Bagian Tujuh

5 3 0
                                    

Menjadi terkenal memang menyenangkan. Semua orang akan bisa melihat dan mengangumimu. Wajahmu akan terpampang di majalah-majalah, ponsel, televisi, bahkan papan iklan megah di pusat kota. Sungguh menyenangkan. Seperti biasa Jun menyempatkan diri untuk mengagumi dirinya sendiri. Kali ini di sebuah toko aksesoris, lelaki dengan balutan mantel cokelat itu sedang duduk dengan posisi satu kali di atas kaki yang lain. Tangannya memegang sebuah majalah sambil sesekali tersenyum saat melihat gambar wajahnya yang menurutnya begitu mengagumkan.

"Ini tehmu."

Suara lembut seorang gadis membuat Jun menurunkan majalahnya dan meletakkannya di meja. Jun menyempatkan diri untuk tersenyum sebelum mengangkat segelas teh dan meminumnya.

"Mm... enak sekali. Menenangkan," ucapnya dengan dilebih-lebihkan. Padahal seperti biasa, dia tidak terlalu menyukai teh buatan gadis yang saat ini sedang duduk di hadapannya sambil menatap Jun kesal. Walaupun begitu, dia tetap harus menghormati usaha pembuatnya, kan? Apalagi yang membuatnya adalah sang pemilik toko. Jun lalu meletakkan tehnya kembali dan mengambil ancang-ancang untuk berbicara.

"Bagaimana? Kau sudah membujuk ibu?" tanya Jun dengan wajah penasaran.

"Ah, kenapa kau selalu menyuruhku? Kau bilang saja sendiri." Suara gadis itu agak meninggi.

Jun hanya mengehela napas pasrah. "Jika aku bisa mengatakannya sendiri, aku tidak akan jauh-jauh datang kesini, Adikku tersayang." Kata-kata itu diucapkan dengan geraman tertahan. Entah dari mana adiknya mendapat sifat menyebalkan seperti itu.

"Kau tau? Kau begitu menyebalkan, Jun," jawab gadis manis dengan rambut cokelat sebahu itu.

"Aku tahu. Karena kau juga begitu. Tapi kali ini saja, kau kan tahu ibu hanya mendengarkan ucapanmu dan kau ..." Jun belum sempat menyelesaikan kata-katanya ketika seorang kurir datang ke toko, membuat adiknya beranjak dan meninggalkannya. Jun mendengus kesal. Kenapa harus selalu ada gangguan di saat-saat penting begini.

Sebenarnya tujuan Jun datang ke toko adiknya adalah untuk membujuk ibunya. Setelah nama Jun menjadi lebih terkenal, tiba-tiba ibunya ingin mempercepat tanggal pernikahannya dengan Laura. Bayangkan betapa frustasinya dia saat mendengarnya. Kini, adiknya adalah satu-satunya cara karena dia adalah anak kesayangan ibunya. Hanya dengan sedikit usaha dari adiknya, maka ibunya pasti akan luluh. Itulah mengapa Jun harus berhasil kali ini.

Dari balik dinding kaca tempatnya duduk saat ini dia bisa melihat kurir itu menurunkan banyak sekali kotak. Entah apa yang dibeli oleh adiknya. Mungkin saja aksesoris untuk melengkapi tokonya. Tapi ada satu hal yang lebih penting. Berapa kalipun Jun mengamati, kurir itu benar-benar tidak cocok disebut sebagai kurir. Jika melihat dari pakaiannya dia lebih percaya jika lelaki itu adalah pacar adiknya.

Bagaimana bisa seorang kurir datang dengan mobil mewah? Apa perusahaan sekarang memiliki fasilitas yang seperti itu? Jun mengangkat bahu tak peduli kemudian kembali menyesap tehnya. Tunggu dulu ... Jun seperti menyadari satu hal, dia kembali melayangkan pandangannya ke arah lelaki yang sedang meletakkan kotak di sudut toko. Lelaki itu tampak tidak asing, Jun merasa dia pernah melihatnya. Tapi... dimana? Jun memiringkan kepalanya, lalu menatap lebih fokus pada lelaki itu.

Astaga, bukankah itu Kay? Jun mengedipkan matanya berkali-kali kemudian kembali melihat lelaki itu. Benar. Lelaki itu adalah Kay, seorang penyanyi yang sedang populer akhir-akhir ini. Jun sendiri juga menyukai lagu-lagunya. Tapi, untuk apa dia mengantar paket? Apa orang kaya juga membutuhkan kerja sampingan?

Setelah beberapa saat, akhirnya adiknya kembali duduk di hadapan Jun.

"Apa isi kotak itu? kenapa kau memesan banyak sekali?"

Adiknya menatap ke atah kotak itu. "Oh, itu lilin aromaterapi. Aku sudah lama menjual lilin aroma terapi tapi tidak ada yang seindah itu." Adiknya berjalan menuju kotak yang berada di sudut ruangan.

"Omong-omong... kau mengenal lelaki tadi?"

"Bagaimana bisa aku mengenal setiap kurir yang mengantarkan pesanan," jawab adiknya tanpa mengalihkan pandangan.

"Jessica... kau gunakan ponselmu untuk apa?" tanya Jun heran. Bagaimana bisa gadis bodoh itu tidak mengenal penyanyi seperti Kay.

"Kau harus membawa banyak kali ini, kau pasti menyukainya," ucap Jessica setelah meletakkan satu kotak berisi lilin ke atas meja dan mengabaikan wajah heran Jun.

Jun dan keluarganya adalah penyuka lilin aroma terapi. Ya, menjadi keluarga artis, walaupun menyenangkan, tetap bukan hal yang mudah. Masalah akan selalu datang dan membuat kepala seperti dijatuhi beban berat. Karena itulah dia dan keluarganya selalu membutuhkan semacam terapi penyembuhan. Kehidupan kota memang menuntut orang untuk lebih kreatif untuk menyembuhkan diri sendiri. Jun memilih lilin aroma terapi sebagai penyembuhnya. Benda kecil itu seperti memiliki kekuatan untuk mengembalikan ketenangannya. Setidaknya begitulah yang dirasakannya selama lima tahun ini. Bahkan, adiknya memutuskan untuk berjualan lilin aroma terapi karena dirinya.

Jun hanya melihat saja ketika adiknya menghidupkan lilin aroma terapi itu dan meletakkannya di tengah meja, membiarkan aromanya menyebar ke seluruh ruangan. Jessica menggerakkan alisnya seakan meminta penilaian dari Jun.

"Kau benar. Sungguh menenangkan," ucap Jun sambil tersenyum. Aroma lavender kesukaannya. Tapi, lilin ini berbeda dari biasanya, aromanya lebih lembut dan lebih menenangkan.

"Tunggu dulu, kau tidak menggunakan ini sebagai pengalihan agar kau tidak harus meminta ibu menunda pernikahanku, kan?" tanya Jun curiga.

"Ah, kau membahas itu lagi. menyebalkan."

"Aku tidak akan pergi sebelum kau setuju," ancam Jun sambil mengambil kembali majalah yang ada di atas meja.

"Terserah." Jessica bangkit dari kursi dan memilih pergi melayani pelanggan yang terus berdatangan.

Sebenarya Jun tidak benar-benar ingin membaca majalah itu, karena dia telah menyelesaikannya sejak tadi. Kali ini dia hanya menggunakan majalah itu untuk menutupi wajahnya dari orang-orang yang terus berdatangan. Keberadaannya tidak boleh diketahui siapapun. Jika itu terjadi, maka toko ini akan dipenuhi dengan orang yang meminta tanda tangan atau berfoto bersamanya. Pasti sangat melelahkan dan dia sedang tidak ingin melakukannya. Suasana hatinya sedang buruk.

Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore dan pelanggan masih terus berdatangan. Jun sudah mulai tidak nyaman. Dia mengganti posisi duduknya lebih sering dari sebelumnya. "Sebenanrya dari mana datangnya pelanggan-pelanggan ini," ketusnya pelan.

Menurut pengamatannya, semua pelanggan yang datang selalu membeli lilin aroma terapi yang baru saja dipesan oleh Jessica. Tadinya rak itu penuh dengan susunan lilin aroma terapi, tapi sekarang jumlahnya tinggal beberapa buah saja. Hebat sekali.

Jun meraih lilin yang berada di hadapannya, mengangkatnya hingga sejajar dengan wajahnya, "Candle light," gumam Jun membaca label yang tertempel di gelas kaca, lalu memiringkan kepalanya. Sepertinya kualitas bahan yang digunakan hanya bahan biasa, tidak seperti lilin berkualitas premium seperti yang biasa di belinya. Jun bisa langsung mengetahuinya karena dia telah ahli menilai setiap lilin aroma terapi. Tapi, dia mengakui jika aromanya lebih menenangkan dan warnanya lebih menarik. Pembuatnya sepertinya sangat ahli.

Candle LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang