8. Tidur Nyenyak

12 2 0
                                    

Salah satu topik artikel dalam program authorship dari Raws Community, yaitu seputar tokoh di dunia nyata yang idolakan. Hmm.... saya cukup lama mempertanyakan dalam hati tentang ini. Kenapa bukan tokoh dalam dunia fiksi? Atau kenapa bukan karakter dua dimensi saja? Kalau ada opsi itu saya bisa menulisnya dengan penuh cinta (becanda). Saya bisa menulis tentang Uzumaki Naruto sama Monkey D. Luffi. Dua karakter kesayangan saya sepanjang masa dan tak tergantikan (ada lagi, sih...). 

Saya enggak sendirian, ada banyak orang yang menyukai dua karakter itu. Dan terutama Naruto, karena sempat ditayangkan di televisi. Saya masih ingat beberapa tahun lalu seri Naruto yang tiap harinya selalu saya nantikan, meski episode-nya diulang-ulang sekalipun tidak masalah. Apalagi pas tahu ada episode baru, rasanya mau duduk manis di depan TV seharian saking takutnya ketinggalan. Dan sekarang Naruto sudah jadi bapak-bapak, sudah jadi hokage seperti yang dia impikan sejak kecil. Tapi saya nggak tahan nontonnya di seri Boruto. Sementara Luffi nggak tua-tua padahal sudah bertahun-tahun lamanya, umurnya masih 19 tahun, kan?

Karena tidak ada pilihan topik artikel menulis tokoh dua dimensi, saya tidak bisa membicarakan lebih jauh, jadi cukup sampai di sana. Tentu saja ada tokoh di dunia nyata yang saya idolakan, tapi kira-kira yang cocok menjadi sumber inspirasi untuk cerita fiksi yang saya kerjakanlah yang membuat saya bingung. Untungnya beberapa hari lalu, di awal November, ada yang bisa saya jadikan pembahasan dalam artikel dan karena cukup menginspirasi tentunya. Selain itu mengingatkan kembali kalau dulu sempat "kaget" ketika menyaksikan sifat beliau di TV.

Dari judul apa ada yang bisa menebaknya? Orang ini terkenal, lho.... Seorang chef berumur 45 tahun. Sudah bisa menebak siapa itu? 

Beliau adalah Chef Juna. Chef yang selalu bikin jantung saya mau copot rasanya ketika memberi tanggapan di luar dugaan sewaktu menilai masakan peserta, di program awal season Master Chef Indonesia. Saya enggak bisa bayangin gimana rasanya jadi salah satu peserta ketika dihadapkan dengan juri yang memberi komentar-komentar yang ... begitulah. Sadis. Namun saya juga enggak menyangka ternyata begitu keras kehidupan Chef Juna ketika masih muda dan karena pengalaman-pengalaman tersebutlah yang membuat kepribadian beliau saat ini.

Di podcast-nya Om Dedy Corbuzier, Chef Juna menceritakan apa yang terjadi hingga beliau menjadi Chef seperti yang kita kenal sekarang. Dulu semasa remaja, Chef Juna sedang bandel-bandelnya. Di kedua tangan beliau ditato ketika berumur 15 tahun dan sering pergi-pergi naik motor Harley bersama teman-teman satu geng. Kemudian suatu pagi, saat kesadaran diri jelas dan pikiran yang jernih, tiba-tiba Chef Juna berpikir kalau begitu terus bisa-bisa mati muda atau berakhir di penjara.

Dari kecil terbiasa sendiri, keluarga broken home. Nekad pergi ke Amerika begitu melihat kesempatan. Chef Juna menjual Herley kesayangan, mengambil pendidikan di sekolah pilot di Texas. Tanpa uang, tanpa kenal siapa-siapa, pergi begitu saja. Selang beberapa waktu sekolah itu bangkrut ditambah sesaat berikutnya terjadi krisis ekonomi tahun '98. Ibu Chef Juna kesulitan membiayai makan. Jadi saat itu diberi dua pilihan, mau pulang atau usahakan lainnya.

Chef Juna saat itu bingung kalau pulang ke Indonesia bakal ngapain. Makanya ketika itu beliau memilih untuk tetap di Amerika. Survive di sana, sampai harus mengorek-ngorek sampah, memunnguti recehan untuk dikumpulkan dan dibelikan burger murah, yang kata beliau rasanya seperti sampah. Mungkin peristiwa ini membuktikan ketika menilai masakan peserta yang rasanya seperti sampah dan ternyata Chef Juna benar-benar pernah merasakan "rasa" itu.

Namun, meski kesusahan untuk makan, Chef Juna tidak homeless (punya tempat tinggal). Waktu itu berdelapan dengan teman-teman yang senasib dengan beliau menempati satu atap yang sama. Tidur tanpa kasur dan hanya berjejer menggeletak di lantai begitu saja. 

Setelah mencoba berbagai pekerjaan kasar, suatu saat ada kesempatan untuk bekerja di restoran sushi sebagai pelayan. Dari situ awal mula karier menjadi seorang chef. Ketika Chef Juna bekerja menjadi pelayan, beliau selalu siap tepat waktu. Alasannya kata beliau, karena rasa syukur bisa bekerja yang bayarannya lebih besar dari sebelumnya dan tidak lagi kerja kasar di luar ruangan yang panas. 

Master sushi, tempat Chef Juna bekerja, yang melihat kesungguhan beliau lantas menawarkan untuk dilatih menjadi apprentice. Selain itu karena Chef Juna sering bertanya pada master sushi, sehabis waktu lunch, seputar memotong ikan. Chef Juna melakukan itu karena tertarik dengan benda-benda tajam.

Oleh tawaran tersebut Chef Juna sempat bimbang. Setelah semalaman mempertimbangkan akhirnya Chef Juna setuju untuk dilatih. Meskipun gaji yang diterima lebih sedikit ketimbang bekerja menjadi pelayan, tapi beliau melakukannya untuk tujuan jangka panjang. Saat itu Chef Juna berpikir penting untuk menguasai sebuah skill (keahlian).

Chef Juna serius menekuni bidang memasak. Beliau hanya punya ijazah SMA dan tidak lulus kuliah, karena itu Chef Juna memfokuskan diri belajar secara mandiri. Pergi ke America Public Library di dekat apartemen beliau untuk meminjam komputer, belajar terminologi dalam dunia dapur. Artinya Chef Juna menjadi seorang chef tanpa bersekolah di sekolah masak.

Beliau menceritakan juga tentang betapa kerasnya bekerja di dapur profesional

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Beliau menceritakan juga tentang betapa kerasnya bekerja di dapur profesional. Dari situ ketika kembali pulang ke Indonesia, mendapat tawaran bekerja di restoran Jack Rabbit di Jakarta, Chef Juna menerapkan idealisme pada dapur beliau: memberi hukuman ketika anak buah beliau melakukan kesalahan dan memberi penghargaan ketika melakukan pekerjaan dengan baik. 

Beliau mendidik anak buahnya sebagai satu kesatuan. Ketika satu orang terlambat masuk, maka semuanya akan dihukum push-up dan sebagainya. Ketika waktu pulang pun harus bersamaan. Jadi kalau bagian yang mencuci belum selesai, yang lainnya belum boleh pulang. Kabar tentang cara Chef Juna tersebut sampai beredar ke luar dan terdengar oleh tim Master Chef Indonesia. Kemudian Chef Juna ditawari untuk menjadi juri di program tersebut.

Seperti yang kita tahu, di season awal Master Chef Indonesia Chef Juna begitu pedas ketika menilai masakan para peserta, itu karena idealisme dan karakter beliau yang memang seperti itu. Tapi seiring berlalunya waktu, kita juga melihat Chef Juna menjadi lebih "ringan" dalam mengomentari dari sebelumnya setelah memahami bagaimana industri pertelevisian berjalan.

Namun, ada saja orang-orang yang tidak menyukai Chef Juna, mungkin karena mereka menganggap komentar atau perilaku Chef Juna terhadap para peserta Master Chef Indonesia tidak manusiawi. Mereka mengata-ngatai berbagai hal buruk tentang Chef Juna. Tapi, bagi Chef Juna itu semua tidak penting. Beliau berkata bahwa dirinya bersyukur pada hidupnya. Beliau bisa makan apa saja tanpa khawatir akan alergi, diberi kesehatan, dan bisa tidur dimana saja kapan saja dengan nyenyak. Sama sekali tidak peduli orang mengatakan hal-hal buruk padanya.

"They can talk shit all about me all day along, it's give me sleep better. I inhale their soul. There's never sleepless night for me, it's their sleepless night."

Sumber referensi:

https://id.wikipedia.org/wiki/Juna_Rorimpandey

https://youtu.be/BGuFbCnd-Xc

https://youtu.be/I26VPXo0AwY

https://www.instagram.com/junarorimpandeyofficial

Dipublikasikan pada 26 November 2020 oleh archerysine.

Sekali-Sekali Riset [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang