Jam dinding berwarna hitam yang tergantung tinggi di dinding bercat putih itu seakan berjalan sangat lambat kala semua siswa-siswi SMA Adiwijaya khususnya kelas XI IPA 4, mengharapkan jarum jamnya berputar lebih cepat. Lain halnya dengan gadis yang berponi tipis dengan mata hazel yang senantiasa selalu memperhatikan setiap angka dan rumus, yang dituliskan oleh guru mata pelajaran kimia bertubuh gempal itu di papan tulis putih.
Gadis berponi itu adalah Kiara, gadis yang selalu dijuluki si kutu buku serta tidak jarang pula mendapatkan bullyan dari beberapa siswa lainnya karena satu kakinya yang teramputasi. Kiara masih saja bersemangat untuk memperhatikan jajaran rumus kimia yang sudah tertulis rapi di papan tulis putih itu. Jari-jari tangan Kiara pun tidak tinggal diam, jari-jari tangan itu sudah menari-nari seraya menggerakkan satu pulpen berwarna peach.
Pandangan mata Kiara yang hanya terfokus pada rumus kimia di papan tulis itupun membuat seseorang gadis berwajah blasteran Sunda-Inggris yang duduk sebangku dengan Kiara, mengeram sebal. Pasalnya, gadis ini tau jika Kiara sangatlah menggilai pelajaran apapun yang berbau hitung menghitung, berbeda halnya dengan dirinya yang sangat anti dengan pelajaran yang berbau hitung menghitung.
"Sttt ... Kiara," bisik Dera, teman sebangku Kiara.
Kiara melirik sekilas kepada Dera, lalu menaikkan satu alisnya seolah mengisyaratkan 'Ada apa?'
"Ck, gue laper Kia! Ini guru kenapa gak selesai-selesai sih dari tadi," bisik Dera seraya berdecak pelan.
Kiara menghela napasnya berat. "Lima belas menit lagi selesai, Dera."
"Masih lama banget ya Tuhan, ini lo kenapa masih santai-santai aja sih? Lo gak laper apa Kia?" tanya Dera dengan nada berbisik.
Kiara meletakkan sejenak pulpennya di atas buku putih itu, lalu tatapan mata Kiara beralih kepada Dera. Sahabatnya yang sedang kelaparan dengan wajah yang sudah sangat menggenaskan. "Gue juga laper Der, sabar sedikit dong."
"Ck, gue udah sabar Kiara. Tapi ini cacing-cacing di perut gue gak bisa sabar tau," balas Dera seraya mengelus pelan perutnya yang sendari tadi meronta-ronta meminta jatah makanan.
Tanpa Kiara dan Dera sadari, seorang guru wanita paruh baya bertubuh gempal yang berada di depan itu sedang memperhatikan interaksi antara Kiara dan Dera yang sedang asyik berbicara sendiri.
"Kiara! Dera!" panggil Retno, guru kimia itu seraya menatap tajam ke arah Kiara dan Dera.
Sontak, Kiara dan Dera terkejut karena suara teriakan dari Retno, guru kimia yang memanggil nama mereka. Dengan spontan Kiara menundukkan kepalanya. Lain halnya dengan Dera, yang terlihat sangat santai walaupun sedang mendapat teguran dari guru kimia itu.
"Ma ... maaf Bu," cicit Kiara seraya menundukkan kepalanya.
Tatapan tajam Retno seolah sedang menguliti Kiara dan Dera hidup-hidup. "Apa kalian lupa dengan peraturan di pelajaran saya?"
"Tidak Bu, saya mengingatnya," balas Dera dengan nada suara yang terbilang sangat santai.
Retno menghela napasnya berat. "Lalu? Mengapa kamu masih saja asik berbicara dengan Kiara saat saya menuliskan rumus-rumus di papan tulis tadi?"
"Tadi saya hanya menanyakan kepada Kiara kapan jam pelajaran Ibu berakhir, karena sendari tadi cacing-cacing di perut saya sudah berdemo meminta jatah makanan Bu," balas Dera seraya menepuk pelan perutnya.
Retno tampak ingin membuka suaranya, tetapi bel istirahat sudah terlebih dahulu berbunyi. Bel istirahat yang memberikan satu kelegaan tersendiri bagi siswa-siswi kelas XI IPA 4.
"Ya sudah, kalau begitu jangan di ulangi lagi ya, Kiara, Dera!" peringat Retno seraya meletakkan spidol hitam di meja guru.
"I-iya Bu, maaf," balas Kiara seraya menunduk.
Sementara itu Dera hanya mengangguk semangat kala Retno memperingatkan dirinya. Bukan karena Dera senang mendapatkan teguran dari sang guru kimia itu, tetapi Dera sangat senang kala bel istirahat telah berbunyi sendari tadi.
"Baiklah kalau begitu, sampai disini dahulu pertemuan kita hari ini. Tugas yang tadi saya berikan harap dikerjakan ya, jika ada yang tidak mengerjakan akan saya beri hukuman," ucap Retno seraya menutup beberapa buku cetak yang dia gunakan sebagai bahan ajar.
"Baik Bu!" balas seluruh siswa-siswi di kelas Kiara dengan kompak.
Beberapa saat kemudian, guru kimia bertubuh gempal itu mulai beranjak meninggalkan kelas XI IPA 4. Setelah kepergian Retno, seluruh siswa-siswi di kelas XI IPA 4 menghela napasnya lega, kini mereka mulai berhamburan keluar kelas untuk menuju ke arah kantin.
"Kiara! Ayo dong cepetan, nanti kita kehabisan makanan," ucap Dera seraya menghentakkan kedua kakinya di lantai, seperti anak kecil saja.
Kiara menghela napasnya berat. "Iya-iya sabar Der, aku mau masukin buku-buku ku ke dalam tas dulu."
"Ck, cepetan atuh neng Kiara! Neng Dera yang cantik jelita ini sudah kelaparan," balas Dera seraya berdecak dan berkacak pinggang.
Kiara memutar bola matanya malas, dia lebih memilih diam daripada membalas perkataan Dera yang tiada ujungnya. Kiara heran kepada Dera, setiap gadis ini lapar dia selalu berubah menjadi seperti balita yang selalu merengek meminta makan.
Dengan gerakan secepat mungkin, Kiara mulai berbalik menghadap ke arah tasnya lalu membuka resleting tas ransel miliknya. Kedua alis Kiara seketika menaut, kala Kiara merasakan ada yang aneh dengan tasnya. Seperti ada yang hilang, tetapi Kiara tidak menyadari apa hal yang hilang di tasnya itu.
"Lo kenapa Kia?" tanya Dera seraya mengerutkan keningnya.
Kiara terdiam sejenak, mencoba mengingat-ingat hal apa yang membuat tas ranselnya begitu janggal. "Kayaknya ada sesuatu yang hilang deh dari tas gue."
"Emang apa yang hilang? Dompet lo? Atau apa?" tanya Dera memberondong.
Kiara menggeleng cepat. "Bukan, tapi ..."
Dera semakin kebingungan dengan sikap Kiara yang seolah kehilangan sesuatu, Dera sudah mencoba menebak-nebak barang milik Kiara yang hilang. Tetapi hasilnya nihil, semua tebakannya tetap salah.
"Coba lo inget-inget dulu deh Kia," ucap Dera seraya menghembuskan napasnya berat.
Sejenak Kiara menutup matanya untuk mengingat barang apa yang selalu ada di dalam tas hingga resleting tasnya. "Gue tau!"
Sontak mata Dera langsung memancarkan binar kebahagiaannya, karena setelah mengetahui barang Kiara yang hilang, dia pasti akan secepatnya pergi ke kantin.
"Apa Kiara?" tanya Dera dengan nada bersemangat.
"Gantungan kunci yang di ransel gue yang berbentuk bola basket itu," balas Kiara dengan nada lirih.
Dera menghela napasnya. "Lo simpan dimana emang?"
"Gue selalu pasang gantungan kunci itu di tas gue yang ini Der, gue gak pernah sekalipun melepas gantungan itu semenjak almarhum papa yang memasang gantungan itu sendiri di tas gue," balas Kiara dengan nada lesu.
Dera menatap iba ke arah Kiara, Dera tau jika gantungan kunci berbentuk bola basket itu adalah hal berharga peninggalan Papa Kiara.
Dengan perlahan, Dera menepuk pelan pundak Kiara yang lesu. "Ya udah, nanti kita cari sama-sama ya."
"Iya," balas Kiara seraya melanjutkan aktivitasnya untuk memasukkan buku ke dalam ranselnya.
Dera mengulas senyuman tipisnya, dia tau Kiara pasti sedang mencemaskan gantungan kunci itu.
Setelah memasukkan buku-bukunya ke dalam ransel, Kiara mulai meraih walker yang tersandar di sebelah kiri kursinya. Dengan sedikit susah payah, Kiara berdiri dengan bantuan walker itu.
"Ayo Der, katanya mau ke kantin," ajak Kiara seraya tersenyum kepada Dera yang masih diam di sampingnya.
Lamunan Dera membuyar kala Kiara mengajaknya berbicara. "Eh? Ayo!"
Kiara dan Dera mulai meninggalkan ruangan kelasnya yang sudah sepi tak berpenghuni itu. Tujuan mereka hanya satu saat ini, kantin sekolah. Cacing-cacing perut mereka sudah berdemo-demo ria untuk meminta jatah makanan mereka.
Haiii ❤
Ketemu lagi nih, ayo dibaca ya!
Jangan lupa vote hehe ❤
Stay safe semua-!
Tysm-! ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfect Couple | Pindah Dreame
Teen Fiction"Semua orang berhak untuk menebus kesalahannya di masa lalu. Jadi, lupakanlah masa lalu walau itu terasa sangat pedih." Kiara Radhevia Adiwijaya, gadis berponi tipis dengan satu kaki yang teramputasi kini menjalin hubungan asmara dengan seorang cucu...