Part 2. Pencinta Bunga dan Nenek Tua

47 0 0
                                    

TEROR PENGANTIN BARU 2

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

TEROR PENGANTIN BARU 2

Pencinta Bunga dan Nenek Tua

Aku tak kuasa melihat wajahku dicermin. Kututup muka  sambil terus menjerit.

"Fey, ada apa?" Mas Aksa muncul dengan panik.

Aku lari dan berjongkok di sudut kamar mandi  menutupi wajahku. Aku malu dan takut, tidak mau Mas Aksa melihat wajahku.

"Fey, kenapa?" tanyanya panik. Ia berusaha membuka tanganku. Walaupun aku berusaha sekuat tenaga menutup wajah, tapi ternyata Mas Aksa tetap bisa menarik tangan ini.

Aku menangis pasrah, sudah siap bagaimanapun  reaksi Mas Aksa saat melihat wajahku. Ternyata dia menarikku  ke pelukannya dan menenangkanku.

"Sabar, sayang. Tenang .... Nggak apa, apa, kamu sama Mas, kok," begitu katanya. Dia membimbing ku untuk berdiri dan merangkulku  kembali ke kamar. Sekilas kulihat bayanganku di cermin. Wajahku biasa, seperti sedia kala, tidak menakutkan seperti yang kulihat tadi.

Di tempat tidur aku masih meraba-raba wajahku. Halus dan tak ada noda darah sedikitpun. Kulihat rambutku yang tergerai di dada  juga hitam, tidak putih seperti tadi.

"Mas, apa wajah Fey nggak apa-apa?" tanyaku pada Mas Aksa.

Mas Aksa tersenyum. "Nggak apa-apa. Emang kenapa?"

"Fey, tadi lihat bayangan wajah Fey di cermin seram. Fey jadi keriput, berlumuran darah, bertaring, dan rambut memutih."

"Hahaha, paling kamu cuma mimpi. Kamu masih mengantuk tapi ke kamar mandi, jadi itu hanya halusinasimu. Ngigau paling kamu," jawab Mas Aksa tenang.

Kemudian ia memelukku, membujukku agar kembali tidur. Aku berusaha tidur di pelukannya, tapi suara binatang-binatang malam dan peristiwa yang kualami tadi membuatku tak bisa tidur.  Namun akhirnya aku merasa sangat mengantuk dan terlelap.

🖤🖤🖤

Suara cicit burung-burung liar dan terpaan sinar matahari pagi yang menyusup lewat jendela membangunkanku. Tercium aroma wangi masakan di hidungku. Mas Aksa tak ada di sampingku. Duh, aku bangun kesiangan! Segera aku mencuci muka dan gosok gigi lalu keluar kamar.

Tampak Mas Aksa sedang memasak nasi goreng di dapur.

"Sudah bangun Tuan Putri?" tanyanya setengah meledek.

Tersipu aku memeluk dan menyandarkan kepala ke punggungnya. "Maafin Fey ya Mas, Fey bangun kesiangan," kataku.

"Nggak apa-apa," kata Mas Aksa sambil mematikan kompor. Ia segera meletakkan nasi goreng dalam dua piring dan membawanya ke meja.

"Ayo makan, Sayang," katanya sambil membimbingku duduk di hadapan sepiring nasi goreng.

Aku jadi malu sendiri. Istri macam apa aku ini. Sudah bangun kesiangan, eh dimasakin juga sama suami.

"Maaf ya Mas, Fey bener-bener nggak enak sama Mas. Harusnya Fey yang bangun duluan dan masak buat Mas," kataku. "Tapi kejadian tadi malam ... bener-bener bikin Fey nggak bisa tidur, Fey baru bisa tidur menjelang pagi, jadi Fey kesiangan."

"Nggak apa-apa, sayang. Nggak usah dipikirkan. Tadi malam itu hanya mimpi," jawab Mas Aksa.

"Nanti biar Fey yang cuci piring," kataku kemudian.

"Nggak usah, nanti setelah sarapan letakkan saja dulu piringnya. Aku akan mengajakmu jalan-jalan menikmati udara pagi," jawab Mas Aksa.

Aku mengangguk dan menyetujui rencananya.

🖤🖤🖤

Beralan-jalan pagi di desa ini rasanya sangat menyenangkan. Udara di tempat ini sejuk. Aku dan Mas Aksa berjalan melalui jalan berkerikil yang sepi. Pohon-pohon flamboyan menghiasi tepinya. Bunga-bunga amarylis oranye tumbuh liar dengan indah.

"Bunga-bunga liar yang indah, apa boleh Fey membawanya dan menanam di rumah?" tanyaku pada Mas Aksa.

"Boleh," jawab Mas Aksa. Dengan sigap ia mencabut satu dan memberikan untukku. "Di sini banyak tanaman liar yang cantik, nanti kalau kamu udah terbiasa di sini pasti menemukan bunga-bunga cantik lainnya yang tumbuh liar," lanjut Mas Aksa.

Mas Aksa juga mengatakan, besok dia sudah berangkat kerja. Aku harus sendiri di rumah mengurus keperluan rumah tangga. Saat ini aku belum bisa naik motor, dan mobil dibawa Mas Aksa pergi bekerja, aku harus jalan kaki melewati jalan ini untuk membeli keperluan rumah tangga. Sekitar 500 meter dari rumahku ada pemukiman yang agak ramai, di sini aku bisa beli keperluan rumah tangga seperti sayuran, telur, daging, dan keperluan lainnya. Berjalan 500 meter melalui jalan berkerikil lumayan melelahkan, tapi kata Mas Aksa ada jalan pintasnya melalui persawahan dan kebun-kebun lebat.

Setelah membeli barang-barang keperluan rumah tangga aku dan Mas Aksa pulang melalui jalan pintas. Pemandangan yang kami lalui luar biasa indah. Kami melewati pematang sawah yang ditanami sayuran. Perdu-perdu tumbuh di sekitarnya menampakkan bunga-bunga liar warna kuning yang cantik. Gemericik air sungai yang jernih terdengar saat aku dan Mas Aksa melewati jembatan bambu yang membentang di atasnya. Selanjutnya aku dan Mas Aksa melewati jalan setapak yang memisahkan dua buah kebun lebat dengan pohon-pohon besar. Kebun yang lebih mirip hutan kalau menurutku. Tak terasa jalan ini berakhir. Kulihat sebuah tempat berumput yang luas, selanjutnya perdu-perdu yang kukenal. Itu adalah perdu yang tumbuh di rumah yang kutempati bersama Mas Aksa. Tak kusangka, ternyata jalan pintas yang kulalui ke pasar sangat menyenangkan.

🖤🖤🖤

Keesokan paginya, Mas Aksa sudah mulai bekerja. Setelah membereskan rumah aku berjalan-jalan sendirian melalui jalan pintas yang kami lalui kemarin. Dengan gembira aku menikmati udara pagi dan semilir angin yang sejuk.

Sesuatu menarik perhatianku. Ada bunga liar yang indah di dalam hutan yang kulalui. Kumasuki hutan untuk mencabut bunga putih berdaun panjang itu. Duh, ternyata si  bunga  cantik sulit dicabut. Aku gagal mengambilnya, ternyata ia tertanam kuat di dalam tanah.

Eh, lihat, agak jauh ke dalam hutan ada bunga-bunga sejenis yang masih kecil, mungkin dia akan lebih mudah dicabut. Dengan semangat aku menghampiri bunga-bunga itu. Tak disangka, ternyata di sekitarnya juga tumbuh pohon-pohon keladi berdaun indah yang tertutup semak. Ah menyenangkan sekali! Aku segera berusaha mencabut tanaman-tanaman itu untuk kutanam kembali di rumah.

Tiba-tiba suara gesekan daun-daun kering mengejutkanku. Terdengar suara langkah mendekati. Seketika aku terkejut melihat sosok yang ada di belakang. Nenek tua itu, dia persis bayangan yang kulihat di cermin, hanya saja mukanya tak berdarah dan tak bertaring. Ia menatap tajam seperti marah padaku.

Seketika tubuhku gemetar. Aku berusaha lari sekuat tenaga. Ketakutan ini membuatku lari tak tentu arah, aku tersesat. Kini, aku tak tahu ke mana arah jalan pulang.

*Bersambung*


Teror Pengantin BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang