“Ayo kita main ludo, yang kalah harus menelepon nomor baru yang diacak oleh pemenangnya, jika nomornya tidak aktif maka akan dicoba lagi sampai dapat menghubungi nomor yang aktif. Jika diangkat, maka yang kalah harus mengajak orang yang punya nomor berbicara. Bagaimana?” Gadis bermata coklat itu menaikturunkan alisnya sembari tersenyum lebar.
“Ha? Hukuman macam apa itu. Menelepon nomor acak? Seperti kembali ke zaman dulu saja!” Gerutu perempuan berkerudung merah jambu.
“Ya tidak apa-apa, dong! Sambil nostalgia juga, kan?” Dua orang gadis lainnya mengangguk menyetujui ide tersebut.
Syifa Atiah, seorang perempuan lugu yang akhir-akhir ini sedikit nakal. Bagaimana tidak, dia selalu mengerjai teman-temannya pada setiap kesempatan, contohnya seperti malam ini, mengajak mereka bermain ludo dan mengajukan hukuman yang tidak masuk akal. Apa lagi maksudnya? Tentu saja untuk mengerjai tiga temannya, Andin, Arifa dan Dina. Dina yang menolak pun tidak bisa berbuat apa-apa, selain mengikuti alur yang dibuat Syifa. Toh, suaranya kalah, tiga lawan satu.
Mereka sedang berada di Madrasah melakukan malam bina iman dan taqwa atau yang sering dikenal dengan “MABIT”. Saat ini detak waktu menunjukkan pukul setengah dua belas malam, santriwati diberikan waktu untuk tidur sekitar dua jam sebelum nanti dibangunkan kembali untuk sholat malam. Semua santriwati sudah beristirahat dengan pulas, kecuali empat sekawan ini. Bagi mereka, selain untuk menuntut ilmu, MABIT adalah kesempatan untuk bersenang-senang. Ya, maklum saja, pagi sampai sore mereka kuliah di kampus yang berbeda dan malamnya harus mengaji. Seperti itu terus hingga Jumat.
Mereka asyik bermain, sesekali tertawa ketika berhasil menyingkirkan lawan sehingga harus kembali memulai dari awal. Hingga teriakan frustasi dari salah seorang diantara mereka mengakhiri permainan tersebut.
“Yahhh.. Kok aku yang kalah, sih!” Syifa mendelik kesal.
“Hahaha, rasain kamu Fa kena batunya.” Dina terbahak mensyukuri nasib Syifa yang malang.
“Mana HP kamu sini Fa,” ucap Andin yang tidak sabar memberi hukuman.
“Jangan curang ya Fa,” Arifa menimpali.
“Iya, iya. Tenang saja, aku orangnya bertanggungjawab kok sama ucapan sendiri,” ucap Syifa sambil mengeluarkan ponsel dari saku gamis hitamnya.
“Berapa nomornya?”
“Nol delapan lima dua” ucap Arifa memulai aksinya.
“Delapan dua dua dua” Andin melanjutkan.
“Mana ada nomor seperti itu?” celetuk Syifa.
“Udah diam aja, siapa tahu ada, kita mau buat nomor cantik,” timpal Andin.
“Tiga delapan dua dua.” Dina mengakhiri dengan nomor yang tidak kalah cantiknya.
Syifa hanya geleng-geleng, kemudian menghubungi nomor tersebut. Tak lupa menekan tombol pengeras suara agar teman-temannya juga bisa mendengar.Tut...
“Tersambung!” Sorak Dina bertepuk tangan.
“Kuharap yang mengangkatnya adalah seorang laki-laki,” ucap Andin kemudian menutup mulutnya seperti orang yang salah bicara. Dina menempelkan telunjuk di bibirnya menyuruh Andin diam.
“Assalamualaikum”
Benar saja, irama baritone menyapa telinga Syifa dan teman-temannya. Syifa mengeryit, bagaimana caranya dia mengajak seorang laki-laki berbicara. Dia bahkan tidak pernah bercakap melalui telepon dengan laki-laki, tentu saja kecuali ayah dan abangnya.
Arifa mengangkat jari-jarinya, mengisyaratkan agar Syifa memulai pembicaraan. Andin dan Dina mengiyakan.
Beberapa kali suara di seberang sana mengucapkan salam, tapi Syifa masih bergeming. Hingga akhirnya dia memberanikan diri untuk membuka suara.“Walaikum salam.”
“Siapa? Perlu apa ya malam-malam menelepon?”
“Kamu kenapa belum tidur? Nanti telat bangun tahajjud lho.”
Klik.
Setelah mengucapkan hal tersebut, Syifa mematikan teleponnya. Syifa benar-benar malu, entah apa yang diucapkannya barusan, dia hanya mengucapkan apa yang terlintas di pikirannya saat itu. Tapi sekarang dia malu, bisa-bisanya dia mengingatkan orang untuk tidur dan bangun tahajjud, sementara dia sendiri belum tidur.
“Cieee Syifa, ngingetin tahajjud.” Andin terkekeh geli, dia menyikut lengan Syifa.
“Sendirinya belum tidur, tapi ngingetin yang lain buat tidur biar sholat tahajjud. Syif, Syif,” ujar Arifa menggelengkan kepalanya.
“Udah ah, aku mau tidur. Bye,” Syifa menarik selimut sampai kepala.
“Eh Syif, nanti napasmu hilang.” Dina berkelakar.
Syifa tidak menjawab, Ia tenggelam dalam pikirannya.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَا لَا تَفْعَلُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?
Surah Ash-Shaff ayat dua mengisi penuh kepala Syifa. Arifa benar, bagaimana bisa Ia mengatakan sesuatu yang tidak Ia kerjakan sekarang. Itu pantang bagi Syifa. Hari sebelumnya dia memang tahajjud dan sebenarnya tidak apa-apa kan dia berkata seperti tadi? Hanya hari ini saja dia melanggar, itupun belum melanggar.
Pikiran Syifa berkecamuk, satu membenarkan, satu lagi menyalahkan.Syifa mengintip dinding dari balik selimut, pukul satu malam. Artinya dia masih punya waktu setengah jam untuk tidur dan bangun untuk tahajjud, agar Ia terhindar dari salah satu ciri orang munafik.
Sementara itu di tempat lain, seorang lelaki beralis tebal bak Harshad Aurora tampak bingung meletakkan ponsel hitam yang sedari tadi dalam genggamannya. Otaknya terlalu keras untuk berpikir sehingga lupa bahwa dia sudah terlalu lama berdiri di depan TV.
“Seorang perempuan menelepon menyuruh tidur agar bisa bangun tahajjud ke ponsel papa?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Tidak Sengaja
Teen FictionLudo, sebuah permainan yang mengawali kisah baru dalam hidup gadis manis itu. _________________________________ Halo teman-teman... Kali ini aku kembali dengan cerita baru. Teman-teman yang sudah baca, bolehlah ya tinggalkan jejak dengan komentar...