1. Gantungan Kunci

116 9 5
                                    

"Haha dasar anak pincang! Hanya menjadi beban keluarga saja!" Pria itu tertawa keras seraya memperhatikan Kiara yang tertunduk takut.

Pria itu mulai berjalan mendekati Kiara yang terduduk di atas kursi rapuh dengan kedua tangan yang terikat serta mulut yang tertutup lakban hitam.

"Ssttt ...," Kiara merintih kesakitan kala tangan Pria itu mencengkram kuat rahangnya.

"Mari kita lihat, apakah dia akan sama dengan Papanya yang lemah itu?" Pria itu menampakkan smirknya.

Kiara terus memberontak. Dia menggelengkan kepalanya kencang agar cengkraman Pria itu bisa terlepas dari dirinya.

"Diam!" bentak Pria itu.

Seketika Kiara pun mematung. Seluruh tubuhnya menjadi kaku seketika saat mendapat bentakan itu. Kelopak mata Kiara mulai terasa panas dan sudah tidak kuat lagi menahan bendungan air matanya.

Ya, Kiara menangis dalam diam.

Tak berselang lama, derap kaki seseorang terdengar nyaring di gudang tua itu.

"Siapa itu?!" tanya Pria itu dengan menatap ke sekeliling gudang.

Dor !
Dor !
Dor !

Suara tembakan tiga kali berturut-turut itu memampu menembus atap gudang itu.

Dengan sigap Pria yang menyekap Kiara pun mengeluarkan pistol hitam miliknya dari dalam saku jaket kulit yang dia kenakan. "Siapa disana?!"

Derap kaki itu mulai terasa sangat dekat. Hingga akhirnya tampaklah seorang Pria paruh baya yang mengenakan setelan jas hitam dengan pistol silver miliknya.

"Berani-beraninya kau menculik Putriku!" hardik Reno.

Pria itu tersenyum penuh arti. "Woah! Rupanya kau yang datang! Baguslah, aku tidak perlu repot-repot mengundangmu."

"Lepaskan Putriku sekarang juga! Atau, kau akan mati di tanganku sekarang juga," ancam Reno seraya mengarahkan pistol miliknya ke arah Pria licik itu.

"Jangan harap! Justru aku yang akan membunuh Putrimu! Anggap saja sebagai balasan atas kelicikanmu dalam merebut semua investor dariku haha!" Pria itu tertawa sumbang.

Rahang Reno mulai mengetat, saraf-sarafnya pun turut terlihat jelas.

Dor!

"Ayah!"

◎◎◎◎◎◎

"Ayah!" Kiara terbangun dari tidurnya.

Keringat dingin telah membasahi seluruh tubuh Kiara dengan napas yang terengah engah. Perlahan, Kiara mulai menenangkan dirinya.

"Huft! Mimpi itu lagi,"

"Ini jam berapa sih?" gumam Kiara seraya menghapus jejak air matanya.

Mata hazel milik Kiara mulai menatap ke arah jam weker berwarna peach yang terletak di atas meja kecil di samping kasur king size miliknya.

"Masih pagi ternyata," gumam Kiara seraya menggaruk pipi kanannya yang sedikit gatal.

Beberapa saat kemudian terdengar suara teriakan seseorang wanita paruh baya yang berasal dari lantai satu rumah yang Kiara tempati.

"Kiara! Bangun sayang!" teriak Raina - Ibunda Kiara.

Kiara menghela napasnya berat. "Iya Ma! Kiara sudah bangun."

Dengan sekuat tenaga Kiara mulai meraih walker yang berada di samping kasur king sizenya, alat bantu jalan yang biasa Kiara gunakan sehari-hari. Kiara mulai berdiri dengan bantuan walker itu.

Dengan langkah tertatih, Kiara mulai berjalan ke arah kamar mandi yang berada di dalam kamarnya.

Kiara memasuki kamar mandi itu untuk melakukan aktivitas mandinya. Sekitar tiga puluh menit kemudian, Kiara sudah keluar dari dalam kamar mandi itu dengan menggunakan sepasang seragam sekolah berwarna putih dan abu-abu.

Langkah kaki Kiara membawanya ke arah meja rias yang berada tidak jauh dari kamar mandinya.

Sesampainya di meja rias itu, perlahan Kiara mulai duduk di kursi rias itu. Kiara menatap pantulan dirinya dengan tatapan tak bersemangat. Tangan Kiara terulur untuk mengambil bedak tabur yang terletak di atas mejanya.

Kiara mulai memoleskan bedak tabur itu secara tipis dan merata, kini Kiara mulai meletakkan kembali bedak itu dan beralih mengambil sebuah lip tint berwarna pink.

Dengan berhati-hati, Kiara mulai memoleskan lip tint itu ke bibir tipisnya. Kiara hanya memoleskan sedikit lip tint itu. Dengan gerakan secepat kilat, Kiara mulai mengikat rambutnya yang bergelombang itu, menampilkan leher jenjang yang putih miliknya.

Kiara menatap alorji kecil berwarna emas yang sudah melingkar manis di pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan pukul setengah tujuh pagi.

"Setengah jam lagi bel masuk sekolah," gunam Kiara seraya memperhatikan alorjinya.

Setelah cukup puas memandangi alorjinya, kini Kiara mulai berdiri dan meraih tas ranselnya, tidak lupa dengan handphone berlogo apel yang tergeletak di atas meja riasnya. Kiara mulai keluar dari kamarnya dan menuruni satu persatu anak tangga dengan sangat hati-hati.

Setibanya Kiara di lantai satu, suara Raina pun kembali terdengar memenuhi ruang tamu di rumah mewah ini. Sosok wanita paruh baya yang berparas cantik itu pun hadir di hadapan Kiara dengan senyuman hangat yang terukir indah di bibir tipis Raina.

"Kiara! Ini Mama bawakan kamu bekal makan siang," ucap Raina seraya menyodorkan kotak bekal kepada Kiara.

Kiara mengangguk. "Terima kasih Ma! Kiara berangkat ke sekolah dahulu ya."

"Iya sayang, hati-hati di jalan ya," balas Raina seraya mengulas senyuman manisnya dan mengelus pelan puncak kepala sang putri.

Kiara hanya tersenyum singkat dan mengangguk, menanggapi ucapan Raina. Setelah berpamitan kepada sang Mama, Kiara pun mulai beranjak keluar dari rumah mewah yang dia tinggali tadi.

Langkah kaki Kiara mulai menapaki halaman rumah Kiara, di sana sudah ada seorang supir yang bersandar di mobil hitam mewah milik keluarga Kiara seraya menunggu kedatangan Kiara.

Supir itu segera membukakan pintu kursi penumpang untuk Kiara. Kiara pun mulai memasuki mobilnya, beberapa saat kemudian mobil mewah berwarna hitam yang Kiara tumpangi mulai melaju ke arah sekolah Kiara.

Lima belas menit sudah Kiara berada di perjalanan menuju sekolahnya. Kini mobil yang Kiara tumpangi sudah berhenti tepat di depan gerbang sekolah yang bernama SMA Adiwijaya.

Dengan gerakan secepat kilat, supir Kiara pun ikut turun dari mobil untuk membantu Kiara keluar dari mobilnya.

Kini Kiara sudah keluar dari mobil mewah miliknya, dia berdiri dengan bantuan walker. Kiara hanya tersenyum sekilas saat sang supir membantunya turun dari mobil.

"Terima kasih Pak, Kiara masuk dulu ya," pamit Kiara kepada sang supir dengan tersenyum hangat.

Supir itu membalas dengan senyuman hangat.

Kiara pun mengangguk lalu berjalan memasuki gerbang sekolahnya. Kiara tampak tergesa-gesa, tanpa Kiara sadari sebuah gantungan tas ransel Kiara yang berbentuk bola basket pun terjatuh ke tanah.

Kiara tetap melanjutkan langkah kakinya untuk memasuki sekolahnya, tampak dari kejauhan ada seseorang remaja laki-laki bertubuh jangkung yang sedang memperhatikan Kiara.

Remaja laki-laki bertubuh jangkung itu mulai berjalan mendekati gantungan tas ransel milik Kiara yang terjatuh tepat di gerbang sekolah tadi. Kini, laki-laki bertubuh jangkung itu sudah berada tepat di depan gerbang sekolah SMA Adiwijaya. Dengan perlahan, laki-laki itu menunduk dan tangannya terulur untuk meraih gantungan tas yang berbentuk bola basket itu di tanah.

Seulas senyuman remaja laki-laki itupun terbit, menampilkan lesung pipi yang indah dan menawan itu.

"Cukup menarik," ucap laki-laki itu seraya menatap gantungan tas berbentuk bola basket milik Kiara.

Imperfect Couple | Pindah DreameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang