BELLA terbangun. Ia ingin buang air kecil. Dengan nyawa yang masih setengah, ia-pun beranjak dari tidurnya, keluar dari ruangan tempat ia dan teman – temannya tidur, berjalan cepat menuju kamar mandi.
Setelah menuntaskan hajatnya, Bella kembali ke tempatnya. Namun ditengah perjalanan, ia melihat seorang Nenek tua sendirian terduduk diam dipojokan.
“Nenek itu hidup seorang diri. Gak ada yang tau keluarganya dimana. Nenek itu juga ga mau cerita.” Ucap seseorang yang tiba – tiba ada disampingnya.
Bella menoleh. Seorang Bapak – Bapak, umurnya mungkin sudah 60, memakai pakaian serupa dengannya. Mungkin Bapak ini adalah pengunjung disauna ini juga.
“Nenek itu juga sudah 4 hari disini.”
“4 hari?” Tanya Bella.
Bapak itu mengangguk. “Dan kayanya dia belum makan. Setiap ditanyain sudah makan atau belum, pasti Nenek itu akan menjawab, “sudah”. Padahal, kata pegawai disini, Nenek itu belum makan, karena dia ga punya uang.”
Bella hanya mengangguk – anggukan kepalanya.
“Saya permisi dulu.” Bapak tersebut berjalan meninggalkan Bella.
Bella yang merasa tersentuh menghampiri Nenek itu. Dari radius 3 meter, Bella bisa melihat bahwa Nenek itu sedang terduduk sembari memegang perutnya. Apakah ia sakit?
Bella mendekat. Memanggil Nenek tersebut. “Nek…”Nenek itu mengangkat kepalanya.
Bella terkejut. Wajahnya sangat mirip dengan Nenek yang ia temui dibawah pohon ketika hendak pergi les.“Ada apa, Nak?”
Bella kembali tersadar. Ia tersenyum. “Nenek kenapa? Nenek sakit?”
Nenek tersebut menggeleng. “Enggak kok. Cuma sakit perut biasa aja. Bentar lagi hilang, kok.”
Bella mengangguk. Senyuman tak luntur dari bibirnya. “Nenek tunggu disini sebentar ya.”
Bella meninggalkan Nenek itu. Kembali ke ruangannya. Ia menghembuskan nafasnya. Menghampiri Naomi, lalu merogoh kantong baju temannya itu. “Sorry, guys. Gue janji bakalan ganti uangnya.”
Ia mengambil uang senilai Ø20
*(20 ON. Ø adalah lambang mata uangnya).
Lalu membeli makanan dan kembali menghampiri sang Nenek.
“Nek,” Panggilnya.
Nenek tersebut menatap Bella.
Bella menyodorkan nampan berisi makanan yang sudah dibelinya. “Ini untuk Nenek. Dimakan ya.”“E-eh… Ti-tidak, Nak. Tidak perlu,” Nenek tersebut menolak pemberian Bella dan kembali menyodorkan nampan tersebut kepada Bella. “Nenek sudah kenyang. Untuk kamu saja.”
Bella menggeleng. “Ini untuk Nenek. Tidak perlu mengkhawatirkan saya. Saya sudah makan.”
“Tapi, Nak—“
“Nenek harus terima. Entar saya marah, lho, Nek. Kata teman – teman, kalau saya marah itu serem. Mirip mak lampir. Jadi Nenek terima, ya.”
Si Nenek tertawa pelan mendengarnya. Menampilkan gigi – giginya yang tak lagi sempurna.
Bella tersenyum. Ia kembali teringat dengan Nek Ara yang ditemuinya 2 hari yang lalu. Dimana mereka sekarang? Apakah Nenek Ara dan cucunya, Farhan, sudah makan? Apakah mereka tidur dengan nyenyak? Apakah uang yang diberikannya cukup?
Ah… Semoga mereka baik – baik saja.
“Terima kasih ya, Nak…” Nenek tersebut tersenyum. Kemudian ia menyantap makanannya dengan lahap.

KAMU SEDANG MEMBACA
ONE DAY IN STORY TOWN
AventuraAwalnya, Bella tak percaya dengan adanya 'dunia lain' selain kehidupan ini. Ia tak percaya dengan adanya dunia parallel. Tak peduli mau sebanyak apa teman - temannya berbicara dengan kemungkinan adanya 'dunia lain' itu, Bella tetap menulikan pendeng...