[Prolog]

70 10 0
                                    

"Kau berpikir bahwa kau akan mati tanpanya. Kau takut jika kau akan terbaring sendiri selamanya. Tapi nyatanya itu semua hanyalah kebohongan yang kau beritahu pada dirimu saja. Tidak benar."

- Camila Cabello, Crying in the Club

Selamat Membaca 🎭

☕☕☕


"TOLONG satu lagi kopi creamy late," pintaku.

Wajah orang yang kupintai kopi terlihat mengekspresikan keanehan atas sikapku. Namun, dia tidak lama memikirkannya dan memilih untuk membuatkan pesananku.

Aku yang tidak mempermasalahkan hal itu pun kembali menarik ingusku ke dalam hidung yang sudah meler lagi. Kepalaku pusing. Ditambah dentuman musik yang menggebu-gebu. Tapi aku tidak peduli. Walaupun berisik, tempat ini tidak menggangguku sama sekali. Para pria yang biasanya menggodaku sekarang menarik diri mereka karena melihat keadaanku yang begitu memprihatinkan.

'Dasar aku.' aku membatin dan tersenyum miris. Sesekali air yang tidak bersalah itu kembali keluar dari mataku. Aku meremas ujung kausku dengan kedua tangan sekuat tenaga, berharap tenagaku cepat habis. Jika tenagaku habis, aku tidak akan kuasa untuk melanjutkan tangis. Aku benci menangis.

"Silakan, nona. Kopi kesembilanmu," kata bartender tadi, mempersilakanku dan menaruh gelas berisikan kopi pesananku.

"Terimakasih," jawabku jutek.

Sudah tiga hari sepertinya aku tidak tidur. Aku selalu ke bar ini dan memesanan lusinan kopi setiap malamnya. Maka dari itu aku tidak bisa tidur.

Satu jam duduk di meja bar tanpa bergerak dan hanya melihat ke arah lantai menari dengan pikiran kosong serta penampilan yang sangat amat buruk—lihatlah rambut panjangku yang sekarang tidak beraturan, maskara yang luntur karena air mata, baju kusut, dan lipstikku pun sudah memudar dari sejak aku datang kemari.

Aku tidak selera rasanya memperbaiki diri.

"Loui, aku ingin mengambil barang-barangku." Sampai orang ini datang dan berdiri di sebelahku pun aku tidak menyadarinya. Aku tetap menaruh kepalaku di meja dengan posisi menyamping dan kedua tangan yang kulipat sebagai bantalannya, masih menatap nanar lantai dansa itu.

Si bartender yang dipanggil Loui mengangguk dan segera bergegas menuju loker penitipan.

Orang yang berdiri di sampingku menatapku juga kasihan namun dia seperti merasa familiar dengan wajahku. Dia memperhatikanku lebih dalam lagi sampai memori yang ia cari di dalam otaknya ketemu.

"Angel?"

Merasa namaku terpanggil, aku reflek mengangkat kepalaku lalu mencari asal suara itu dan ya, aku mengingat wajah itu. Wajah yang dulu ingin kuhindari lalu ia benar-benar menghilang dan kini kembali dengan wajah barunya yang lebih ... Tampan(?).

Segera sadar, aku menggelengkan kepala dan segera mengambil jaket serta tasku, lalu bergegas meninggalkan tempat itu. Dia tidak boleh melihatku seperti ini. Aku berusaha berlari tidak mengindahkan panggilan orang yang berada di belakangku.

"Bung, ini barang-barang ... Hey, mau kemana wanita itu?" Si bartender memperhatikanku dan hampir saja mengejarku. "HEY! KAU BELUM MEMBAYAR KOPIMU! HEY, HEY!"

Dia dihadang.

"Biar aku yang membayarnya."

[TBC ASAP]

Halo, Wattpad! Apa kabar? Sudah dua tahun, ya, aku vakum dari dunia ini. Banyak yang berubah ternyata😂

Oh iya, aku bawain cerita baru, nih. Beda kok sama ceritanya Adnan-Aalia. Oh iya, siapa yang belum baca "Imam Pilihan Ayah"? Beli bukunya sekalian, ya. Sudah terbit dan tersedia di Shopee, loh ! 😆

Sebelumnya aku mau kasih credit deh. Cerita ini aku ambil dari kisahku selama satu tahun belakangan terakhir vakum wkwk. Makasih buat seseorang yang pernah mengisi hidupku, ya, buat menginspirasi cerita ini. Semoga aja ceritanya bernasib lebih baik dari hubungan kita eak. Langgeng gitu sampai akhir 😂😂

So, yea, this is it. "I'm In Love". Jangan lupa klik bintangnya. Semoga kalian suka ^^
25 bintang aku lanjut ne 😤

Depok, 24 Januari 2021
Queen Garritsen.

I'm In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang