi kualitasnya beda. Kertas cepat terbakar, kuningan meninggalkan bekas dan tanah liat bertahan lebih lama tanpa noda. Namun membuat asbak dengan bahan tanah liat membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan dua lainnya. Tetapi secara kualitas, asbak tanah liat akan bertahan lama tanpa noda."

"Dengan kata lain, tidak apa proses memakan waktu lebih lama dengan biaya lebih mahal, tetapi hasilnya akan menutupi semua kerja keras yang ada di belakangnya," simpulku.

"Tepat sekali." Pak Ivan tersenyum mendengar pernyataanku.

"Berarti seharusnya tidak akan ada masalah berarti saat meminta penundaan tenggat waktu," gumamku setelah meneliti kembali timeline yang ada, setelah selesai mengingat-ingat perkataan Pak Ivan beberapa minggu lalu. "Pemilihan material adalah salah satu proses krusial dalam pembangunan ini."

"Proses paling krusial," seru sebuah suara dari arah kursi di depanku. Aku mendongak dari layar laptop dan mendapati Pak Ivan melempar senyum kepadaku. Otomatis pandanganku kembali beralih ke layar laptop, sebisa mungkin menahan hangat di kedua pipi.

"Material yang bagus akan menghasilkan bangunan yang baik dan bertahan lebih lama, itu berarti penghematan biaya perbaikan juga," lanjut Pak Ivan setelah menarik kursi dan duduk. "Kamu sudah pesan?" tanyanya selanjutnya.

Aku mengangguk, masih fokus pada laptop di hadapanku.

"Ah, sayang sekali. Padahal saya ingin buatkan untuk kamu."

"Buat?"

"Iya, buat. Jangan salah, saya pernah ikut pelatihan barista lho. Sayang kan kalau tidak saya pamerkan."

Aku tergelak. "Sombong sekali, Pak, eh Bang. Eh, Pak," koreksiku untuk ketiga kali. Ketika sadar pertemuan kami kali ini bersifat profesional.

Pak Ivan gantian tertawa. "Susah sekali sepertinya untukmu membedakan kapan harus bersikap profesional dan santai dengan saya."

Aku cepat mengangguk.

"Hmm," Pak Ivan tampak berpikir keras, tetapi tidak lama. Senyumannya kembali mengembang setelah ia seperti menemukan sebuah ide. "Kalau begitu, kita harus sering bertemu. Tidak hanya dalam suasana resmi seperti sekarang, tetapi juga di luar kantor," putusnya.

"Tetapi saat ini kita sudah bertemu satu sampai dua kali seminggu," protesku. Meeting lanjutan proyek dilakukan setiap minggu, minimal satu kali. Setelah meeting, Pak Ivan pasti akan mengantarku pulang apabila aku tidak membawa mobil, atau memintaku tinggal lebih lama untuk sekadar makan malam bersama.

"Tidak cukup. Setidaknya dua hari sekali. Bagaimana?" tawarnya.

"Meeting kita jadi dua hari sekali?" tanyaku balik ragu-ragu. Aduh, tentu aku tidak siap apabila harus memberikan laporan progres pengerjaan proyek lebih sering dari saat ini.

"Siapa bilang harus meeting?"

Aku mengerutkan kening.

"Bisa menonton film, makan malam atau hanya jalan-jalan keliling Jakarta."

"Semua itu di luar jam kerja."

"Mungkin harus saya ulang kalimatnya." Pak Ivan memajukan wajahnya mendekati zona intimku, membuatku sedikit jengah. Namun, aku tidak terpikir untuk mundur menjauh sama sekali. Aku tetap terpaku pada posisi dudukku saat ini. "Saya ingin bertemu dengan kamu, setidaknya dua hari sekali, bukan sebagai rekan kerja. Tetapi sebagai pasangan."

Aku terkesiap. "Pasangan?"  tanyaku lemah.

"Saya menyukaimu, Jani."

Pak Ivan menyatakan perasannya dengan penuh keyakinan, tanpa ragu sedikitpun. Saat menyatakannya, Pak Ivan menatapku lekat. Aku meremas kedua tanganku, berusaha meredakan cemas yang tiba-tiba saja muncul.

"Bohong kalau saya bilang tidak mengharapkan jawabanmu. Karena saya ingin sekali mendengar jawabannya saat ini juga."

Aku ternganga.

***

Bukan Salah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang