Langit tidak benar-benar di bawa ke kantor polisi. Ternyata itu hanya gertakan. Ia di bawa kembali ke rumah orang tuanya, dan di kunci di dalam kamar.
Kali ini Langit tidak memberontak. Ia pantas mendapatkan ini, karena dirinya gagal menjaga Lara, juga membuat kedua orang tuanya kecewa.
Cowok itu merenung di balik jendela. Apron putih yang dipakainya untuk masak tadi masih melekat. Secepat itu semuanya berakhir?
Mengingat isakan sang mama ketika melihat putrinya tak sadarkan diri. Mengingat tatapan kecewa dari sang papa, membuat dada Langit berdenyut pedih.
Mungkin ini hukuman yang Langit dapat karena melawan orang tua. Melawan takdir. Melawan semua orang dengan mengibuli mereka.
Langit terisak kecil. Ia memukuli dadanya. Dia tidak sekuat itu. Mau bagaimanapun, dia adalah remaja tujuh belas tahun yang menginginkan kebebasan.
"La, maafin aku. Maafin aku ...." Harusnya sejak awal Langit menyadari jika tidak ada yang beres dengan kepala Lara.
Langit berdiam. Menatap keluar jendela. Setelah tiga tahun lamanya, ini kali pertama ia menginjakkan kakinya kembali di kamar lamanya.
Disana ada balkon juga, yang terhubung dengan kamar Lara. Dahulu tempat itu menjadi tempat pertemuan mereka secara diam-diam. Mereka sudah menjalani hubungan ini sejak kelas delapan.
Langit menghela napas pelan. Ia beranjak menuju ranjang. Merebahkan tubuhnya disana. Hari ini berlalu begitu cepat. Ketika kebahagiaan nya lagi-lagi direnggut secara paksa.
****
Adit duduk di samping Nara, menenangkan wanita paruh baya itu yang terus menangis terisak.
"Tan, tenang ya. Lara pasti gak akan kenapa-napa," ujar Adit.
Nara menggelengkan kepala. "Ibu mana yang akan tenang ketika melihat anaknya dalam kondisi kritis, Adit?" ujar Nara pelan.
Ya, Adit tau itu. Atas alasan itu pula, mengapa Adit memberi tau keberadaan Langit dan Lara kepada Nara. Adit tidak tega melihat mereka, termasuk Aland dan Alana yang memohon-mohon untuk memberi tau keberadaan Adik-kakak itu.
"Mending tante makan dulu, yuk? Kesehatan tante harus di jaga juga."
Nara menggeleng. Mana bisa dia enak-enakan makan, sedangkan Lara lagi berjuang di dalam sana.
Kriss datang dengan membawa sekantung kresek. Ia menghampiri sang istri. "Sayang, makan dulu, sini."
"Enggak, mas. Aku gak bisa," ujar Nara.
Kriss tersenyum tipis. Sifat Nara tidak pernah berubah sejak dulu. Ia tidak bisa melihat anak-anaknya sakit, sedangkan dirinya sendiri harus makan enak.
"Makan dulu, sayang. Atau kamu gak boleh jaga di sini," ancam Kriss.
Nara menatapnya layu. "Mas suapin aja kalau gitu."
Kriss dengan senang hati menyuapi sang istri. Ia mengerti penderitaan Nara yang sangat takut dengan keadaan Lara.
Adit memperhatikan mereka.
Langit dan Lara memiliki orang tua yang sangat sayang kepada mereka. Kesalahan Langit dan Lara hanyalah, salah mengartikan rasa 'nyaman' antara hubungan Adik-kakak.
****
Alana dan Aland memasuki halaman rumah Langit. Rumah besar yang begitu megah. Ini kali kedua mereka mendatangi rumah itu.
Karena mereka sudah mendapat ijin dari Kriss untuk akses masuk ke rumah itu. Sehingga mereka dengan mudahnya sampai di sana, di depan kamar Langit yang bertulisan 'boy'.
Aland mengetuk pintu itu pelan. Saat dia sadar jika pintu itu di kunci dari luar, Aland membukanya pelan.
Mereka berdua terkejut. Melihat keadaan Langit yang sangat tak terurus. Cowok itu terbaring di lantai, dengan sebelah tangan yang memegang figura foto dirinya dan Lara. Wajahnya sembab, dengan sisa-sisa air mata di pipinya.
Alana mendekati cowok itu. Menggoyang-goyangkan tubuhnya pelan. Ia menoleh pada Aland, "Land, dia ketiduran."
"Kita angkat aja ke ranjang." Aland mengangkat tubuh Langit, di bantu oleh Alana. Dengan susah payah mereka memapah tubuh Langit hingga sampai di atas tempat tidur.
Alana menghembuskan napas pelan. "Gue gak tau gimana perasaan mereka, Land. Tapi, yang gue lihat sekarang mereka sangat tersiksa, Land."
Ucapan Alana, Aland benarkan dalam hati. Kondisi Langit yang sangat kacau itu terlihat memprihatinkan.
Mereka juga manusia, se-kecewa apapun mereka kepada Lara dan Langit, tak dapat dipungkiri jika mereka mengasihani keduanya.
"Lara ... jangan tinggalin gue...," lirih Langit dengan mata terpejam. Air bening mengalir di pelupuk matanya.
Alana dan Aland sama-sama terdiam. Rasa sesak yang di rasakan Langit, ikutan terasa ke dada mereka.
Pasti sulit melewati hari tanpa orang tersayang. Hanya memikirkan nya saja, mereka tidak sanggup.
Mata Langit perlahan terbuka sempurna. Dia sedikit terkejut saat menyadari keberadaan Aland dan Alana. Langit kemudian duduk.
"Ngapain ke sini?" tanya Langit. Tak ada nada marah, atau kebencian di sana. Meskipun kedua orang itu alasan dirinya dan Lara berpisah, mungkin?
"Cuma mau mastiin keadaan lo," jawab Aland ringan.
Langit tertawa geli. "Gue gak papa. Gue sangat baik dari yang lo pikir."
Aland mengangkat sebelah alisnya. Setelah melihat Langit sekacau itu, dia pikir dia akan percaya dengan apa yang Langit katakan?
Tidak.
"Gimana keadaan Lara? Gue gak bisa lihat dia," tanya Langit.
Alana terdiam. Dia menarik napas kuat. "Lara lagi di operasi. Lo gak perlu khawatir sama Lara lagi, banyak yang ngurus dia."
Langit mengangguk lagi.
Tidak ada bantahan, tidak ada bentakan, tidak ada perlawanan. Langit menerimanya dengan senyuman tipis. Langit akan mencoba menerima kenyataan bahwa dirinya tidak akan bisa mendapatkan hal yang dia inginkan.
Untuk itu, sebagai anak yang harusnya patuh kepada orang tuanya. Langit akan diam. Langit akan mengikuti semua yang di perintahkan oleh orang tuanya. Termasuk menjauhi Lara? Langit akan melakukan itu.
Langit akan mencoba ikhlas. Langit harus menerima ... bahwa ini adalah akhir kisahnya dengan Lara.
****
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHIPPER [TAMAT]
Fiksi Remaja"Ada banyak alasan kenapa gue gak bisa miliki lo. Salah satunya, karena ikatan ini." -Langit Danendra.