"La, gue tau lo pasti bisa menangin lomba matematika besok. Jadi, lo perlu istirahat sekarang untuk lomba besok, oke?"
Lara mengalihkan pandangan dari buku nya ke Aland. Sang sahabat, yang sejak dua jam lalu duduk di sisi ranjang dengan camilan kripik di pangkuannya.
"Udah malam, La. Taruh tuh buku lo lagi." Aland berdecak menatap Lara. Gadis itu t
Lara tersenyum. "Iya, bentar lagi."
Aland berdecak kesal. Tidak habis pikir dengan Lara, yang sejak pulang sekolah tadi menghabiskan waktu untuk belajar. Tanpa jeda.
"Lo belum ngisi perut, Lara. Aduh, teman gue yang paling cantik ini. Udah pintar, baik hati, pasti bakalan lancar dah lomba besok. Tapi plis jangan bego kalau urusan kesehatan," ujar Aland lagi.
Lara tertawa pelan. Ia menaruh pulpen di atas meja. Memutarkan bangku nya sehingga berhadapan dengan Aland. Gadis itu menampilkan wajah gemas.
"Iya, Aland. Gue pasti makan." Lara berdiri, kemudian duduk di samping Aland. "Lagian, lo kan tau sendiri gue baru aja makan habis maghrib. Gue habisin dua porsi sate, lo gak lupa kan?"
Aland cengengesan. Memang Lara baru saja menghabisi dua porsi sate yang dibelinya di pinggir jalan. Tetapi, bagi seorang Aland Bagaswara. Waktu makan terbaik itu tiga jam sekali. Jadi tidak salah jika ia mengingatkan Lara untuk makan, lagi.
"Gue gak lupa. Ya, habisnya lo sih, lama banget belajar nya. Gue, kan, nungguin lo, La ...," ujar Aland.
Lara menyomot keripik singkong dari toples Aland. "Iya, iya, maaf."
"Udah malam juga. Lo gak mau pulang, Land?" tanya Lara.
Aland menghembuskan napas kasar. "Gue kesal ama lo, ih! Tadinya gue kesini tuh mau curhat. Eh, malah nemenin lo belajar."
"Iya, maaf lagi."
"Gue marah beneran, La."
"Iya, tau. Terus gue harus ngapain?" Lara menyomot lagi keripik singkong dari pangkuan Aland.
Laki-laki yang sejak dua tahun menjadi sahabat dekat Lara itu, mulai menampilkan senyuman lebar. Aland memang begitu, selalu banyak bicara.
"Besok lo harus traktir gue di kantin sepuasnya, deal?!"
Lara meninju pelan bahu laki-laki itu. "Iya, deal. Yaudah, sana lo pulang. Anak perawan gak boleh pulang malam-malam," guyonnya.
"Lo mainnya gitu mulu, La. Gak asik nih." Aland memanyunkan bibir nya.
Lara hanya terkekeh.
Saat Aland bangkit, pandangan nya tidak sengaja menangkap sebuah hoodie putih dengan bordiran burung elang di tengahnya. Cowok itu memandang Lara, gadis itu kembali ke mejanya dan bergelut kembali dengan bukunya.
"Lara?" panggil Aland.
Lara hanya bergumam sebagai jawaban.
"Itu punya siapa?"
Lara cepat-cepat mengikuti arah tunjuk tangan Aland. Sebuah hoodie putih yang tergeletak asal di dalam keranjang pakaian kotor.
Aland menatap nya lagi. "Gue kaya gak asing sama hoodie nya, La."
"Eh?"
Aland menggaruk rambutnya. "Iya, gue gak asing. Gue pernah lihat, tapi dimana ya?" Cowok itu mencoba mengingat.
Lara tertawa pelan. "Itu punya teman gue, teman SMP. Kan memang banyak yang punya hoodie kaya gitu, Aland."
"Oh, iya juga. Ya udah gue pulang ya."
Lara menampilkan senyum lebar saat Aland berlalu dari hadapannya. Ia menghampiri keranjang itu, lalu mengambil hoodie tersebut.
"Kenapa lo ceroboh banget, sih?" Lara merenggut sebal. Ia melempar tubuhnya ke atas ranjang.
"Udah pergi Aland nya. Keluar, Lang."
Lara menatap langit kamar seraya tersenyum tipis. Baginya, ini sangat lucu. Lara sangat menyukai situasi seperti ini. Saat-saat menegangkan, juga euforia menyenangkan disaat bersamaan.
Lara menutup tubuhnya dengan selimut tebal. Ia berguling, hingga tubuhnya berakhir dalam pelukan seseorang.
"Lara, lo mulai bandel ya?" Dibalik selimut nya, Lara menahan senyum.
"Sejak kapan Lara-nya gue ini pandai berbohong, hm?"
Juga suara serak nan memabukan itu, pelukan erat menghangatkan, yang mampu membuat seorang Lara Ashalina melupakan sejenak bagaimana arti luka sesungguhnya.
Arti luka yang tercipta akibat bahagia sesaat nya.
****
Rabu, 25-11-2020.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHIPPER [TAMAT]
Teen Fiction"Ada banyak alasan kenapa gue gak bisa miliki lo. Salah satunya, karena ikatan ini." -Langit Danendra.