Bab 1. Perempuan di Balik Kamera

22 0 0
                                    

99% orang yang mengaku indigo di luar sana adalah penipu.

Tapi aku tidak pernah benar-benar yakin mengapa mereka menciptakan kebohongan-kebohongan itu.

.

...*...

.

Aku sudah berdiri di depan rumah kontrakan yang beberapa hari lalu alamatnya dikirimkan Gistara padaku. Buku tanganku perih setelah dipakai mengetuk selama tiga puluh menit, namun tetap tidak ada tanda-tanda pintu akan segera dibuka. Kucoba menghubungi nomor Gistara, hasilnya selalu lama, tidak pernah diangkat.

Aku sedang mempertimbangkan untuk kembali ke rumah dan melupakan pekerjaan mengasuh saudariku seumur hidup saat perlahan pintu rumah terbuka, seorang gadis mungil mengintip dari sela-sela pintu—bukan Gistara,

"Ada perlu apa ya?" Suara gadis itu sangat pelan dan dipenuhi kewaspadaan, membuatku ikut merasa tegang.

"Ini benar kontrakannya Gistara? Aku saudaranya. Aku sudah berjanji untuk datang hari ini, tapi dia sama sekali tidak mengangkat teleponku."

"Gistara... ah, Tara...," gumam gadis mungil itu. Setelah ragu beberapa saat, dia membuka pintu sedikit lebih lebar dan berkata, "Silakan tunggu di dalam."

Mengangkat tas berisi baju yang kubawa, aku masuk. Ruang tamu rumah kontrakan ini terlihat sederhana, hanya ada beberapa kursi kayu tua dan sebuah meja kaca pendek yang tidak serasi. Di sudut ruangan, bunga palsu yang diselimuli debu terlihat menyedihkan, bahkan lukisan kuda yang berlari di sungai pun tidak membuatnya terlihat lebih baik. Aku bertanya-tanya, apakah ini rumah yang akan kutempati ke depannya? Gistara menjanjikanku rumah dan pekerjaan selama aku menjadi asistennya, tapi dia tidak pernah mengatakan lebih dari itu.

Aku meletakkan tasku di lantai dan duduk tanpa dipersilakan. Menoleh pada gadis yang mengizinkanku masuk, aku berniat bertanya kira-kira kapan Gistara kembali. Tapi gadis itu sudah masuk ke salah satu ruangan dan membanting pintunya. Meninggalkanku sendiri. Tampaknya ramah-tamah tidak membudaya di rumah ini.

Handphone-ku berdering, nama Gistara tertulis di layar. Kuangkat dengan terlalu terburu-buru, setengah berteriak, aku berkata, "Ke mana saja kau?! Aku menunggu setengah jam di depan rumahmu! Para tetangga memelototiku seolah aku perampok atau orang mesum."

"Huh?" Gadis di seberang telepon terdengar bingung. "Bukannya kau baru akan datang besok?" tanyanya polos.

Kucoba menahan emosiku. "Aku bilang aku akan datang tanggal 17, dan itu hari ini."

"Benarkah?" Jeda hening terdengar selama beberapa saat, mungkin Gistara sedang mengecek kalender atau semacamnya. "Maaf, salahku kalau begitu. Aku pulang saat ini juga, kau masih di depan?"

"Untungnya tidak, teman serumahmu membukakan pintu." Dengan suara yang lebih pelan, aku menambahkan, "Dia tidak terlalu ramah."

"Apa yang membukakanmu pintu adalah gadis mungil dengan kacamata besar, rambut berantakan dan menggunakan piyama lusuh?"

Sesungguhnya aku tidak sempat mengecek pakaian gadis itu karena yang bisa kulihat darinya cuma sebagian wajah dan rambutnya saat mengintip dari balik pintu. Tapi sepertinya memang dia yang dimaksud Gistara, aku bergumam mengiyakan.

"Kalau begitu seharusnya kau bersyukur dia membukakanmu pintu, bukan langsung melaporkanmu ke polisi."

Aku jadi sedikit khawatir dengan lingkungan tempat saudariku tinggal.

"Tunggu sepuluh menit, aku segera ke sana."

Aku tidak sempat mengatakan apapun lagi saat telepon diputus. Kurasa aku akan menunggu lagi. Tapi setidaknya, sekarang aku di dalam.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 27, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

GistaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang