Taeyong meluruskan kaki rampingnya yang pegal akibat lima jam perjalanan kereta antarkota ketika sampai di stasiun tujuan. Tidak banyak orang di sini, tidak seperti kota tempat tinggalnya di ibukota sana. Apa mungkin karena ini hari kerja? Apakah stasiun ini akan ramai di akhir pekan? Tapi, bukankah stasiun biasanya akan lebih ramai di hari kerja? Atau itu hanya berlaku di kota tempat ia tinggal dan beberapa kota lain di sekitarnya? Terlepas dari ramai-tidaknya, stasiun ini, menurut Taeyong, sudah modern dan tidak kalah bagus dengan stasiun di kota-kota besar. Ia memutuskan untuk membeli makanan cepat saji di toko serba-ada yang ada di dalam stasiun sambil menunggu mobil dari perusahaan yang akan menjemputnya.
Seharusnya mereka sudah sampai beberapa menit yang lalu dan tidak membuat Taeyong menunggu, tapi tidak apa, pria berambut merah muda itu jadi bisa beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke akomodasi yang sudah disediakan untuknya, sebelum ia mengisi acara sebagai pembicara di seminar perusahaan tempat ia bekerja di hari berikutnya.
Pria dua puluh delapan tahun itu duduk di salah satu meja kosong depan toserba dan meletakkan makanan dan minuman yang ia beli di meja. Rasa laparnya membuat ia mengambil apa saja yang ia kira enak. Taeyong tidak sempat makan di kereta walaupun mereka menyediakan menu untuk kelas bisnis. Bukan karena tidak lapar, tapi makanan yang disediakan transportasi seperti ini tidak pernah menggugah selera. Ia bahkan tidak menghabiskan salad yang sengaja ia pesan di kereta tadi, yang ia pikir adalah menu teraman untuknya karena hanya berisi sayuran.
Taeyong memandang makanannya dengan penuh cinta. Di hadapannya kini sudah ada nasi goreng dengan ikan dori, onigiri, dimsum, dan dua botol air mineral. Ia mengeluarkan sendok plastik dari kertas pembungkusnya sambil memperhatikan keadaan sekitar. Di samping toserba tersebut ada loket pengisian ulang kartu untuk kereta lokal, yang Taeyong pikir mungkin biasa digunakan warga lokal untuk bepergian dalam kota.
Tepat di seberangnya, ada kedai kopi ekspres yang bernuansa cokelat muda-putih yang sedang dikunjungi beberapa pelanggan. Sebelum Taeyong sempat membuka penutup nasi gorengnya, sesosok figur lelaki keluar dari kedai tersebut, dengan satu gelas kopi dingin yang berwarna senada dengan cokelat muda kedai di tangannya, memakai flanel kotak-kotak biru dongker-abu, celana jeans, dan tas selempang ukuran sedang. Tergantung semacam kartu identitas di lehernya.
Taeyong yang merasa tidak asing dengan perawakan laki-laki itu tidak mengalihkan pandangannya. Ia bahkan memicingkan matanya untuk melihat pria itu lebih jelas. Sembari memainkan ponselnya, ia terlihat sedang menunggu seseorang atau sesuatu.
Betapa kagetnya Taeyong ketika pria itu berhenti memainkan ponselnya dan mengangkat kepalanya.
"You gotta be kidding me," Taeyong membuang pandangannya dan berusaha mengatur napas.
Adalah Jaehyun, mantan kekasihnya yang ia tinggalkan beberapa tahun lalu, yang berdiri di depan kedai kopi tersebut. Taeyong kembali menoleh pada Jaehyun yang sedang menyedot kopinya, sedikit memperhatikan gerak-geriknya.
Semua memori tentang hubungannya dengan laki-laki itu seketika berkumpul di otaknya, menyesakkan dadanya.
Kisah cintanya dengan Jaehyun bermula dengan sangat manis di tujuh tahun yang lalu, seperti cerita-cerita teenlit yang biasa Anda temukan di banyak fanfiksi. Mahasiswa muda, ceroboh, dan selalu saja mencinta berlebihan. Setidaknya, dalam hubungan mereka, deskripsi muda dan ceroboh sepertinya melekat pada Taeyong, sedangkan yang selalu mencinta berlebihan adalah Jaehyun.
Tujuh tahun lalu, mereka adalah mahasiswa dari universitas yang sama, salah satu universitas terbaik di negara itu. Seperti banyak cerita roman picisan lain, Jaehyun dan Taeyong mengenal satu sama lain lewat salah satu teman mereka, Johnny, yang kini sudah berkeluarga dan tinggal di Chicago, tempat kelahirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
halcyon | jaeyong (oneshot)
FanficI didn't know then what I know now about love. ⚠️ infidelity, violence