"Sampai kapan jarimu akan terus berdansa?"
Tepat seuntai tanya menyapa rungu Taehyung, pria itu benar-benar berhenti. Hening menjadi selimut tatkala Taehyung berbalik ke sumber suara, mendapati yang ia tunggu datang. Gaun putih gading membingkai elok tubuh gadisnya, gaun itu pemberian Taehyung sendiri.
Sangat cocok.
"Kau tidak bosan memainkannya setiap hari?" tanya pemilik paras jelita yang kini berada di hadapan Taehyung.
"Bagaimana aku bosan jika Für Elise masih jadi favoritmu?"
Sela jemari Taehyung lebih dulu terisi lentik milik gadisnya. Serasi dengan telapak besarnya yang dominan menggenggam, lantas dibubuhkan kecupan lembut pada punggung tangan sang puan.
"Kau selalu membuatku menunggu."
Sang gadis merunduk dalam-dalam. Melipat lutut yang terbenam di balik gaun mengembang, merayu ain pekat milik Taehyung untuk beradu.
"Apa aku dimaafkan jika kita berdansa?"
Sejemang kemudian Taehyung mengambil alih permainan. Memimpin ayunan seirama gumam merdu. Piano di sudut ruang menjadi penonton tuannya sedang berbunga.
Menyelam pada segara asmara, Si Nona bergaun indah. Tapi Taehyung lupa, gadisnya tidak terlalu banyak bicara. Membiarkan Taehyung kenyang akan pesona. Menyisakan bising dari papan kayu tersapu juntaian gaun berenda.
"Tae,"
Gema selembut afeksi si empu menyedot Taehyung untuk kembali menguasai pijakan yang mulai berantakan. Mengurutkan kembali Do-Re-Mi seperti semula.
"Tae, aku jatuh cinta." semu menjadi rona, makin kentara.
Astaga, Taehyung meminta jantungnya untuk bertahan dan tidak meledak saat itu juga.
"Pada siapa?" suara paling lembut yang pernah Taehyung cipta.
"Pada seorang Tuan dari tanah seberang," ain sewarna perak itu kini menatap Taehyung, bahagia tumpah melalui binarnya, sedangkan Taehyung kepayahan menelan ludah.
"B-Bagaimana perangainya?" pemuda Kim itu kelu sebab gelembung harapan akan namanya yang disebut buyar. Meletus jadi remahan.
"Pemuda yang manis, lembut, dan pecinta jingga."
'Aku pun mencintai jingga.' hati Taehyung menyalak tidak terima.
Taehyung bisu. Air muka tidak lagi secerah diawal, mendung endapi paras rupawannya. Nimbostratus kungkung bumantaranya. Miris sekali saat Taehyung buat senyum pada bibir kering memucat. Matanya tidak turut menyabit sebagaimana ia tenggelam dalam luapan rasa.
Sumpah. Hati kecil Taehyung menangis melihat binar pada sekembar perak itu bukan untuknya.
"Dia manis seperti es krim, Tae."
"Tapi es krim dingin," Taehyung menyela sembari palingkan muka.
"Dingin tapi lembut, " seulas senyum lembut itu makin meremat sumbu bahagia, "dia memberi tiap hal sebuah nyawa, Tae. Dia abstrak dengan caranya sendiri."
Taehyung sudahi dengan dehaman dan merapat kembali pada pianonya. Mungkin piano itu pun sedang mengasihi sang tuan. Duduk senyaman mungkin pada kursi kecil dan mulai menekan tuts tanpa arah, membiarkan kemarahan bergrilya di atas hitam putih ciptakan sumbang.
"Apa kau punya seseorang seperti Tuan di tanah seberang juga? Maksudku seseorang yang bisa membuatmu hidup saat bersamanya."
"Ada," jawaban lugas Taehyung merubah atmosfer, "dia kotak kejutan paling gila. Banyak bertanya entah sungguh tidak tahu atau ingin berbicara lebih lama."
"Ceritakan lebih banyak, Tae. Aku ingin dengar."
Decihan lirih menguap. Amarah Taehyung bergumul diujung jemari, mengundang kebiasaan lidahnya yang menusuk dinding pipi tirusnya berlanjut menggigit ujung bibir.
"Dia penuh ambisi, saat bersemangat akan meledak seperti kembang api, tapi dia amat ceroboh."
Sang Nona mengulum senyum, "Kau tahu betul bagaimana ia."
"Sama bukan? Kau tahu betul bagaimana Tuanmu."
Presepsi anggun itu mengikis jarak, merengkuh lembut punggung lebar kepunyaan Taehyung. Sebelah tangannya memejamkan kelopak mata sewarna arang, menyalurkan sejuk meredam bara yang nyaris menghanguskan si empu.
Taehyung melunak.
Cih, mudah sekali dimatikan dengan gelenyar teduh pemilik aroma embun pagi. Hingga debar makin riuh disusul lelehan lahar dari balik kelopaknya yang terpejam. Dalam hitungan sekon Taehyung dikungkung segala serapah untuk dirinya sendiri.
Dari lipatan lengan ia mengangkat wajah kuyup memprihatinkan. Terbangun di atas piano karena terus memainkan Für Elise yang malah mengantarkan gema nina bobo. Dengan isak tersisa Taehyung kembali menekan tuts piano.
'Dia selembut selimut ibu, dia mencintai jingga sebagaimana abu pekat yang endap pada ainnya, dia memberikan cinta pada siapapun dan memberikan nyawa pada setiap hal yang ia suka. Dia sekotak cinta untuk dunia.'
Tangis Taehyung makin sedu didengar, kian pilu mengemis kasih pada semesta.
'Aku tahu semesta pun mencintainya, mencintai Tuanku yang datang dari seberang dimana acap kali kuajak bincang di bawah lintang. Kutitipkan kecup pada udara dan lukisan-lukisan kesukaannya, agar turut merayakan lahirnya ia.'
'Selamat ulang tahun, Tae. Selamat akhir tahun untukmu, Tuan.'