Coba tebak, plankton itu berkembang biak pakai cara apa? Ovipar, vivipar, ovovivipar, atau malah membelah diri kayak amoeba?
Jangan kira aku tahu jawabannya, ya? Soalnya aku sendiri juga buntu. Lebih baik dikasih soal Kimia lima puluh nomor tentang titrasi asam-basa sama pH-nya berapa daripada ngurusin perkembangbiakan plankton yang sejujurnya nggak aku tahu sama sekali. Ya, meskipun aku harus nenghabiskan waktu lebih dari satu hari untuk mengerjakan itu.
"Mbak Kin, katanya udah jadi sarjana, masa soal anak SMP aja nggak tahu, sih, Mbak. Jawab dong Mbak, plankton berkembang biak pakai cara apa?" Anak cewek yang lagi duduk bersender di sofa sampingku itu sibuk mendumel sambil memainkan pensil 2B yang legendaris, sudah dipakai sebelum negara api menyerang, di atas kertas. Mencoret-coretinya dengan gambar abstrak.
"Hm?" Aku berdeham pelan sambil sibuk membenarkan jilbab dengan kepala mendongak. Sambil berpikir aku menatap ke platfon rumah Tsani yang putih bersih, bebas dari sarang laba-laba, beda sekali dengan rumahku yang subhanallah. Pantas Umi selalu mengomel kalau aku ada di rumah.
"Kayaknya di kartun Spongebob itu ada deh yang plankton-plankton gitu. Coba kamu tonton itu aja, cari tahu dari sana," kataku.
Iya, aku memang sebodoh itu. IQ-ku cuma sebatas tumit, memang rendah. Tapi nggak papa, kenapa malu? Tuhan yang kasih juga. Kalau manusia yang kasih, ya aku nggak bakal marah juga. Marah nggak bakal jadiin aku punya otak selevel Albert Einstein atau Pak B.J. Habibie yang luar biasa.
"Mbak, plankton di Spongebob itu nikahnya sama konputer, cara berkembang biaknya gimana coba?" Tsani sibuk mendumel lagi. Ck, anak ini memang, aku kan sudah berusaha membantu sebisaku. Daripada nggak aku jawab sama sekali kan, ya?
"Mbak, pinjem HP dong kalau gitu." Tsani sekarang mengubah posisinya. Dia jadi duduk tegak dan atensinya seratus persen ke arahku.
Aku yang baru selesai dengan urusan kerudung itu otomatis langsung menatap cewek muda itu dengan kerutan di dahi. "Buat apa?" tanyaku.
"Browsing di internet." Dia menjawab.
"Tapi entar kuota Mbak habis, Mbak nggak bisa streaming Mas Crushnya Mbak."
"Kan di rumah Mbak ada wifi."
"Tapi Mbak nggak bisa juga pakai wifinya, Tsani."
Jadi, di rumahku itu memang ada wifi, tapi Bapak nggak pernah kasih tahu sandinya apa, pas pertama kali aku tanya, Bapak malah jawab, "Sandinya tebak aja."
Kan, kalau aku bisa nebak mah sudah pasti aku nggak tanya-tanya ke Bapak. Dan, ketika aku tanya untuk ke sekian kalinya, Bapak malah ceramah panjang kali lebar, bagus sih kalau soal agama, tapi ini soal aku dengan kebodohan otakku.
"Percuma ya, Bapak jawab pun kamu nggak bakalan nyambung. Emang paling bener kamu nggak usah tahu ya. Bapak jadi mikir, nanti kamu pasti ngedekem doang di rumah. Nggak keluar-keluar. Harusnya kan kamu sosialisasi. Kasihan, tetangga jadi nggak tahu gimana rupa anak Bapak. Dikira anak Bapak itu kambing-kambing yang sering Bapak angon di lapangan samping rumah." Demikianlah kata Bapak.
Jawaban Bapak yang itu sukses bikin aku manyun tujuh hari tujuh malam. Padahal enggak begitu ceritanya, aku masih sering kelayapan kok, nggak cuma ndekem kayak omongan Bapak. Bapak saja yang terlalu berlebihan.
"Mbak ih, malah bengong!" Tsani berteriak sambil mendaratkan tangan mungilnya yang rupanya punya kekuatan super di pahaku sampai bikin aku teriak-teriak kesakitan. Sakitnya minta ampun, serius. Nggak bohong. Kalau bohong hidungku bakal panjang kayak Pinochio, tapi nggak papa sih seharusnya, seenggaknya aku punya hidung yang lebih mancung dari hidungku sekarang.
"UMI SAKIT! UMI, KINARA DIDZOLIMI UMI! UMI! TOLONG KINARA UMI!" Dan setelah itu aku menangis kencang. Pasti deh memar-memar gitu besok. Rasanya saja masih panas sampai sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Mas Suami [TAMAT]
Fiction générale[15+] Kinara tidak tahu kenapa dia bisa berakhir menikah dengan pria semacam Raden Mas Javas Tjokro Aminata yang selang umurnya dua belas tahun di atasnya. Itu jelas hal tergila yang tak pernah terlintas di benaknya, dan lebih parahnya lagi, si Mas...