Part 1

34 3 0
                                    

Gerimis siang ini tak mengurungkan niatku untuk pulang. Ibu mertuaku pasti ngomel kalau saja aku sampai telat tiba di rumah.

"Makasih ya, Mang," ucapku setelah menyodorkan selembar uang kertas lima ribu pada tukang ojek itu.

Aku berlari-lari kecil, menuju rumah. Tas jinjingku kini malah berfungsi sebagai payung, menutupi kepalaku terhadap jatuhan air dari langit.

Huh ....

Sebagaian besar seragam coklat yang kukenakan itu basah. Setelah melalui perjalan dari Sekolah Dasar yang tak begitu jauh dari rumah kami.

Iya, aku harus banting stir untuk menambal kebutuhan sehari-hari dengan menjadi seorang guru honorer. Sebenarnya gelarku bukanlah Sarjana Pendidikan. Tapi, mau bagaimana lagi.

"Assalamualaikum," ucapku dari depan pintu.

Biasanya ibu mertuaku selalu menyahut salamku. Tapi kali ini tak ada balasan dari arah dalam.

Mungkin dia tidur. Gumamku.

Aku melepaskan sepatu semi kulit warna hitam yang telah mengelupas di bagian tengahnya itu. Namun, sepatu itu tak pernah terganti. Jangankan untuk beli sepatu baru, untuk beli bedak pun aku harus nabung dulu dari sisa honorku yang di bayar tiga bulan sekali. Ya, begitulah.

Ceklek!

Kubuka pintu yang dipenuhi bekas tempelan kertas selebaran pemilu itu. Ada-ada saja caleg jaman sekarang. Masa, sampai pintupun ditempel iklan, coblos saya! Bisa saja nanti selebarannya di tempel hingga ke dalam kamar, saking pengennya menang.

Aku masuk ke dalam rumah, melihat-lihat ke ruang tamu. Tak berpenghuni. Pandanganku hanya terbentur pada TV tabung 14 inci sebelah dinding ruang tamu sempit itu. Kuputar bola mataku sedikit, berharap ibu ada di atas kursi rotan dengan jok busa warna merah tua sebagai alas duduknya itu. Ternyata juga nihil.

Kemana ibu? Batinku.

Kulirik jam KW3 di pergelangan tanganku. Baru pukul 11:00.

Nanti aja ah masak, nasi sudah ada di rice cooker, paling nanti cuma numis kangkung sama ceplok telor buat ibu. Gumamku.

Kepalaku terasa pusing, aku memang tak bisa kehujanan. Selalu saja migrain menyerang sehabis kena air hujan.

Setelah ganti seragam setengah basah itu dengan daster. Aku merebahkan tubuhku ke atas dipan berbahan kayu jati model lama. Sedikit berisik suara dipan itu beradu dengan tembok kamar.

Aku menerawang, menatap kosong ke arah atap seng rumah. Rumah tipe tiga enam ini memang belum rampung. Belum ada plafon, sebagian dindingnya pun masih belum diplaster. Rumah ini adalah peninggalan almarhum bapak mertuaku.

Sambil berbaring aku melamun, meratapi nasib dikandung badan.

Dua tahun, bukanlah waktu yang singkat bagiku. Apalagi dengan kondisiku yang belum juga dikaruniai seorang buah hati.

Lebih-lebih setelah mas Dimas, suamiku, harus menelan kenyataan pahit setelah enam bulan di PHK dari perusahaan perkebunan sawit tempat ia mengais rejeki.

Beginilah realita hidup.

Rasa pusingku mengantarkanku lelap dalam mimpi.

"Rindu?!" pekik seorang wanita.

"Rindu ... ?!" Kali ini dia berteriak sedikit kencang.

Aku terkejut mendengar ibu memanggil namaku.

Mimpikah aku? Perasaan baru sebentar aku terlelap. Batinku.

Ya Tuhan, sekarang sudah jam 2 siang. Mana Aku belum memasak buat ibu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 14, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rindu MenjandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang