Tiga Puluh Tujuh

11K 531 50
                                    

Happy reading. 💜

***


Pergantian tahun semakin dekat. Jadwal Hansya semakin padat, begitu pula dengan kerjaan Kiki dan Andre yang makin banyak. Bukan sekali-dua kali Kiki tidur di luar kota karena mengikuti jadwal Hansya. Saat berdinas di Surabaya, Hansya memilih menginap di rumah Herna, alih-alih hotel. Tentu saja wanita itu menyambut hangat kedatangan Hansya dan Kiki. Bahkan Herna tanpa segan mengajak Kiki ke rumah sakit dan mengenalkan gadis itu sebagai adiknya.

“Aku udah lama pengin punya adik perempuan. Eh, malah dikasih Hansya,” cerita Herna, kala itu. Kiki yang mendengar hanya bisa membalas dengan senyum tipis.

Di sana juga Kiki kembali bertemu Imelda. Gadis itu sudah bekerja di rumah sakit milik Herna. Melihat sosok Kiki, sebuah senyum tergaris di wajah Imelda. Meski gurat kelelahan akibat semalaman berada di rumah sakit, tidak lantas mengurangi aura kecantikan di wajah sang dokter muda itu.

“Sudah lama di sini?” tanya Imelda ramah.

“Baru kok. Tadi bareng sama Kak Herna ke sini,” balas Kiki.

Sedikit perubahan tampak di wajah Imelda. Namun dengan cepat gadis itu menyembunyikannya.

“Kak Herna juga ada di sini?”

“Iya. Tapi lagi ke toilet bentar.”

Kembali senyum Imelda haruskan, beriring dengan anggukan kepala.

“Kalau gitu aku pamit, ya, Ki. Senang bertemu kamu di sini.”

“Ah, iya. Sampai ketemu lagi.”

Mengangguk singkat, gadis yang masih memakai sneli itu pun berlalu. Meninggalkan Kiki yang masih berada di lobi rumah sakit. Netra Kiki masih mengekori langkah Imelda hingga sosok itu menghilang di koridor yang menuju arah tempat parkir.

Tidak beberapa lama kemudian, sosok Herna kembali muncul. Wajah ceria wanita hamil itu begitu kentara. Begitu berdiri di hadapan Kiki, Herna langsung mengamit lengannya. Membuat Kiki mau tidak mau menyejajari langkah Herna.

Meski kunjungan Kiki ke Surabaya adalah dalam rangka bisnis, tetapi nampaknya kehadirannya tidak lebih untuk menemani Herna. Pasalnya hampir setiap waktu ia habiskan untuk menemani Herna, alih-alih bersama Hansya untuk menemui para klien. Alhasil Hansya selalu bekerja ditemani Andre yang turut menyusul ke Surabaya, beberapa hari kemudian.

“Hari ini kita nge-mall aja, ya, Ki. Udah lama Kakak nggak ke mall bareng sesama perempuan gini.”

Kiki tidak ada kuasa untuk menolak. Selain itu, menemani Herna cukup menghibur dirinya dari seabrek kerjaan yang makin menggila.



***



Kiki dan Herna tiba di rumah saat malam telah tiba. Pukul delapan lewat lima belas menit saat mobil yang mereka kendarai berada di carport. Sedikit kewalahan membawa beberapa kantung kertas berisi pakaian bayi dengan perut yang semakin membesar, Kiki dengan sukarela membantu Herna masuk ke dalam rumah.

“Kamu istirahat aja, Ki,” saran Herna setelah mereka berada di ruang tamu.

Kiki yang tengah menata tas belanjaan menoleh sekilas. “Harusnya Kak Herna yang istirahat. Aku bisa nanti.”

Herna tersenyum lebar. Ia begitu senang dengan panggilan yang ia dengar dari bibir Kiki. Atas permintaannya, Kiki memanggilnya 'kakak'. Ia tidak ingin ada sekat antara dirinya dan sekretaris sang adik jika Kiki terus memanggilnya 'Bu Herna'.

“Kak Herna mau aku buatin minum?” tawar Kiki.

Herna menggeleng. Tak berselang lama ia meraih semua tas belanjaanya dan berdiri.

“Nggak usah. Aku mau langsung ke kamar aja.” Kiki hendak membantu, tetapi dengan cepat Herna menahan gadis itu. “Aku bisa sendiri kok, Ki. Kamu istirahat aja. Kamu pasti lebih capek karena mesti nyupirin aku seharian ini.”

Tidak ada bantahan, karena Herna memang tidak menginginkan hal tersebut. Untuk sejenak Kiki mematung. Membiarkan Herna berlalu dari hadapannya.

Sejujurnya, Kiki memang sedikit lelah. Namun entah kenapa senyum bahagia Herna sangat menular, hingga dia sedikit melupakan rasa lelah. Menatap sekeliling, sepi menyapa Kiki. Sosok Hansya dan Andre tidak tertangkap netranya. Pun suara dua lelaki itu yang acapkali terdengar sayup-sayup. Kiki tahu, Hansya dan Andre belum pulang dari meeting.

Menghela napas, Kiki membawa tubuhnya menuju kamar yang ia tempati. Herna benar, ia butuh istirahat dan membersihkan tubuh yang terasa lengket.

Rasa kantuk tidak bisa Kiki cegah setelah tubuhnya kembali segar dan menunaikan ibadah. Mengecek ponselnya, Kiki mengerutkan dahi karena hingga detik ini telinganya tidak juga menangkap suara mobil yang pagi tadi Hansya kemudikan bersama Andre.

Meeting-nya lama banget. Sudah pukul sepuluh,” monolog Kiki.

Kantuk yang menggila, menyerang Kiki. Tidak kuasa menahan lebih lama, gadis itu pun terlelap dalam hitungan menit setelah mengecek berbagai pesan di ponsel. Waktu berlalu, hingga saat tengah malam, Kiki kembali terjaga.

Jam di ponsel menunjukkan pukul satu lewat dua puluh tiga dini hari. Melirik gelas kosong di atas nakas, Kiki pun meraihnya sebelum akhirnya bangkit. Hendak mengisi kembali gelas tersebut, Kiki melangkah menuju dapur. Sudah beberapa hari menginap di sini, Kiki sudah terbiasa dengan keremangan cahaya. Seperti berada di rumah sendiri, Kiki dengan lancar tiba di dapur. Tanpa membuang waktu, ia pun mengisi gelas setelah sebelumnya membasahi kerongkongan yang kering.

Kiki sudah hendak kembali ke kamarnya saat sebuah suara sayup-sayup terdengar. Bukan berasal dari seseorang, melainkan dari dua orang lelaki yang tengah berbincang. Kiki kenal pemilik suara tersebut. Karena itu ia memilih abai dan kembali meneruskan langkah. Namun, saat salah seorang dari pemilik suara itu merapalkan namanya, tanpa tedeng aling-aling, langkah Kiki terhenti.

Kesunyian malam membuat telinga Kiki lebih peka. Mendekat ke arah suara yang berasal dari ruang kerja milik suami Herna, Kiki mendapati Hansya tengah berbincang dengan Yusrizal. Keduanya berdiri di balkon, membelakangi Kiki. Meski Kiki tengah mengintip dari celah pintu, tentu kedua lelaki itu tidak akan pernah menyadari eksistensinya.

“Papa sangat ingin melihat kamu menikah, Hansya.” Suara Yusrizal terdengar putus asa.

“Jawabanku akan selalu sama,” balas Hansya penuh tekad.

“Papa tidak akan memaksa kamu kali ini. Tapi, Papa menaruh harap kalau kamu mau membuka hati untuk Kiki. Papa tahu, kamu pasti menyadari alasan Papa merekrut sekretaris baru, sedangkan ada Andre yang menemani kamu selama ini.”

“Jangan melibatkan orang lain, Pa.” Hansya mendesah, sebelum kembali melanjutkan, “Aku sudah berusaha membuka hati untuk semua wanita yang dikenalkan kepadaku, tapi hasilnya tetap sama. Itu juga berlaku untuk Kiki. Aku sudah berusaha membuka hati, sesuai keinginan kalian, tapi aku tetap tidak bisa.”

Kiki semakin menajamkan telinga. Ingin hatinya melihat ekspresi dari dua lelaki dewasa itu. Sayang, keinginannya tidak dapat terpenuhi. Kiki hanya bisa puas menguping pembicaraan dengan visualisasi punggung Hansya dan Yusrizal. Meski tahu, ini bukan haknya untuk tahu pembicaraan antara ayah dan anak itu, tetapi Kiki begitu penasaran karena namanya ikut serta dalam pembahasan tersebut.

“Haru memang sudah tiada, Pa. Namun dia akan tetap ada di hatiku. Untuk saat ini, posisinya belum tergantikan.”

“Papa tahu, Nak,” desah Yusrizal. “Namun, kali ini. Sekali ini saja, coba buka hati kamu untuk Kiki. Setelah kamu berusaha mendekati Kiki, jika hati kamu tidak juga terketuk, kami akan benar-benar menyerah dan tidak akan mengurusi hubungan asmara kamu lagi.”

Hansya tidak menjawab. Bahkan hingga menit berlalu, lelaki itu tidak juga menyuarakan jawaban. Entah kenapa, Kiki dilanda perasaan sedih. Seakan eksistensinya hanyalah sebagai sebuah umpan agar posisi seseorang yang telah tiada dari dunia ini terganti.

Kiki tidak menyukai kesimpulan di benaknya. Sebelum hatinya semakin tidak menentu dan Hansya ataupun Yusrizal menyadari kehadirannya, Kiki lekas berlalu. Tanpa pernah Kiki safari bahwa sejak malam itu perasaannya berubah drastis. Kepercayaan dirinya merosot tajam hingga membuatnya bertanya apa ia tidak layak dicintai dengan tulus? Tanpa iming-iming menyingkirkan seseorang yang bahkan sosoknya tidak akan pernah ia jumpai.

***

Masih nungguin Hansya-Kiki, kan?
Masih dong. Iya, kan?

Cerita ini akan segera aku tamatkan, jadi tunggu aja, ya kapan bakal aku update. Soalnya aku juga mau nulis cerita yang lain.

Btw, ada yang udah order The Flower Bride belum? Harganya masih harga promo di shopee. Beli yuk, biar bisa baca-baca karyaku yang lain selain cerita ini.

Jangan lupa juga mampir ke akun storialku. Ada Urgensi dan yang terbaru, yakni Comeback yang khusus aku tulis di storial. Jadi dua cerita itu nggak bakal kalian baca di Wattpad.

Jangan lupa mampir, ya, dan baca terus cerita yang bakal aku tulis di Wattpad.

Xoxo

Winda Zizty

10 November 2020

P.s : selamat Hari Pahlawan!
Jangan melupakan jasa para pahlawan yang sudah memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini, ya.

Kebelet Nikah dengan CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang