Hai, Namaku Safiya

24 0 0
                                    

"Sudah jam berapa ini? Mau bangun nggak?"

Aku menggeliat nikmat sembari mengeratkan pelukan pada guling. Ya maklum, belum ada laki. Ini adalah teriakkan ke lima Emak yang membangunkanku sejak subuh tadi. 

"Pantesan kamu masih jomlo, bangun pagi aja males apalagi bangun rumah tangga!"

Laahh .... Si mamak mulai, deh!

"Iya ... ini bangun."

Aku ngulet sebenta mengumpulkan nyawa yang masih tertinggal di alam mimpi. Aroma harum masakan sudah merasuk ke dalam hidung. Menggiurkan. 

Mamak tengah memasukkan masakan terakhir ke dalam wadah bernutup. Lantas menumpuknya bersama wadah yang lain. Wanita paruh baya yang hari ini mengenakan jilbab cokelat muda itu sudah rapi dengan celemek di dadanya. 

Mataku meneliti sajian di meja. Lantas tanpa dosa kucomot begitu saja tempe goreng yang masih hangat dan terlihat nikmat. 

"Safiya Pagita Ayuni? Nggak bisa cuci muka dulu?"

Kunyahanku seketika berhenti dan merengut ditatap mamak yang sudah mendelik galak. 

"Kelakuan gadis kok begitu, sih? Haduh!"

"Kenapa, si, mak?" 

Lelaki bertubuh tinggi besar masuk ke dapur. Dengan cepat dia mengangkut tumpukkan masakkan yang disiapkan mamak. Lantas menuju mobil pick up yang sudah siap di halaman rumah. 

"Kamu tu semenjak pulang dari kuliah malah makin males gitu!"

"Ya nggak apa-apa sih, Mak. Kan mumpung belum nikah!" timpal Bapak yang mengedipkan sebelah matanya ke arahku. 

"Siapa mau nikahin gadis pemalas kayak gitu?"

"Loh, yang penting kan cantik. Ya, Nak, ya?"

"Betul, Pak!"

Aku mengacungkan jempol ke arah bapak yang terkekeh. 

"Halah, mboh, anak sama bapak podo wae!"

Aku dan bapak hanya  cekikikan. Kucium pungung tangan mamak dan juga bapak. 

"Jangan lupa sarapan! Jangan lupa ke rumah Tania nanya berkas buat besok!"

Aku mengangguk takdzim. 

Kulepas kepergian kedua orang tuaku yang akan mengais rejeki di Rumah Makan kecil-kecilan tak jauh dari rumahku. Usaha yang sudah dirintis oleh mamak dan bapakku sejak mereka masih berpacaran. Sungguh kisah dan perjuangan yang selalu membuatku baper dan iri. 

Tanpa mencuci muka atau menggosok gigi, aku melanjutkan serbuan di meja makan. Nasi goreng tiwul, tenpe goreng, telur dadar, dan timun segera kulahap habis. Makanan sederhana yang baru tiga bulan ini kunikmati. 

Ya, sebelum ini aku memang merantau jauh untuk melanjutkan studi Pendidikan Bahasa Inggris di kota lain. Meninggalkan dua orang yang selalu kurindukan. 

Eh, iya, kenalkan namaku Safiya Pagita Ayuni. Anak tunggal pasangan Wisnu dan Rahma. Kalau kata orang jadi anak tunggal itu enak, tidak denganku. Apa enaknya menjadi anak yang harus menanggung semua keinginan dan keluh kesah kedua orang tua?

"Halo, tetangga?"

Aku menoleh. Ada Tania sudah berdiri di depan pintu dapurku. Sejak kapan dia di sana?

"Hei, sini!"

Gadis seusiaku itu langsung duduk bersila di kursi kayu, sebelahku. Tanpa canggung dia langsung mengambil sepiring nasi goreng dan mulai menyantapnya. 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 18, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Kecantol MantanWhere stories live. Discover now