"Akak nggak kesambet setan bengong, kan, pas di perjalanan pulang tadi?" Rana mengipaskan telapak tangan tepat di depan mata Rafif yang menatapnya tak berkedip. Entah, Rafif mendadak aneh sejak Rana berganti pakaian akibat kehujanan.
Prangg! Rana meletakkan piring berisi apel merah di atas meja kaca dengan keras, kesal, tidak ada respons dari Rafif.
Rafif menjengit, mengerjapkan mata. "Kamu jangan ambek-ambekan begitu dong, Adek Cerewet Manja." Dia langsung mengecek piring dan meja berbahan kaca tersebut lalu berkata setengah bergurau, "Untung nggak ada yang pecah coba. Dimarahin Mama baru tahu rasa."
"Iya, huh, Teteh, dimarahin Mama baru tahu rasa tuh," sahut Daffa, anak laki-laki berusia delapan tahun yang duduk di samping Rafif. Mata dan tangannya masih terfokus pada gawai yang tengah dimainkan.
"Adek diam aja, anak kecil nggak boleh ikut campur." Rana berdecak sebal. Adiknya malah ikut menyudutkan. Dia yakin, Rafif yang mempengaruhi Daffa. Melihat bibir Daffa mencebik, mata Rana beralih pada Rafif yang tengah tersenyum puas . "Salah Akak sendiri, malah bengong sambil ngelihatin aku. Memang ada yang aneh apa sama penampilan aku?"
"Loh, kok, jadi Akak yang disalahkan?" Rafif memasang ekspresi tanpa dosa. "Itu kan salah kamu, Dek."
Rana mengernyitkan kening tak terima. "Sembarangan! Aku salah apa, heh?"
"Penampilan kamu bikin Akak lupa diri, jadinya gagal menjaga pandangan." Rafif kembali mengamati penampilan Rana dari ujung kepala hingga ujung kaki, lantas menggeleng-geleng seraya bergumam dalam hati, cantik, anggun, sederhana. Rana mengenakan gamis serta jilbab panjang berwarna merah maroon, sudah setahun ini berpakaian syar'i, membuat Rafif semakin mengaguminya. Apalagi wajahnya yang ayu hanya berpoleskan make up tipis, bedak dan lipstik berwarna natural.
Mata sayu Rana seketika melebar, geram. Lantas, dia duduk di kursi kosong sebelah Rafif, menatap Rafif dengan rahang terkatup. "Pilih berhenti menatapku seperti itu, atau mata Akak aku cokel nih?"
Rafif tertawa terbahak-bahak kemudian meringis ngeri. "Ih, sadis amat kamu teh, Adek Cerewet Manja. Mata Akak jangan dicokel atuh, nanti nggak bisa melihat kecantikan kamu lagi."
Rana membuang muka tak acuh. Cemberut. "Derita, Akak."
"Teteh, kalau lagi cemberut begitu makin cantik ya, Dek Daffa?"
Daffa hanya mengangguk, dia masih asyik memainkan game PUBG di gawai milik Rafif. Salah dia sendiri mengajarkan Daffa bermain game, jadi setiap Rafif datang ke rumah pasti menyita benda pintar itu.
Rafif mengelus pundak Daffa penuh sayang sambil membisikkan sesuatu, namun terdengar oleh Rana. "Teteh Nananya buat Akak aja, tukeran sama handphone. Mau nggak, Dek?"
"Iya, Adek mau bangetlah." Daffa berteriak girang. Dia paling suka memainkan ponsel Rafif yang berlayar lebar, sementara ponselnya masih versi lama, kecil. Kurang seru untuk main game.
"Jangan dengerin Akak, Dek. Sesat dia mah," seloroh Rana, tidak ingin Daffa terpengaruh oleh bujukan Rafif.
Daffa melongo setelah meletakkan ponsel di atas meja. "Sesat itu susah napas ya, Teh?"
Rana menahan tawa sambil menggaruk kepala yang tidak gatal, bingung sendiri cara menjelaskan hal tersebut kepada sang adik.
Rafif tertawa, lalu meluruskan, "Kalau itu namanya sesak, Dek. Sesat tuh artinya, kita ngikutin ajaran yang salah, bisa disebut ajaran nggak baik."
Daffa manggut-manggut seolah paham. "Oh, udah ah, Adek pusing ngomongin sesak, eh sesat. Mending main game lagi."
Daffa sibuk dengan dunianya sendiri. Sementara Rafif mengupas sekaligus memotong apel merah—buah kesukaan Rana yang selalu dibawa setiap mereka berjumpa. Rafif berusaha memanfaatkan momen singkat ini, memanjakan Rana sebulan sekali dengan perhatian sederhana.
"Apelnya asam banget. Perasaan, pas Akak nyobain sendiri di pasar, manis tahu," kata Rafif, setelah menelan potongan apel.
"Masa sih, biasanya apel merah nggak asam-asam banget, kok. Sini aku cobain." Rana hendak mengambil sepotong apel dari piring, Rafif malah menjauhkan piring tersebut. Rana berdecak. "Dasar, Akak pelit!"
"One day foy you, my dear. Biar Akak yang nyupin, kamu tinggal dudu manis." Rafif tersenyum, lantas mengambil sepotong apel kemudian menyodorkan ke bibir Rana.
Seulas senyum terukur di bibir Rana, lantas melahap apel itu. Walau jarang bertemu, perhatian Rafif tidak pernah berubah.
Rana tiba-tiba mengernyitkan dahi usai menelan potongan apel. "Nggak asam ah, menurut aku manisnya standar."
Rafif kembali memakan potongan apel sembari bergidik. "Beneran asam tahu." Dia tersenyum tipis mendapati wajah heran Rana. "Pasti gara-gara ada kamu nih Dek, apel ini mendadak asam, soalnya wajah kamu terlalu manis sampai mengalahkan rasa apel."
Rana mengepalkan tangan. Pipinya mengembang, antara senang bercampur kesal lagi-lagi Rafif menggombalinya. "Pipi sebelah kanan atau kiri yang mau ditonjok?"
"Boleh dua-duanya." Rafif mengedipkan mata menggoda. "Lumayan, kan, kapan lagi kamu nyentuh pipi Akak?"
"Mentang-mentang Mama sama Bapak lagi pergi kondangan, Akak berani gombalin aku terus. Awas aja, aku laporin sama mereka biar nggak dibolehin main lagi!" ancam Rana sambil berkacak pinggang.
"Ampun, Dek." Rafif menyeringai. "Eh, tapi lapotin aja nggak apa-apa, siapa tahu langsung acc jadi menantu."
Rana melemparkan asbak berbahan tanah liat ke arah Rafif, namun dia cepat menghindar.
Buukk! Asbak itu mendarat di kepala Daffa. Dia langsung menangis, kencang.
"Gawat! Aku bisa dimarahin Mama kalau Daffa mengadu," ucap Rana dalam hati, ketar-ketir.
***
Assalamualaikum Wr.Wb
Jumat berkah. Maaf, aku baru update lagi setelah beberapa hari menghilang. Maklum, lagi sibuk di dunia nyata. Wkwk
Jangan lupa baca surah Al-Kahf ya, Guys. Jangan lupa juga tinggalkan vote dan komentar ;)
Terima kasih sudah mampir. Love you all....
Wassalamualaikum Wr.Wb
KAMU SEDANG MEMBACA
Menggenggam Rasa Hingga Batas Penantian
RomanceRafif berulang kali meyakinkan Rana agar bersedia menikah dalam waktu dekat. Lelaki itu sudah memiliki pekerjaan tetap dan tabungan sebagai jaminan untuk membangun rumah tangga. Dia juga bisa menerima kesibukan Rana yang masih berstatus mahasiswa. K...