Putus

0 0 0
                                    

"Na."

Gue berusaha nggak ngegubris panggilan Rey, gue masih lari supaya segera menjauh dari dia.

Air mata gue dari tadi jatuh mulu, "Hiks," bahkan baju gue udah lepek banget, "Kenapa jadi cengeng gini sih?!" Gue mengerutuki diri sendiri.

"Na, dengerin aku." Dia berhasil nangkap tangan gue, langsung dia tarik buat meluk gue, tentu aja gue nggak terima dengan mukul dada dia kencang. Gue nggak peduli dia kesakitan apa nggak.

"Na, tenang dulu." Dia pegang kepala gue, di sandarin di dada dia. Gue cuma bisa nangis kenceng sekarang, "Na maaf, tapi serius aku nggak suka sama dia. Aku cuma mau punya kamu di hidup aku."

Tangis gue makin menjadi jadi, tangan gue bergelantungan bebas di kedua sisi. Sedang tangan Rey ngelus rambut gue sambil nyiumin pucuk kepala gue berkali kali.

Selang beberapa menit tangis gue mulai mereda, rasanya capek banget dan wajah gue kerasa lengket karena bekas air mata.

Dia nangkup kedua pipi gue, "Pulang sama aku ya, papa nggak benci sama kamu. Malah papa suka sama kamu."

Gue gelengin kepala, "Nggak Rey, aku mau naik ojol aja."

"Udah malem, apalagi kamu masih pakai seragam."

Bener juga, yaudah daripada makin ribet gue iyain aja tawaran dia. Setidaknya gue masih bisa acting seolah olah gue nggak ada diantara mereka.

Ternyata mereka udah ada di dalem mobil, cuma mama Rey yang nunggu di luar.

"Ayo." Mama Rey gandeng tangan gue lagi, persis kayak pas mau masuk resto tadi.

Akhirnya gue pulang diantar oleh mereka. Abis sampe rumah mereka langsung pulang kata mama Rey kapan kapan aja mampir, gue iyain sambil bilang makasih.

Gue buka knop pintu dengan malas, "Ma kakak pulang."

"Mandi dulu kak."

"Iya ma."

— —

"Jadi lo mau gue jelasin semuanya?"

"Iya."

"Berapa?"

"Apa?" Dia ngasih kode ke saku gue, "Berapapun yang lo mau."

"Oke, yok mau tanya yang mana?"

"Tapi jangan bilang ke Rey tentang ini."

"Gue juga nggak sebodoh itu kali."

Gue lirik kanan kiri, aman. Kondisi lorong lantai atas sepi karena bel pulang udah bunyi dari tadi, "Rey masih main sama lo?"

"Masih."

"Sejak?"

"Sejak awal lah. Gue kasih tau nih karena lo ceweknya, dia sering banget ngajak nongkrong, ngerokok, nongki bahkan dia pernah bilang mau minum."

Gue melotot, jelas aja nggak percaya. "Jangan buat informasi palsu ke gue."

Dia cuma gedikin bahu, "Terserah percaya nggak percaya gue cuma mau bilang aja, Lo sebagai ceweknya emang berhak tau."

Gila, gue jadi makin pusing mikirin yang nggak nggak tentang Rey. Gue tatap orang di depan gue, si Boby—temen rusuhnya Rey.

HOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang