(5) ; Keputusan dalam keputus-asaan.

105 21 0
                                    

Ruang makan rumah Jinyoung masih hening. Ayah Jinyoung menghela nafas.

“Ayah benar-benar tidak perlu kerumah sakit. Sekarang kau yang akan jadi tulang punggung keluarga, Jinyoung. Ibumu juga akan segera berhenti bekerja, tubuhnya semakin tua dan ia semakin mudah lelah. Apa kamu akan baik-baik saja?”

“Aah...” Jinyoung menghela nafasnya, ia memejamkan matanya dengan kening berkerut. Bukannya ia kesal karena harus menjadi tulang punggung kekuarganya, tapi karena tampang Ayah dan Ibunya yang terlihat sangat bersalah padanya. Padahal Jinyoung sama sekali tak masalah dengan hal itu. Ia akan melakukannya dengan sukarela merawat kedua orang tuanya yang telah membesarkannya selama ini. Kini gilirannya yang merawat mereka.

“Tentu saja aku baik-baik saja. Itu memang tugas anak Ayah ini. Jangan khawatir, Jinyoung baik-baik saja.” Ucap Jinyoung meyakinkan Ayah dan Ibunya, keduanya mengangguk namun sirat wajah mereka tak juga membaik. Mereka masih merasa bersalah karena selalu membuat Jinyoung merasa dia harus berdiri sendiri dan harus kuat demi mereka.

“Ibu jika sudah tak sanggup lagi bisa berhenti bekerja secepatnya ya? Jinyoung sudah wawancara hari ini dan kalau diterima Jinyoung bisa mulai bekerja secepatnya, jadi Ayah dan Ibu tak perlu khawatir. Eh, gajinya walaupun tidak seperti karyawan lainnya tetap saja akan tinggi. Jadi Ayah dan Ibu tak perlu mencemaskan keuangan kita, ya? Ayah dan Ibu bisa menikmati hari-hari dirumah, jika bosan bisa pergi berlibur.” Jinyoung berucap panjang lebar, berusaha meyakinkan kedua orang tuanya. Keduanya akhirnya tertawa melihat Jinyoung yang sangat bersemangat meyakinkan mereka.

“Kapan diumumkan?” Ibu Jinyoung bertanya penasaran, Ibunya bahkan mencondongkan badannya mengarah Jinyoung.

“Malam ini, kalau diterima besok akan mulai bekerja.” Ucap Jinyoung menjawab rasa penasaran sang Ibu.

“Aiyo!” Ibu Jinyoung memukul telapak tangan Jinyoung dengan kesal, membuat pria itu berkerut dan mengelus telapaknya yang terasa panas.

“Harusnya kau mengatakannya tadi, pas tiup lilin agar Ibu bisa membuat permohonan kau diterima.” Perkataan Ibunya itu sukses membuat Jinyoung tertawa.

“Tidak perlu membuat permohonan! Anak kita ini jenius oh! Jika dia ditolak perusahaan itu yang akan rugi, aih.” Ucap Ayahnya semangat sembari menunjuk Jinyoung berulang kali. Jinyoung semakin tertawa mendengar itu, Ibunya malah menyetujui kalimat sang Ayah dan sibuk menggangguk paham.

Jinyoung melirik berkas yang tadi diambil oleh Ayahnya. “Itu apa?” Jinyoung bertanya dan membuat Ayah dan Ibunya berhenti saling melemparkan pujian untuk Jinyoung. Ayah Jinyoung mengambil berkas itu dan meletakkannya dihadapan Jinyoung.

“Ini surat tanah dan kepemilikan rumah, semua berkas rumah ini ada di dalam dan sudah diatur dengan namamu.” Ucap Ayah Jinyoubg yang membuat Jinyoung membisu tanpa kata.

“Dua atau tiga hari yang lalu ya? Saat Ibu menyapu halaman pagi-pagi ada orang kaya turun dari mobil dan menatap rumah kita. Dia tertarik dan bertanya harga rumah ini. Tapi tentu saja Ibu bilang rumah ini tidak akan dijual sekarang.” Ucap Ibu Jinyoung yang semakin membuatnya bingung.

“Jika nanti Ayah dan Ibu sudah tidak ad-”

“Ayah!”

“Aih aih, Ayah dan Ibu sudah tua. Kita tidak bisa mengabaikan itu dan harus membahasnya sejak sekarang. Itu hal yang biasa.” Ucap Ayah Jinyoung yang paham bahwa anaknya kesal. Jinyoung mengusap wajahnya, kehabisan kata-kata.

“Jika nanti Ayah dan Ibu sudah tidak ada, kau bisa menjual rumah ini. Rumah ini sudah sangat tua, ada yang mau membelinya saja sudah syukur.” Lanjut Ayahnya sembari menatap sudut-sudut rumah yang ia bangun dengan susah payah namun kini terlihat hanya sebatas rumah.

Pahimakas | pandeepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang