Bagian Dua

25 13 2
                                    

Siapapun boleh mengatakan bahwa langit malam penuh taburan bintang adalah pemadangan indah yang sayang sekali untuk dilewatkan. Namun, tidak bagi Hana. pemandangan kaleng sisa biskuit yang penuh dengan uang lebih indah baginya. Jari-jarinya dengan telaten membolak-balik lembar demi lembar uang yang telah berhasil dikumpulkannya selama sebulan ini. Wajahnya berubah menjadi antusias saat Jarinya menyentuh lembaran yang semakin menipis.

"Satu juta, satu juta lima ratus, dua juta... aku mengumpulkan dua juta won," gumamnya pada diri sendiri.

Hana menghela napas pelan, kemudian mengangkat pandangannya, menatap jauh ke arah gedung-gedung pencakar langit yang berkilauan seperti berlian. Gedung-gedung itu berdiri dengan gagah sekaligus anggun seakan menunjukkan kemegahannya. Impian Hana adalah menjadi salah satu penghuni gedung mewah itu. Dengan begitu, tidak akan ada orang yang menertawainya dan mengolok-oloknya. Dia akan membuktikan kepada ibu tirinya bahwa dia juga bisa sukses tanpa harus berharap menjadi pewaris atau apalah itu. Itulah alasannya mengapa dia harus menjelma menjadi ratu pekerja paruh waktu.

Sebenarnya, dibalik semangatnya, dia menyimpan keraguan. Apakah dia mampu mencapai impian itu? atau apakah lebih baik dia dengan besar hati mengubur impian itu dalam-dalam? Maksudnya, Bagaimana bisa dia membeli apartemen mewah seperti itu sedangkan dia hanya seorang yang bahkan masih memikirkan apakah dia bisa membayar sewa kamar dan biaya kehidupannya bulan depan?

Lucunya, meskipun begitu, sisi lain dari dirinya sering menolak untuk menyerah. Apa salahnya untuk bermimpi? Sebodoh apapun mimpi itu kedengarannya, bukankah masih memiliki kemungkinan untuk terwujud? Ya, meskipun kemungkinan itu tidak lebih besar dari dari lubang ada di sepatuku. Suara itu sering terlintas di kepalanya.

Setiap kali dia ingin menyerah, dia selalu teringat kenangan buruk yang ditinggalkannya delapan tahun lalu saat dia masih berumur tujuh belas tahun. Saat dia harus tinggal di gubuk kecil tanpa penerangan setelah diusir oleh ibu tiri dan ayahnya sendiri. Sejak itu, dia mengikat dirinya sendiri dengan janji bahwa dia akan membeli sebuah apartemen mewah dengan listrik yang tidak pernah padam. Dan sejak itu pula dia pindah ke kota dan memulai hidup barunya sebagai ratu pekerja paruh waktu. "Hidupku sungguh..." gumam Hana pada dirinya sambil mendengus pelan.

Tiba-tiba bayangan kejadian tadi siang melintas di pikirannya. Saat dia harus menundukkan kepala dan memohon maaf seperti orang bodoh, bahkan, membiarkan orang lain menghina dan memakinya. Tanpa sadar, Hana mengusap pipinya yang ternyata telah basah. Ya, bohong jika dia merasa baik-baik saja setelah menerima perlakuan seperti itu.

Hana menghela napas, lalu meraih kaleng soda yang ada di sampingnya dan menghabiskan isinya yang tinggal separuh, membuat kepalanya mendongak. Dengan posisi seperti itu, dia bisa melihat hamparan bintang di atas sana. Bagaimana bisa bintang itu bergemerlapan dengan indah? Hana menjulurkan tangannya ke arah atas seakan ingin mengambil salah satu dari bintang di atas sana dan meminta 3 keajaiban. Ah, tidak. Dia tidak ingin menjadi serakah, satu saja pasti sudah cukup untuknya.

"Sedang apa?"

Suara itu mengagetkan Hana. Ia menoleh ke belakang, seorang lelaki jangkung berkulit putih menatapnya dengan tersenyum sambil berjalan mendekat ke arahnya. Tangannya terlihat menggenggam dua kaleng soda. Dia duduk di sebelah Hana dan meletakkan dua kaleng soda itu di antara mereka.

"Hanya menikmati angin malam," jawab Hana dengan senyum singkat.

"Dan menangkap bintang?" tanyanya sambil membuka kaleng soda dan memberikannya pada Hana.

Hana tertawa kecil. "Ya. Sayangnya aku tidak bisa. Kau mau mengambilkannya untukku?"

"Aku tidak mau. Bintang itu akan sedih jika aku mengambilnya. Karena dia harus meninggalkan tempat tinggalnya dan berpisah dengan keluarganya." Lelaki itu menatap Hana sambil tersenyum.

"Kau ini."

Seperti biasa. Lelaki itu selalu bisa menghiburnya. Lelaki itu bernama Kay, mereka tinggal di kamar yang saling berhadapan. Rumah yang mereka tempati merupakan bangunan dua lantai milik Bibi San. Lantai pertama merupakan rumah Bibi San dan toko buah miliknya dan lantai dua merupakan bangunan yang terdiri dari dua kamar yang disewakan oleh bibi San. Dan kebetulan penghuninya adalah Hana dan Kay. Secara teknis, bisa dikatakan mereka tinggal di rumah yang sama.

"Kau tidak latihan?" tanya Hana.

"Sudah. Aku sudah selesai latihan sebelum datang ke sini. Sebenarnya aku ingin memberitahumu sesuatu."

Hana mendengarkan dengan antusias.

"Besok aku akan diundang untuk konser di Lockhouse, jadi aku membutuhkan bantuanmu untuk memastikan kelancaran acara," terang Kay.

"Wah! Keren sekali. Tentu saja aku akan membantu."

Kay sebenanrya adalah seorang penyanyi. Dia sering tampil di acara-acara besar dan cukup populer terutama di kalangan para gadis. Tidak heran dia bisa populer seperti itu, suaranya yang sanggup membuat luluh siapapun ditambah wajahnya yang tampan adalah kombinasi lengkap untuk membuat orang tergila-gila padanya. Bahkan, namanya sering muncul di surat kabar dan majalah-majalah ternama. 

Hana merasa heran, mengapa orang seperti Kay memilih tinggal di kamar sederhana seperti saat ini? Padahal, dia pasti memiliki banyak uang untuk membeli rumah sendiri. Terkadang, Hana merasa iri karena Kay sepertinya memiliki hidup yang mulus tanpa ujian berat di punggungnya.

"Tapi... apa maksudmu dengan memastikan kelancaran acara? Sepertinya terdengar berat. Apalagi aku belum pernah datang ke acara seperti itu," ucap Hana ragu.

"Pokoknya, kau sudah menyutujuinya, sampai jumpa besok jam 8 malam," ucap lelaki itu sambil menyeringai.

Baru saja Hana akan bersuara saat lelaki itu sudah berdiri dan berjalan dengan langkah lebar meninggalkannya, kakinya yang jenjang memungkinkannya untuk melangkah dua kali lebih lebar dari Hana.

Hana mendengus kesal sambil melihat lelaki jangkung dengan sweater hitam yang perlahan menghilang di balik tangga. Bisa-bisanya dia pergi tanpa menjelaskan apapun. Memastikan kelancaran acara. Pekerjaan macam apa kira-kira. Apakah dirinya akan menjadi semacam manajer atau bagaimana?

Baru saja Hana akan beranjak pergi saat pandangannya mendapati Kay kembali datang. Kali ini tangannya membawa sesuatu yang lain selain soda. Lelaki itu berjalan mendekat dan berdiri tepat di depan Hana. Tangannya menyodorkan benda yang ternyata adalah sebuah lilin aroma terapi berwarna ungu muda. Hana menatap lilin itu dengan alis terangkat.

"Kau benar. Ini sangat ampuh mengusir kesedihan. Kali ini aku akan meminjamkannya padamu. Pastikan kembalikan saat kau sudah merasa lebih baik."

Hana menerima lilin itu sambil tertawa kecil. Ternyata lelaki itu mengetahuinya. Gadis itu sempat mengira dia telah berhasil menyembunyikan kesedihannya dengan baik. Tapi ternyata tidak. "Kau tidak perlu repot begini. Aku bisa membuatnya sendiri."

"Kau benar. Tapi akan terlalu terlambat menunggu lilin itu jadi."

Hana tersenyum singkat, lalu menatap lilin aroma terapi lavender yang ada di tangannya. Ingatannya kembali pada saat dia membuat lilin itu yang harusnya digunakan untuk menghilangkan kesedihannya, tetapi berakhir dengan memberikannya pada Kay. Saat itu, Kay baru saja gagal dalam sebuah kompetisi. Dia terlihat murung dan lebih banyak mengurung diri di kamar. Sepertinya kompetisi itu sangat berarti baginya. Melihat hal itu, Hana tergerak untuk memberi lilin aroma terapi itu pada Kay. Berharap lelaki itu akan sedikit lebih tenang dan kembali bersemangat. Dia tidak menyangka jika lilin itu akan kembali padanya dengan cara seperti ini. 

Candle LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang