“Silakan dilihat, Nak Varsha.”
Sesaat setelah ia menggerakkan kepala untuk mengangguk seraya sedikit mengulas senyum kepada wanita di hadapannya, kontan kedua netranya segera memindai dengan perlahan juga cermat deretan angka yang terdapat pada laporan hasil pencapaian kompetensi peserta didik semester ganjil empunya.
Tatkala mengetahui angka delapan puluh, sembilan puluh, dan seratus mendominasi tabel pada sebagian besar pelajaran di rapor tersebut, bibirnya lantas terulum selaras dengan napasnya yang terembus panjang, lega. Sesaat, netranya melirik wanita dengan paras ayu yang duduk di sebelahnya, kemudian, ketika netra mereka bertubrukan satu garis lengkung dari ujung bibir keduanya tercipta.
“Sudah melihat hasil ujiannya, Varsha?” tanya Ghina, guru dari Varsha.
Varsha lalu mengangguk ketika usai melepas kontak dengan wanita di sebelahnya. “Sudah, Bu. Terima kasih banyak.” jawabnya riang sembari meraih tangan kanan Ghina guna menyalami tangan wanita tersebut.
“Tingkatkan lagi prestasimu ya, Nak.” pesan Ghina sebelum Varsha dan ibunya beranjak dari kursi sekolah untuk pergi dari sana.
Dengan senyum yang tulus, Varsha menjawab, “Pasti, Bu. Terima kasih sekali lagi.”
Setelah menerima anggukan serta senyuman dari Ghina, Varsha dan ibunya lantas beranjak dengan rapor di tangan. Pada sepanjang selasar menuju pekarangan sekolah, sang sunyi setia merengkuh mereka. Entah karena merasa tak perlu ada yang dibicarakan atau keduanya tak tahu bagaimana cara untuk berdialog hangat juga panjang layaknya orang tua dan anak kebanyakan.
Setibanya di sana, ibunya Varsha tanpa interupsi menggerakkan tangan untuk mengelus punggung Varsha halus dengan arti yang sukar diartikan sebab wajah wanita itu tiada menampilkan ekspresi apapun. Dan karena terkejut, berkali-kali Varsha mengerjap-erjapkan mata. Sungguh, hal yang baru saja dilakukan ibunya teramat jarang ia dapati.
Mengembuskan napas terlebih dahulu, barulah wanita berumur empat puluh tahun itu berujar dengan netra yang tak jua lepas dari raga putri sulungnya. “Kamu pulang sendiri aja gak apa-apa ya, Sha? Ibu ada jadwal di rumah sakit sekarang.”
Varsha yang mampu memaklumi hal tersebut pun tanpa pikir panjang mengangguk. “Iya, gak apa-apa, Bu. Hati-hati ya di jalan.” katanya dengan seulas senyum.
Kemudian ibunya, Thalita, mengulum bibir, menepuk puncak kepalanya hingga melangkahkan kaki untuk menjauh dari sana menuju rumah sakit tempat di mana beliau bekerja.
— 🌧️ —
Sesampainya di rumah, Varsha segera melepas alas kakinya kemudian diletakkannya benda tersebut ke rak sepatu yang berada di pojok ruangan. Keningnya lantas mengkerut tatkala ia tak sengaja menangkap sepatu milik Varrel, adiknya.
“Ibu mana, Kak? Kemarin bukannya Kakak bilang bakal ambil rapor sama ibu?” Yang dipertanyakan lantas hadir tidak lama. Lantas saja Varsha segera mengarahkan kepalanya ke arah Varrel yang seperti tengah menunggu jawaban darinya.
“Kamu, kok, udah pulang? Kamu itu udah kelas sembilan, jangan aneh-aneh. Kamu bolos?” Alih-alih memberi jawaban kepada Varrel atas pertanyaan pemuda itu, Varsha justru menciptakan sebuah pertanyaan baru. Mendapati pertanyaan tersebut, Varrel berdecak seraya melipat kedua tangan di depan dada.
“Makanya, Kak, jangan pelajaran mulu yang dipikirin sampe keseringan lupa hari. Sekarang hari Jum'at, karena ada sholat Jum'at ya pulang cepet buat ngehormatin siswa yang muslim.” jelas Varrel.
Meringis untuk sesaat, kemudian Varsha terkekeh-kekeh seraya menggaruk tengkuknya, merasa malu. “Ya ... abisnya, kan, pelajaran nomor satu, Rel.”