CHAPTER 4

201 17 0
                                    

Joana duduk di sofa ruang televisi rumahnya. Tangannya memencet-mencet tombol remote, memindah-mindah saluran televisi. Matanya fokus hampir tak berketip, namun perasaanya tidak sefokus matanya. Entah kenapa saat ini ia benar-benar sedih, ia rasa ia memang ingin putus dengan Stiven karena Stiven selalu menyakitinya dan faktanya di hati Stiven tidak ada dirinya sama sekali namun saat mengingat keputusan Stiven yang sudah disetujui oleh kedua orangtuanya, ia benar-benar merasa tertekan. Ingin menangis, namun tidak bisa.

Untuk apa berjuang jika pada akhirnya tidak saling memiliki? Ayolah Joana, jangan terlalu bodoh untuk seseorang yang selama ini kamu nanti. Dia jelas memiliki seseorang yang lain didalam hatinya, dia tidak menginginkanmu.

"Pa," panggil Joana ketika Papanya lewat tepat didepannya. "Maafin Joana, Joana nggak bisa ngabulin permintaan Papa kali ini."

Jordi tak merespon, ia melanjutkan langkah kakinya.

"KENAPA PAPA BENCI BANGET SAMA JOANA?" tanyanya lagi agak kencang.

"Terserah kamu bilang apa, Papa seperti itu untuk kebahagian kamu," jawab Jordi dengan tenang.

"Yang tahu kebahagian Joana itu ya Joana, bukan papa."

"Terserah kamu mulai sekarang mau gimana. Lagi pula itu keputusan kalian."

BLEK.

Jordi menutup pintu kamarnya.

Gerimis malam, melewati pukul sembilan malam. Ia benar-benar frustasi, seakan-akan sudah tak ada yang mendukungnya. Ia berdiri dari tempat duduknya, melangkahkan kakinya untuk pergi keluar rumah dengan masih berpakaian seperti yang ia gunakan saat dinner dengan keluarga Stiven tadi. Saat membuka pagar, langkahnya terhenti.

Tepat didepan pagar rumah Stiven sebuah mobil hitam terparkir, didalamnya ada seorang yang sangat ia cemburui. Tak lain adalah Chika.

Tak lama kemudian Stiven keluar dari rumah, berpapasan dengannya. Saling menatap. Ketika itu juga Chika keluar dari mobil. Seakan-akan ia tak melihat keberadaan Joana, Chika menghampiri Stiven, melingkarkan tangannya pada tangan Stiven dan berjalan bersama.

Ya, secepat itu Stiven melupakan kejadian baru beberapa jam yang lalu.

"Jangan pulang malam-malam," kata Stiven sebelum ia memasuki mobil Chika. Stiven membuka pintu mobil di bagian kendali.

"Apa peduli lo?" tanya Joana kemudian. Stiven melihat kearahnya, begitu juga dengan Chika. "Mau gue pulang malam mau gue nggak pulang itu urusan gue, bukan elo."

"Jo! Gue cuman ngasih tau karena bagi gue lo tetap keluarga gue!" balas Stiven.

Joana tersenyum masam. "Gue udah bilang kan? Bantu gue! Jangan peduli sama gue biar gue bisa lupain elo!"

Joana meninggalkan Stiven. Ia melangkahkan kakinya dengan cepat, tanpa menggunakan jaket maupun payung padahal gerimis masih membasahi bumi. Stiven terlihat kesal melihat prilaku Joana padanya. Ia masuk kedalam mobil Chika, mengendarai mobil melewati Joana yang berjalan seorang diri. Sesekali ia melihat kebelakang melalui spion mobil.

"Kamu khawatir?" tanya Chika kemudian.

Stiven terdiam, tak menjawab.

"Kamu peduli banget ya ama dia.. padahal kamu bilang kamu nggak suka dia," tambah Chika.

"Wajarlah Chika.. aku sama dia udah kenal sejak kecil. Bahkan sejak aku TK dan dia bayi aku udah tau," jawab Stiven sambil fokus menyetir. "Jadi tolong jangan diributin."

"Enggak, aku bisa ngerti. Bagi kamu, dia udah kaya adik kamu sendiri kan?" tanya Chika lagi.

"......"

Sorry if Im Late to Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang