Mula.

20 6 2
                                    










Obsidian tajam itu tusuk relung rusuk hingga atmaku membusuk kelu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Obsidian tajam itu tusuk relung rusuk hingga atmaku membusuk kelu. Berpeluh lalu meluluh jadi lantakkan tanah tak berharga yang rela terinjak barang itu kakimu.

[]







"Teriakku kering kelontang. Berdengang jadi tangis lebah mati yang hanya berdengung memaki di dalam ainnya sendiri." Aku, inferior sekali kontras jika disanding dengan Si Tuan.

Aku begitu. Mati untuk tetap hidup sebab cecapku telah lama terkubur bersama asa dan rasa yang redup diamuk kejam laku.

Tuan membelek kuku-kukuku jadi beribu tulang tak bernyawa yang menanggal fungsi ruas jemariku sendiri, aku kaku sekali. "Barangkali, itu inti dari melolong bantu. Untuk melepas jeratan atmamu, bukan untuk disampar manusia dan direcoki entitasnya begitu."

Aku terkesiap. Tuan, bibir dalu yang mendarah kempuh itu merajut jagat dan benua alam baka. Bibir Tuan menyeringai tajam.

Tajam sekali hingga kurasakan pahit racun menculik udara tempatku regulasi lalu mencabik otoritas otak hingga ia terbeku dan lupa untuk hidup kembali. Kau hebat sekali.

Belum pernah aku sesak sampai seluruh saraf ikut rehat, barangkali rusak. Sesaat.

"Tuan... ada benarnya."

"Kendati itu, benarnya ada di kamu. Rapatkan jantungmu sebab dunia masih se-Malaka itu. Bukan disini, bukan. Terik bintangmu masih sedekap, barang sembunyi sebab ia malu-malu. Kejar sampai utara. Ya. Utara tempatmu. Disitu."

linu si ramuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang