Siang hari, rintik-rintik hujan yang melanda kecamatan Pedes, membasahi pakaian Rafif. Dia berulang kali mendesah, menahan dingin. Terlebih, tangannya terasa keram, menyetir motor kurang lebih selama empat jam. Jika bukan demi Rana, gadis berjilbab panjang yang duduk di belakangnya, dia enggan bolak-balik Jakarta-Karawang.
Rana kerja sambil kuliah di Jakarta, sesekali menyempatkan pulang ke Karawang. Sementara Rafif, bekerja di perusahan industri yang ada di Karawang, sehingga mereka menjalani long distance love selama empat tahun ini.
Rana memeluk ranselnya kian erat merasakan semilir angin, perlahan meresap—mendinginkan tubuhnya. Dia selalu menyimpan ransel di tengah untuk menjaga jarak aman. Meski mereka sudah lama menjalin hubungan, Rana tidak berani berboncengan layaknya orang pacaran zaman sekarang.
"Akak Bawel," panggil Rana, setelah membuka kaca helm. Itu panggilan kesayangannya untuk Rafif.
"Hmm, iya ... kenapa, Adek Cerewet Manja?" Rafif membalas dengan panggilan sayang. Helmnya sudah terbuka jadi cepat respons.
Rana terdiam, sedikit ragu ingin mengutarakan sesuatu.
Rafif menepuk lutut kiri Rana, pelan. "Hey, malah diem."
Rana menggigit bibir, meremas jari tangan sambil bergumam. "Akak nggak ada niat mencari wanita lain? Nungguin aku lulus kuliah masih lama loh, dua tahun lagi. Umur Akak, kan, sebentar lagi genap dua puluh enam tahun."
Rafif tersenyum tipis. "Akak nggak butuh wanita lain. Kamu aja udah lebih dari cukup. Emang kenapa dengan umur dua puluh enam tahun?"
Rana tersenyum lega mendengar jawaban Rafif. Namun, dia memperpanjang pembahasan. "Umur segitu udah cukup buat menikah. Kali aja Akak punya wanita idaman lain tapi nggak berani bilang ke aku."
"Nggak ada," tepis Rafif, tegas. Dia menghela napas sejenak lalu melanjutkan berbicara, "Sebenarnya, Akak ingin menikahi kamu tahun ini. Biar kita nggak terus-menerus menjalani long distance love. Akak tuh khawatir, kamu hidup di Jakarta jauh dari keluarga. Mending kalau jarak kita berdekatan, misalnya kamu kenapa-napa, Akak bisa langsung ke sana."
Bibir Rana menciut, kesal. "Bilang aja Akak nggak sanggup nungguin aku lulus kuliah. Mundur juga nggak masalah kok."
"Jangan bilang begitu!" Nada bicara Rafif agak tinggi, paling tidak suka Rana mengatakan hal itu. "Insyaallah, Akak sanggup. Mana mungkin Akak berjuang sejauh ini, rela antar jemput Adek kalau ujungnya mundur di tengah jalan. Kamulah impian yang selalu Akak panjatkan dalam doa." Rafif menelan ludah. Dia sudah biasa menghadapi sifat keras kepala Rana yang bersikeras siap menikah setelah wisuda. Ya, memang, kuliah sambil bekerja tidaklah gampang, apalagi harus mengurus rumah tangga walau Rafif tidak pernah menuntut apa-apa.
Alih-alih memperpanjang pembicaraan yang menimbulkan perdebatan, Rafif mempercepat laju kendaraan, sebelum hujan bertambah deras harus secepatnya sampai, karena lupa membawa jas hujan. Mood Rafif yang sempat memburuk, akhirnya normal kembali setelah melihat pemandangan di kanan kiri jalan raya. Area persawahan membentang luas, hijau, sejuk, terlebih dalam kondisi cuaca seperti sekarang. Jika malam hari sangat gelap dan sepi, sehingga rawan pembegalan. Rumah Rana sangat jauh dari perkotaan. Sungguh, perjuangan Rafif begitu luar biasa. Apakah Rana tidak berpikir demikian?
"Kata temen aku, dalam sebuah hubungan, cowok nggak mungkin kuat menjalani hubungan tanpa kontak fisik," ucap Rana, memecah keheningan di antara mereka.
Rafif mengernyitkan dahi. "Maksud, Adek?"
"Pegangan tangan, pelukan, atau ciuman misalnya." Rana menegaskan begitu lirih. Andai Rafif hilang konsentrasi, mungkin suara Rana kalah keras oleh embusan angin yang lumayan kencang.
Rafif spontan tertawa. Rana benar-benar polos, usianya memang terpaut tiga tahun di bawahnya. Wanita seperti Rana sangat langka, ibarat satu banding seribu di muka bumi ini. Sebab itulah dia berusaha menjaga dan melindungi Rana semampunya.
Rafif menoleh ke belakang kemudian mengerlingkan sebelah mata, hanya sebentar. "Memang Adek mau diapa-apain sama, Akak? Akak sih mau banget, dari dulu malahan, cuma takut kamu ngambek terus mengakhiri komitmen kita deh."
Rana cemberut, refleks memukul punggung Rafif hingga mengaduh. Tanpa disadari pipinya merah merona. "Ishh ... halalin dulu, baru boleh diapa-apain."
Sebelum memutuskan saling berkomitmen, Rana mengajukan sebuah syarat, melarang kontak fisik. Jika Rafif melanggar, komitmen tersebut berakhir. Pria itu menyetujui, meski sebagai pria normal ingin sekali sekadar menggenggam tangan gadis yang sangat dicintainya.
"Ya udah, ayo Akak halalin Adek sekarang juga biar bisa ngapa-ngapain."
"Bodo, terserah." Rana mendengkus kesal. Melihat ekspresi ketus Rana dari kaca spion, Rafif mengukir senyum. Menggemaskan. Dalam situasi apapun, Rana tetap terlihat manis.
Rafif berdeham. Mimik wajahnya mendadak serius. "Dengerin nih, Akak tuh cinta dan sayang sama Adek bukan pake nafsu, tapi tulus dari hati. Akak udah janji pada diri sendiri, akan terus menjaga dan melindungi kamu, sedikit pun nggak pernah ada niat merusak harga diri kamu. Kamu tahu, kan, walau banyak kesempatan tapi Akak nggak pernah macam-macam sama kamu."
"Tapi orang pacaran di luar sana—"
"Kita komitmen, bukan pacaran. Kita punya cara sendiri, menjalani sebuah hubungan tanpa harus terjerumus dalam keburukan," sela Rafif, seolah sudah menebak kalimat yang hendak Rana katakan.
Hati Rana menghangat. Dia merasa jadi wanita paling beruntung dicintai pria sebaik Rafif, makanya tidak terbesit ketakutan saat berdekatan dengannya. Rafif pria sederhana, tidak tampan, namun memiliki body ideal yang membuat dia terlihat keren mengenakan pakaian apapun. Bukan tampilan fisik yang mampu meluluhkan hati Rana, melainkan perhatiannya.
"Adek Cerewet Manja ..."
"Hmm ...."
Sembari menatap jalan raya yang semakin ramai oleh kendaraan, Rafif mengutarakan sesuatu, "Akak sayang sama Adek, nggak mau kehilangan Adek, ingin menikahi Adek suatu saat nanti. Jangan pernah tinggalin Akak ya, Dek?"
"Pokoknya aku bakal kabur, kalau Akak terus-menerus ngajakin nikah sebelum aku lulus kuliah!"
***
Assalamualaikum Wr.Wr
Setelah sekian lama tidak menulis di Wattpad. Alhamdulillah, Allah mengizinkan aku kembali menyuguhkan cerita baru untuk kalian, Guys. Semoga suka, ya. Maaf makin kaku, udah lama nggak nulis. Hehe...
Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar biar aku semangat update. Love you all ;)
Wassalamualaikum Wr.Wb
KAMU SEDANG MEMBACA
Menggenggam Rasa Hingga Batas Penantian
RomanceRafif berulang kali meyakinkan Rana agar bersedia menikah dalam waktu dekat. Lelaki itu sudah memiliki pekerjaan tetap dan tabungan sebagai jaminan untuk membangun rumah tangga. Dia juga bisa menerima kesibukan Rana yang masih berstatus mahasiswa. K...