[1/1] Senyum Baskara Yang Menghilang

12 8 2
                                    


Aku diam. Aku membisu. Aku ... merasa hidupku tiada kecualinya dengan lara. Aku merasa ... beban terlalu membelunggu pundak. Merasa tiada lagi gunanya bersuka cita. Tiada lagi angan walau sejumput duri landak. Begini-begini tiada berputarnya poros. Begini-begini tiada angin menerobos. Hanya hawa dingin menembus kekelaman benakku yang menderu serangkaian rencana. Memicu debaran dambaan mempercepat malaikat mencabut nyawaku dengan paksa.

Mengapa Tuhan tiada menyayangiku? Mengapa aku justru berteman erat dengan lara? Mengapa kegusaran bertubi-tubi menyiksa dengan menggerogoti semangatku bahkan sebelum kulihat secercah senyum baskara? Mengapa hari-hari yang diulangi penuh luka dan goresan dalam cengkeraman benci kentara memperinci? Mengapa sandiwara ini terlalu suram untukmu yang agung selagi pagi dan malam? Narasi itu sangat tidak layak. Dialog-dialog hanya berisikan seruan mematikan napas. Dan dalam kebisingan hati yang berdebat, di mana rasa ini tertambat, sudah selayaknya emosi ini memuncak hebat.

Kurasakan sisi pemberontakku menggelora. Api-apinya menyala dengan amat terang membahana. Menyulut dan mendominasi menyebabkan sisiku yang lain timbul tenggelam. Kumemejam, merasakan sulur-sulur akar memaksa kelopakku untuk terus menyeru dan mereka bersorak tidak tenang dan beberapa meraih tangan dan kakiku seraya menuntun langkah menuju sisi yang mereka mau.

Aku lelah dengan mawar yang layu. Tenagaku sudah terkikis di antara sulur-sulur akar yang menjerat tiada tersisa upaya menangkis. Sulur itu merambat dan menggerayangi semua anggota tubuh dan menggerakkannya sesuka hati.

"Biar saja", bisiknya. "Kau akan mendapat apa yang diinginkan dan cepat menembus umur terakhir."

Sebuah besi tipis memanjang sudah berada tepat di hadapan setelah semua raga dialih tenagakan olehnya. Itu adalah benda yang tidak asing. Ibu sering memakainya dan sering pula mengacung sembari marah dan menyeru kepadaku, "Anak perempuan sudah selayaknya memasak! Mau jadi apa kalau ngupas bawang saja tidak becus?"

Dan aku hanya bisa terdiam menunduk. Menderaikan kecaman dendam berkecamuk diiringi sulur-sulur akar yang saling bergembira seraya membisiki kata-kata sakti, merupakan salah satu dari sekian penyebab tubuhku ini terkendali tanpa perintah pemiliknya.

Ralat, pemiliknya sementara.

Sementara pusaran membara berfoya-foya mengisi ruang kosong, tatapanku mengarah pada masa-masa silam di mana ketidakadilan berlangsung secara nyata. Suara cacian, makian yang tertuju pada raga yang diciptakan Tuhannya. Bukankah itu artinya mereka mengolok-olok Tuhan mereka sendiri Sang Pencipta dan mengatai-ngatai fisik yang tidak sempurna?

Jelas, aku tidak mengerti pula dengan perlakuan yang tiada secuilpun hati. Mudah saja bagi para penindas makhluk-makhluk yang dianggap remeh dan rendah. Tapi sekali lagi sulur-sulur akar itu mengingatkanku, "Bukankah semua makhluk sama derajatnya di mata makhluk lainnya? Hanya Tuhan yang tahu perbedaan signifikan pada masing-masing perbuatan dibalik kemunafikan yang akan tersingkap pada akhirnya."

Setiap hasutan sulur-sulur akar selalu benar dan merupakan suatu cela bagiku mempercayakan seluruhnya. Ialah perbuatan paling burukku telah menyerahkan raga pada pemikirannya. Sulur-sulur akar tumbuh dan berkembang biak, hingga diriku saja kecil kemungkinan untuk bebas.

Benda bernama pisau itu diraih dan tergenggam dengan eratnya. Seolah benda tajam itu sudah sehati. Tanganku gemetar dan bulir-bulir keringat membasahi jiwa. Insting untuk bertahan hidup perlahan sirna berganti bisikan sulur-sulur akar yang menyahut geram seraya mendongeng cerita kelam masa lampau yang memang suram.

"Bunuh melampiaskan, atau bunuh diri mengakhiri dendam kesumat kita?" tanyanya retoris.

Dua pilihan. Namun, sudah tentu pilihan pertama terlalu mustahil bagi tubuh ringkih ini. Tubuh yang sudah terinjak-injak oleh standar status sosial dan tidak mendapatkan kemerdekaan sejati. Pilihan pertama terlalu melelahkan karena jumlah yang terbilang membeludak berkali-kali lipat dan bisa menghanguskan setengah penduduk bumi.

Maka dari itu, mata pisau yang paling cembung dan tipis mengarah pada jantung yang berteriak meminta tolong. Hatiku serta merta terenyuh, sedangkan sulur-sulur akar masih menaungi emosiku.

"Bukankah ini yang kau mau selama ini? Tunggu apalagi! Ayo! Biarkan orang sekelilingmu tahu seberapa menderitanya kamu. Mereka pasti membaca pesan-pesan yang sudah kau tuliskan."

Ah ya, surat itu. Sebelumnya, aku sudah meraih pena dan menuliskan semua kecamuk dan dendam dalam dada. Surat itu ada di saku celana. Tangan kiri meremasnya hingga tidak berbentuk lagi. Surat itu akan menjelma warisan kepada teman-teman yang ingin bernasib sama.

Tekadku meragu, tapi sulur-sulur akar seperti memperoleh semua kekuatan dengan menghisap semangat pagi cerahku. Kumemejam sekali lagi, merasakan tindakan ini sudah semestinya terjadi dan berakhir.

Jantungku melompat-lompat berupaya lari dari tempatnya namun tidak bisa. Terpikirkan olehku. Jika saja perjalanan dunia ini berakhir dengan paksa, bagaimana caraku menghadapi perjalanan yang lebih menyiksa di alam sana. Apakah semua hanya berinti pada singgahsana hati yang terlanjur muram tersakiti bertubi-tubi dan kembali pada kehampaan yang tiada berujung di kemudian hari? Atau, semua sakit hatiku hanya mendapatkan kecaman lebih dari Tuhan?

Mengapa aku ingat sang Pencipta itu di kala kegusaran sudah di ujung tombak?

"Ayo! Lakukan! Atau aku saja yang membunuhmu supaya kita mati bersama."

Kurasa, inilah akhir dari hidupku. Pisau ini akan menghilangkan segala perih di dada dengan menancapkannya penuh tekad. Kurasakan percikan cairan kental membasahi pakaian dan seakan menjadi jejak yang tidak terbiaskan oleh sanggahan apapun. Semua organku serasa mati, juga hidup mengeroyok satu sama lain untuk saling membinasakan. Benda pusaka penyebab kematianku telah mengukir sayat-sayatan besar dan kecil, diiringi pelukan sulur-sulur akar yang melonggar.

Di ujung napasku yang terombang ambing dahsyatnya ombak, sayup-sayup kulihat oleh indera mataku yang memburam melepas ikatannya padaku. Kudengar pula bisikan terakhir kalinya yang berucap lembut, "terima kasih telah melakukannya untukku. Aku membebaskanmu."

Aku mengangguk lemah. Rasa penyesalan menguar menyalahkan perbuatanku yang celaka, kubiarkan mengaung-ngaung di kepala yang berdenyut-denyut sembari tapak kilas kasih sayang yang pernah kudapatkan hadir menyusupi erangan. Sesuatu yang pernah diberikan dan seharusnya menjadi tanggung jawabku, sudah kubuang menyisakan belenggu kepahitan.

Seutuhnya, kehangatan senyum sang baskara di balik jendela tidak akan pernah kudapati lagi, tergantikan malam tanpa rembulan yang akan menyambut ketika nyawa ini lepas seluruhnya.

Sedangkan itu, sulur-sulur akar tertawa terbahak-bahak menatap diriku yang tiada berdaya. Ternyata ia tidak berhatikan permata seperti yang selama ini disenandungkan. Ia hanyalah tikus-tikus yang ingin makanannya. Masalah tetaplah masalah, tiada solusi jika hanya berlari mengatastanamakan teori.

Sulur-sulur akar tidak mati bersamaku, ia berjalan meninggalkanku. Mungkin, ingin mencari pemilik baru untuk mendapatkan korban-korban selanjutnya.

Berhati-hatilah, sulur-sulur akar siap menjerat kemurunganmu dan semakin beranak pinak menyesatkan manusia-manusia yang hidup hanya bertopangkan nyawa.

Mungkinkah nasibmu akan sama denganku?

.
.
.

.
.
.

Terima kasih yang sudah mampir.

Kuharap, cerpenku ini bermakna.

Salam,

Sapumelayang-nya emak😎

22 November 2020
.

Senyum baskara yang menghilang [1/1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang