Paket Misterius

32 3 0
                                    

"Paket lagi?" tanya Bayu yang melihat kotak berwarna coklat di sudut meja kerja Rana.
Rana mengangkat wajahnya, dan ikut melihat ke arah tatapan mata Bayu, meskipun gadis itu tak melihat Bayu terlebih dahulu.
Desahan keluar dari kedua lubang hidung Rana yang diikuti oleh gerakan bahunya yang naik lalu turun.
"Iya," jawab Rana menegaskan dengan suara.
"Masih belum tahu siapa pengirimnya?" tanya Bayu penuh selidik yang juga penasaran.
"Kurir." Rana menjawab singkat. Mengikuti ucapan OB yang memgantarkan untuknya setiap pagi.
"Isinya apa lagi?" Bayu terlihat lebih antusias. Sementara Rana belum membukanya. Antara belum sempat atau memang tidak ingin.
"Tau," jawab Rana tak acuh.
Bayu mendengus dan menarik kursi hidroliknya menjauh dari meja Rana dan kembali ke mejanya.
Sementara itu, Rana kembali menatap kotak karton berwarna coklat bersegel kertas yang masih utuh itu dengan tatapan frustrasi, alih-alih senang memiliki penggemar rahasia.
Sudah sejak beberapa hari yang lalu, Rana selalu menerima paket tanpa nama pengirim dengan alamat lengkap dirinya, yang dimulai dari nama lengkapnya, lantai, bagian apa, hingga memudahkan OB untuk mengantarkannya.
Dari paket-paket yang datang memang tidak ada yang mencurigakan. Dari kotak-kotak yang sudah dibuka Rana hanya menemukan barang berupa cemilan kesukaannya dengan tanggal Expired yang masih lama, sapu tangan dengan motif dan warna kesukaannya, selimut dengan bahan kesukaannya, dan beberapa barang yang memang ia butuhkan, dan sejujurnya hal itu membuat Rana takut.
Karena seolah si pengirim mengenal betul tentang dirinya.
Sementara dirinya, bekerja di tempat itu hanya beberapa orang yang tahu, dan kebanyakan adalah keluarganya dan teman dekat. Selebihnya, jika dirinya belanja Online, barang akan datang ke tempat tinggalknya bukan kantor.
Rana mencoba mengabaikan barang itu, yang hampir terlupa. Andai Bayu tidak mengingatkannya.
"Kali ini isinya apa ya?" tanya Rana penasaran namun memilih untuk mengabaikannya dan melanjutkan apa yang sedang ia kerjakan.
***
"Mau makan di mana?" tanya Bayu yang menarik Rana pada kenyataan jika saat ini sudah menunjukkan jam makan siang.
"Hah?" Rana mengangkat kepalanya dan menoleh pada Bayu yang terlihat lebih bersemangat.
Bayu menggeleng pelan dengan keterkejutan Rana.
"Kamu kerja, apa ngelamun?" tanya Bayu gemas.
"Terlalu berdedikasi terhadap kerjaan!" timpa Nana yang berjalan mendekati mereka.
Rana menoleh pada Nana dan tersenyum canggung.
"Makan di mana aja, yang penting perut kenyang." Nana mengusap bahu Rana, memberi kode pada gadis berambut sebahu itu untuk berhenti.
"Di traktir dong?" celetuk Bayu yang diikuti cengiran.
Nana mendengus. "Tanggal tua, Bay."
Rana tersenyum dan buru-buru merapikan pekerjaannya sebelum menyusul Nana yang sudah dulu pergi.
ketiganya dan beberapa orang yang menganti di depan lift hanya saling diam. Sibuk dengan gadget masing-masing.
"Mbak Rana," sebuah panggilan yang sangat jelas terdengar dari suara yang sangat familiar membuat Rana dan beberapa orang di sana menoleh, dan mendapati Panca, si OB langganan pembawa paket Rana datang dengan membawa kantong plastik berwarna putih susu ukuran kecil.
Nana dan Bayu saling berpandangan tanpa suara, bicara dalam diam dengan matanya.
"Ada apa?" tanya Rana khawatir apalagi melihat tentengan di tangan lelaki yang usianya beda beberapa tahun dari dirinya.
"Ada paket lagi, paket makan siang buat Mbak Rana," ucap Panca sambil mengangkat sedikit tangannya agar Rana tahu.
Refleks Rana menoleh pada kedua rekannya dengan tatapan bingung.
"Udah kamu makan aja di Pantry. Aku sama Bayu biar makan di luar." Nana memberi saran atas kebingungan yang terpampang di wajah Rana.
Rana hanya bisa meringis dan setuju.
***
Mengikuti saran Nana, Rana pergi ke Pantry dengan ditemani Panca.
Rana yang meminta lelaki itu untuk ikut dengannya.
Entah pikiran dari mana, tiba-tiba Rana merasa khawatir jika makanan yang dikirim siang ini ada apa-apanya, dan itu baru pertama kalinya dirinya dikirimi paket berupa makanan langsung makan.
"Panca, kita makan bareng ya?!" seru Rana yang sudah memisahkan antara lauk dan nasi menjadi dua bagian.
"Hah, kok gitu Mbak? Janjinya kan saya cuma nemenin." Panca tampak terkejut.
"Kebanyakan kalau saya makan sendirian," seru Rana beralasan, walau yang sebenarnya terjadi adalah, dirinya takut diracun atau di guna-guna (pemikiran yang diluar nalar tapi perlu dipikirkan).
"Sini!" pinta Rana pada Panca sambil menarik satu kursi kosong yang ada di sana.
Panca yang sejak tadi sibuk menyiapkan minum, perlahan mendekat dan melihat menu makan siang di depannya.
"Sini duduk, saya enggak ngegigit kok."
Mendengar celetukan Rana. Panca hanya bisa meringis keki.
"Yuk makan. Berdoa sesuai kepercayaan masing-masing." Rana memulai.
Panca hanya memgangguk.
Dan saat Rana memejamkan mata untuk berdoa, tanpa gadis itu ketahui, Panca memperhatikannya. Menggeleng samar dan tersenyum lalu mengikuti apa yang Rana lakukan. Berdoa.
Rana mulai menikmati Gado-gado kesukannya dengan nasi yang dibagi dua.
Di suapan pertama Rana mencoba menikmati dan menilai apakah dirinya atau Panca yang tadi ia lirik dari sudut matanya mengalami hal-hal aneh?
Tapi kenyataannya tidak. Tidak ada yang aneh, Makan siang-nya saat ini bahkan terasa lebih enak dari Gado-gado yang biasa ia makan. Beli di mana ini?
"Enak, Ca?" tanya Rana sesaat setelah melihat milik Panca telah tandas.
Panca yang baru meneguk minumnya hanya mengangguk.
"Enak Mbak. Enggak tahu karena enak atau lapar."
Mendengar kata-kata Panca membuat Rana tertawa, dan tersedak. Wajahnya yang putih seketika memerah dan dengan sigap Panca mengambil gelas yang masih penuh milik Rana.
"Hati-hati, Mbak," pinta Panca yang terlihat khawatir.
Rana yang menghabiskan satu gelas air putih itu hanya mengangguk.
"Saya setuju sama kamu," ucap Rana ambigu. Entah untuk kata-kata Panca yang mana.
"Setuju yang mana?" tanya Panca memastikan.
"Gado-gadonya enak. Enggak kayak biasanya."
"Oh," Panca menarik napas lega.
"Mbak Rana suka gado-gado ini?" Panca tampak mengamati. Menunggu jawaban Rana.
"Iya, enak. Beli di mana ya? Tadi enggak ada mereknya ya?"
"Enggak." Panca menggeleng.
"Ca, kamu tahu siapa yang kirim gado-gado tadi?"
Panca yang sedang membereskan bekas makanannya langsung menghentikan gerakannya dan menatap Rana yang juga menatapnya.
"Enggak, Mbak. Sama kayak pagi-pagi. Cuma kurir yang anter."
"Tapi, bisa pas gitu ya?" Rana menatap Panca bingung.
"Maksudnya?" Panca mengerutkan kening.
"Selalu kamu yang terima." Rana masih menatap Panca dengan tatapan tajam.
Mendapatkan tatapan itu Panca mengerjap. Gerakan kelopak matanya terlalu cepat. Dan anehnya Panca pun tak bisa melepaskan diri dari tatapan Rana yang mengunci.
"Kalau itu...."

Bersambung....

Aku sedang MencintaimuWhere stories live. Discover now