Surai hitamnya terurai jatuh ke bawah berantakan. Tampangnya masam tak memperlihatkan kebahagiaan sama sekali. Tiga hari berturut-turut masalahnya tak kunjung selesai.
Hari ini dirinya dipanggil lagi ke ruang guru, dengan alasan yang sama, ketauan memberikan contekan kepada sang teman kala ulangan harian dilangsungkan pada jam pertama.
Ia menggeret langkahnya secara terpaksa keluar dari lift yang terhenti tepat di lantai ruangannya, membenarkan letak gendongan tasnya, dirinya pun juga mulai merapihkan tatanan rambut panjangnya.
Mengikatnya menjadi satu, sedikit membawa rasa kenikmatan membuat buliran keringat menghilang perlahan dari tengkuknya, "Habis ini aku akan mandi, pasti menyegarkan rasanya." Ujarnya dengan langkah santai melewati beberapa lorong.
Pijakan terakhir terhenti bukan tepat di depan ruangannya, baru saja ia melangkah di depan lorong ruangannya, ia terhenti sebab benda tak asing di mata lagi-lagi ada disana.
Di depan ruangannya.
"Pasti salah kirim lagi." Ia mendegus kesal tak karuan, tubuhnya sudah remuk sejadi-jadinya. Membersihkan toilet dan aula sekolah bukan perkara yang mudah seperti membalikan telapak tangan. Semua itu membutuhkan tenaga ekstra, belum lagi tadi ia tertinggal bus jadwal sore.
Ia mau menangis saja rasanya, sudah tak sanggup kalau harus mengantar kiriman ini meski jaraknya hanya beberapa langkah dari ruangannya, pokoknya tidak sanggup.
"Biarkan saja, nanti juga pemiliknya sadar dan mengambilnya." Gadis itu memilih untuk acuh sekarang, lalu kembali berjalan melangkah maju.
Sekarang dirinya berada tepat di depan ruangannya sendiri, ia tampak berusaha tak melirik ke arah bawah dimana benda kotak itu berada, "Bagaimana ini? Haruskah aku mengantarnya, lagi?"
Menggeram frustasi dengan tangan yang tetap menekan digit-digit angka untuk mengakses masuk ruangannya, ia terhenti sejenak lalu menoleh ke arah benda tersebut, "Baiklah, ini yang terakhir kalinya." Ujarnya geram.
Ia tertunduk meraih paket tersebut dengan uluran tangannya, dengan hati-hati ia membawa barang itu pergi bersamanya tanpa berminat untuk menggali info yang tertempel pada satu lembar di atas kotak tersebut.
"Aku langsung letakan saja disini, nanti juga pemiliknya keluar dan mengambilnya." Meletakannya persis seperti barang itu terletak di depan ruangannya, sekilas menatap dua digit angka hitam tertera di pintunya.
Ruangan Tujuh Belas.
Selalu saja ruangan ini yang ia kunjungi setiap pekannya, entah hari senin atau selasa atau hari lainnya. Tapi, pasti salah satu harinya akan terjadi seperti ini.
Berusaha tetap sabar tak menendang barang kirimin tersebut, --sebab selalu merepotkannya, ia mengelus pelan dadanya sambil menghembuskan nafasnya teratur, dia berucap pelan, "Ini terakhir kalinya, Hwang. Terakhir kali."
Ia membalikan tubuhnya dan langsung melangkah cepat, sedikit berlari mengarah ke ruangannya, menekan digit sandi mengakses kembali untuk masuk kesana.
Mungkin terlalu lelah, terlalu ingin terburu-buru merebahkan diri di atas ranjang luasnya, terlalu ingin menyegarkan otaknya dengan hal yang sejuk,
Sampai-sampai tak sadar, ada sosok lain yang berdiri disana dengan senyuman tipis terulas.
[tbc]
halo, ini cerita pertamaku.
semoga yg membaca pada suka ya.
Terima kasih❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
ROOM SEVENTEEN✓
FanfictionNomor ruangan miliknya itu tiga belas, sudah tertera jelas di pintunya. Tapi, mengapa ya barang-barang kiriman untuk ruangan nomor tujuh belas selalu diletakkan di depan ruangannya? Hwang Sona mengerut heran sekaligus kesal. Dirinya jadi harus repot...