BAB 1

397 32 8
                                    

Aku benci ketika langit sudah berubah jingga. Itu artinya aku mesti membereskan segala berkas penjualan dan pembelian hari ini. Menaruhnya di odner lalu menyejajarkannya rapi di rak di belakang meja kerjaku. Ketika semua orang begitu menyukai sore hari, yang artinya waktunya pulang dan bersua dengan keluarga, aku justru benci sekali dengan momen itu. Bukan, bukan benci sekali. Aku hanya tidak menyukai situasi di rumah. Aku memejamkan mata, membiarkan udara memasuki rongga dada sebanyak-banyaknya, lalu mengembuskannya perlahan. Setidaknya ini bisa jadi penenang sebelum mataku menemukan tatapan sinis dari Ayah dan sindiran khas Ibu.

Dering ponsel membuatku menghentikan aktivitas menenangkan diri. Yuda. Segera saja aku menekan tanda terima.

"Kenapa, Hon?" aku mengapit ponsel di antara telinga dan pundak.

"Sudah mau pulang? Maaf, aku enggak bisa ke situ. Aku ada meeting dengan beberapa orang untuk legalitas CV," katanya dari seberang sana.

"Aku bisa handle semua, kok." Aku memang bisa melakukan pekerjaan ini seorang diri. Sejak awal pun aku selalu melakukannya sendiri. Mulai mencari barang, mengunggah ke marketplace, melayani tanya jawab konsumen, mengecek stok hingga packing barang.

"Baiklah. Aku lanjut meeting dulu, ya. Bye." Tak lama, Yuda mematikan sambungan telepon kami. Tanpa memberi aku kesempatan membalas ucapan sampai jumpa. Aku meletakkan ponsel kembali ke atas meja, di samping komputer pangku warna tosca milikku.

Aku benar-benar benci kala mesti menarik gorden, menutupi semua jendela yang ada di rumah-toko ini. Andai saja aku bisa, aku akan memilih untuk tinggal di sini saja daripada pulang ke rumah orang tuaku. Rumah kecil ini kami sewa sebagai toko dan tempat penyimpanan barang-barang VeeStore, usaha yang aku bangun sejak setahun yang lalu.

Ruang tamu yang aku pakai sebagai etalase barang-barang dagangan, ruang keluarga yang menjadi kantor dan tempat pengemasan. Salah satu kamar sebagai gudang barang dan kamar yang satu masih berfungsi sebagaimana mestinya. Juga dapur dan satu kamar mandi yang bersih dan berguna. Aku menata sedemikian rupa rumah kecil ini biar aku nyaman berada di dalamnya. Setidaknya ketika aku merasa nyaman, aku bisa bekerja dengan maksimal dan bebas karena ini adalah VeeStore, hidup dan nama baikku.

Menghabiskan uang tabungan yang aku kumpulkan sejak awal aku bekerja di perusahaan lama sama sekali tidak membuatku menyesal karena aku menyukai pekerjaanku sekarang. Meskipun masih harus menahan segala bentuk kesenangan yang biasa aku rasakan seperti berlibur atau sekedar belanja beberapa tas dan sepatu. Makan di tempat fancy dan menghabiskan weekend menonton film-film yang sedang tayang di layar besar. Itu semua harus aku hentikan, setidaknya sampai VeeStore benar-benar bisa memberikan aku gaji sebesar aku bekerja tempo hari.

Memastikan kalau semua sudah bersih dan bisa ditinggalkan, aku mengambil tas selempangku, lalu bergegas menuju pintu. Mengunci pintu hingga dua kali, meyakinkan diri kalau ini benar-benar aman. Aku mengambil ponsel, mengecek driver ojek online sudah mendekat. Sejak memutuskan untuk keluar dari pabrik kayu lapis dan mendirikan VeeStore, aku memang mengembalikan semua fasilitas yang diberikan Ayah. Aku cukup tahu diri dengan tidak memakai motor atau mobil, bahkan aku mengembalikan kartu kredit dari Ayah, meskipun sejak aku bekerja, aku sendiri yang membayar tagihannya.

"Jam segini kok baru pulang?" Ibu yang sedang duduk sambil memegang ponsel bertanya tanpa melihatku. Pandangannya hanya ke benda persegi panjangnya itu.

"Yuda lagi meeting sama notaris, Bu. Jadi Vee yang mesti nutup toko." Aku mencoba merendahkan nada suara, meskipun sikap itu sama sekali tidak menyenangkan di mataku.

"Minggu depan Sandra pulang. Kita mau makan di luar. Kamu jangan pulang telat."

Baiklah, anak kesayangan Ayah dan Ibu pulang, artinya aku harus menebalkan telinga dengan segala cerita dan ujaran pembandingan. Sandra, adikku satu-satunya. Seseorang yang jadi kebanggaan keluarga karena bisa masuk ke Kementerian Keuangan. Anak pandai sejak SD, idola sekolah hingga kampus. Sedangkan aku? Hanya seorang mantan pegawai administrasi di perusahaan kayu lapis kecil di kota ini, yang punya mimpi jadi seorang pengusaha. Muluk sekali mimpiku? Setidaknya jika aku gagal nanti, aku sendiri yang akan menertawai.

Merebahkan diri di ranjang, aku menatap langit-langit kamar. Ada perasaan ingin menikah saja dengan Yuda, biar aku bisa dibawa pergi dari sini. Namun, rasanya tidak adil ketika aku sendiri belum merasa siap untuk menjadi istri. Menikah hanya untuk melarikan diri, yang benar saja. Emosiku yang meminta, logika di kepala menolaknya mentah-mentah. Menikah tentu saja bukan ide yang bagus.

Aku membiarkan kantuk menyerangku saat ini. Memilih melewatkan makan malam untuk kesekian kalinya. Aku pikir, satu tahun belum cukup untuk Ayah dan Ibu menerima keputusanku. Memberi jarak rasanya bukan perbuatan dosa. Ini untuk kebaikanku sendiri, itu yang aku yakini.


***


"Selamat pagi." Suara seorang perempuan membuatku menoleh ke pintu. Aku hampir saja lupa, kalau hari ini aku harus mewawancarai seseorang untuk membantuku di toko.

"Selamat pagi. Duduk dulu, ya." Aku berusaha ramah dengan calon karyawan baru. Segera saja aku mencari file yang aku butuhkan untuk wawancara hari ini. Yuda belum datang, dari pada harus menunggu lama, aku memutuskan untuk melakukannya seorang diri. Toh sama saja, Yuda akan selalu memasrahkan segalanya kepadaku nantinya.

"Halo, saya Raveena."

Gadis itu mengulurkan tangan, lengkap dengan senyuman manisnya, membalas salamku. Dia sangat cantik. Kulitnya putih dan bersih, matanya coklat jernih, tubuhnya proporsional. Entah kenapa dia memilih menjadi karyawan toko kecil seperti ini alih-alih menjadi model iklan.

"Kania. Kania Fara," katanya menjawab sapaan perkenalanku.

"Kania cantik banget hari ini. Terima kasih sudah memenuhi undangan interview dari kami." Aku memulai sesi interview.

"Jadi kamu masih kuliah? Bisa diceritakan enggak kegiatan kamu?" Aku menyamankan posisi dudukku. Biar bagaimanapun, aku adalah pemilik toko kecil ini. Aku mesti menampilkan wibawa dan kharisma seorang pemimpin, bukan.

"Betul. Saat ini saya semester akhir, Kak. Skripsi saya sudah hampir selesai, jadi saya memutuskan untuk melamar pekerjaan untuk tambahan biaya kuliah. Terus terang, ini sudah tahun ke lima saya kuliah, dan saat ini orang tua saya sedang kesulitan untuk membayar kuliah saya." Kania menunduk, raut wajahnya seperti menahan kesedihan.

"Kegiatan kamu selain kuliah apa?" tanyaku hati-hati.

"Tidak ada. Selama ini saya hanya mengandalkan uang saku dari orang tua. Tidak ikut kegiatan apapun di kampus."

"Pengalaman part time, sama sekali tidak pernah?"

Dia menggeleng. Kembali menampilkan senyuman manisnya. Dia memakai kemeja warna coklat, dengan celana jeans biru gelap. Penampilannya bisa dibilang cukup sederhana, tapi dia begitu menarik dipandang.

"Apa kamu terbiasa menggunakan media sosial?"

"Iya, Kak. Saya punya akun Instagram, Twitter dan TikTok. Saya sedikit-banyak tahu tentang memasarkan produk menggunakan media sosial. Jadi saya pikir, saya cocok bekerja di VeeStore."

Aku tidak menampik kalau Kania sangat mencuri perhatian. Aku yang seorang wanita saja bisa tidak bosan memandang wajah ayunya. Di luar ceritanya tentang kesulitan keuangan, aku memang tertarik untuk menerima dia di VeeStore. Ketika aku memberikan penawaran untuk ikut terlibat dalam pemasaran, dia sangat bersemangat. Bahkan ketika aku mengajukan gaji yang bisa VeeStore berikan-yang tentu saja-belum mampu aku berikan lebih dari UMK di kota ini.

"Hanya enam jam. Karena kami berencana ada dua orang dengan dua shift yang berbeda. Kami sadar kalau kami belum mampu memberikan teman-teman gaji yang memadahi, makanya jam kerjanya juga tidak penuh," terangku kepada Kania sebelum menutup sesi wawancara hari ini.

"It's okay, Kak. Menurutku ini sudah lebih dari yang aku perkirakan."

"Baiklah, aku harus diskusikan dengan partner-ku dulu. Terima kasih sudah datang. Aku akan memberitahukan hasil wawancara ini sesegera mungkin." Aku berdiri, mengulurkan tangan ke arah Kania. Gadis itu tersenyum, mengucapkan terima kasih untuk kesempatan yang aku berikan.

Aku pikir, Yuda akan menyetujui pilihanku. Kania adalah orang yang tepat. Dia bisa membantuku memasarkan produk dengan media sosial, juga tidak keberatan kalau sesekali menjadi model foto produk VeeStore. Aku mendongak ketika seseorang mengetuk pintu.

"Halo selamat pagi, silakan masuk." Aku tersenyum ramah kepada kandidat kedua yang aku panggil hari ini. 

Cinta di Keranjang BelanjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang