Dua

927 25 1
                                    

Luna menutup pintu kamarnya, kemudian berjalan menuju dapur sambil mengikat rambutnya menjadi satu. Ia mengambil beberapa bahan makanan dari dalam kulkas, lalu memulai untuk memasak sarapan paginya.

Sudah 5 hari ia memasak untuk dirinya sendiri, dikarenakan pembantu yang biasanya bekerja selama 12 jam di rumahnya sedang pulang kampung, dan mamanya sedang berada di luar negeri, menemani papanya. Mau tidak mau, ia harus mengurus dirinya sendiri.

Sebelum ia menyelesaikan memasaknya, bell rumahnya berbunyi. Luna menurunkan api kompornya, kemudian bergegas menuju pintu rumah utamanya, lalu membukanya.

"Selamat pagi, Sayang!" Joshua masuk ke dalam rumah, sambil mengecup kening Luna.

Luna menutup pintu rumahnya. "Aku sedang memasak di dapur. Ingin sarapan bersama?"

Joshua menarik mundur kursi meja makan, lalu duduk di sana. "Boleh, jika kau bersedia menyiapkannya untukku. Lagi pula, sudah lama kita tidak sarapan bersama."

Luna tersenyum. "Tentu saja bersedia."

"Kapan orangtuamu pulang dari luar negeri?" tanya Joshua.

Luna menaikkan bahunya. "Aku tidak tahu. Memangnya kenapa?"

"Aku hanya bertanya."

Luna menganggukkan kepalanya paham. Ia lalu menyediakan segelas kopi instan untuk Joshua.

"Terima kasih," kata Joshua.

"Sama-sama."

Joshua memperhatikan Luna yang sedang memasak dengan tatapan kagum. Bahkan ketika memasak sekalipun, kekasihnya itu mampu membuatnya terpesona.

"Aku tahu kalau aku cantik. Tapi jangan menatapku seperti ingin memakanku," kata Luna sambil menata piring dan gelas ke atas meja makan.

Joshua terkekeh. "Bagaimana kalau kita menikah saja, Lun? Aku tidak sabar ingin menikmati pemandangan seperti ini tiap harinya."

Luna melipat tangannya di depan dada. "Kau yakin tidak akan bosan melihatku tiap hari?"

"Sangat yakin," kata Joshua.

Luna terlihat berpikir. "Tapi aku masih ingin bekerja."

Joshua mendengus. "Kau tidak usah bekerja. Cukup berdiam diri di rumah, dan menunggu aku pulang kerja."

"Nanti aku pikirkan kembali."

Joshua hanya bisa menghela napas panjang. Jika biasanya perempuan yang meminta untuk segera dinikahi, yang Joshua rasakan malah sebaliknya. Bahkan Luna tidak pernah sekalipun membahas tentang hubungan mereka untuk dilanjutkan ke hubungan yang lebih serius, seperti menikah.

Malahan ialah pihak yang selalu membahas tentang hubungan mereka agar segera disahkan. Joshua hanya tidak ingin merusak kekasihnya itu, mengingat mereka selalu melakukan petting, tidak menutup kemungkinan jika sewaktu-waktu ia tidak bisa menahan dirinya sendiri.

Sentuhan tangan Luna di bahunya, membuat lamunannya buyar. Ia menoleh ke samping, menatap Luna yang tersenyum manis seperti biasanya.

"Aku juga ingin menikah denganmu. Tapi sekarang bukanlah waktu yang tepat," kata Luna dengan kalimat yang sama, setiap ia membahas tentang pernikahan.

"Kapan waktu yang tepat, yang kamu maksud itu?" tanya Joshua.

Luna mengecup bibir Joshua. "Nanti akan aku beritahu. Sekarang kita sarapan dulu, atau kita akan terlambat bekerja."

Joshua hanya menganggukkan kepalanya, lalu menyantap makanan yang telah disiapkan oleh Luna. Luna yang menyadari sikap diam kekasihnya itu, tidak tahu harus berbuat apa. Keinginannya untuk menikah pun sama besarnya dengan keinginan Joshua, tapi ada alasan kuat yang membuatnya harus menunda keinginannya itu.

"Masakanmu selalu enak, Lun," puji Joshua.

Luna tersenyum. "Terima kasih."

Setelah selesai sarapan, Luna segera mandi dan berganti pakaian dengan pakaian kantornya. Kemudian mereka berdua berangkat menuju perusahaan dengan mengendarai mobil pribadi milik Joshua.

Perusahaan tempatnya bekerja adalah perusahaan milik keluarga Joshua. Joshua menjabat sebagai CEO di sana, sedang dirinya menjabat sebagai sekretaris pria itu.

"Aku dengar, ada karyawan perempuan bagian keuangan di perusahaan yang dekat denganmu," kata Luna.

"Tidak usah mempercayai gosip murahan itu. Kau sendiri paling tahu kalau kita selalu menghabiskan waktu bersama, bagaimana bisa aku dekat dengan perempuan lain?" kata Joshua.

Luna tersenyum. "Tidak apa-apa jika kau ingin memiliki perempuan selain aku, tapi jangan sampai aku mengetahui hal itu."

Joshua meminggirkan mobilnya. "Aku tahu kalau kau belum ingin menikah denganku, Lun. Dan aku tidak masalah jika harus menunggumu siap. Aku tidak se-brengsek itu menduakanmu."

"Aku hanya mengatakannya saja, Josh. Jangan tersinggung," kata Luna.

"Aku juga hanya ingin mempertegas lagi perkataanku, kalau aku akan menunggumu siap untuk menikah denganku," kata Joshua.

"Terima kasih, Josh," kata Luna. "Maaf karena belum bisa memberikanmu jawaban yang pasti. Tapi percayalah, keinginanku juga sama besarnya dengan keinginanmu," lanjut Luna.

"Tidak apa-apa. Aku mengerti. Aku juga minta maaf karena selalu memaksamu untuk menikah denganku," kata Joshua.

Luna tersenyum. "Tidak masalah. Kita sama-sama memaafkan untuk hal ini."

Joshua menganggukkan kepalanya. Ia lalu mengendarai kembali mobilnya menuju perusahaan.

"Bagaimana kalau jam istirahat nanti, kita makan siang di rumahmu lagi? Aku hanya ingin menikmati kembali masakanmu," kata Joshua.

"Boleh," kata Luna. "Ohiya, aku baru ingat. Pria yang kemarin, siapa?" tanya Luna.

"Oh, namanya Haris. Dia sahabatku. Kau memang belum pernah bertemu dengannya, karena sejak kami lulus SMP, dia melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Dia baru pulang kemarin," jawab Joshua.

"Pantas saja wajahnya terlihat asing, ternyata aku belum pernah bertemu dengan dia," kata Luna.

Joshua memicingkan matanya. "Memangnya kenapa?"

"Tidak apa-apa. Aku hanya bertanya. Karena tidak ada yang berani mengetuk pintu ruanganmu, kalau aku tidak berada di mejaku," jawab Luna.

Joshua bernapas lega. "Aku kira kau menyukainya."

"Untuk saat ini aku belum menyukainya, tapi tidak tahu nanti," kata Luna. "Wajahnya juga lumayan tampan," lanjutnya.

"Luna Frestya."

Luna tertawa mendengar Joshua memanggil nama lengkapnya.

Mine #FL5 (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang