Jam 08.30 malam.
Setidaknya, itu menurut perkiraanku. Aku sudah setengah jam lebih berdiri di sini—balkon kamar tidurku. Kebiasaan yang delapan tahun terakhir aku sukai. Karena, ayolah, coba kalian nikmati waktu sendiri di saat malam sambil menatap langit. Cobalah naik ke atap rumah kalian, atau singkap tirai jendela rumah kalian. Lihatlah ke atas sana.
Jika kalian beruntung seperti aku pada malam ini, maka yang akan terpampang di atas kepala kita adalah langit gelap yang indah—ditaburi bintang-bintang dan bulan sabit menggantung.
Aku selalu suka melihatnya. Rasa lelahku sehabis seharian bekerja bagai menguap.
TIN! TIN!
Suara klakson mobil menggema keras dari bawah sana. Aku terlonjak kaget. Ah, mengganggu saja! Sesaat aku menatap ke bawah—ke arah mobil Porsche Cayman putih yang tengah melaju menuju garasi rumahku.
Aku menghela napas sesaat. Apa itu klien Ayah lagi? Bukankah setahuku Ayah selalu keberatan didatangi tamu lewat jam enam malam?
Dan, meski penampakan mobil-mobil mewah seperti itu tidak mengejutkan lagi untukku—juga semua orang di rumah ini, tetap saja terlihat keren. Sesaat aku tidak yakin itu tamu Ayah.
Tapi, biar sajalah. Mari kita lihat lagi pemandangan langit yang indah di atas sana. Aku tersenyum, menyibak rambut hitamku sejenak. Mataku kembali menatap, termangu.
***
Pintu kamarku diketuk.
Aku menghela napas lagi. Sepertinya kegiatan memandang langit ini harus disudahi dulu. Setelah menutup pintu balkon, aku membuka pintu.
"Maaf mengganggu, Non," Bi Arum—kepala asisten di rumahku—tersenyum meminta maaf. "Tapi, Tuan memanggil Non Kaila ke bawah. Makan malam bersama tamunya."
"Nggak apa-apa, Bi," Aku tersenyum maklum. Kebetulan aku memang belum makan malam. "Aku akan turun sebentar lagi—eh, tunggu, Bi. Itu tamu dari kantor?"
"Sepertinya bukan, Non. Laki-laki, sepertinya lebih tua beberapa tahun di atas Non Kaila."
"Dan, Non Kaila, Bibi sebenarnya khawatir kalau Non makan terlalu malam. Non harus menjaga kesehatan juga," sebentar Bi Arum menatapku khawatir.
Aku tersenyum lagi. Bi Arum memang asisten yang paling dekat denganku. "Jangan khawatir, Bi. Tadi aku terlalu capek, makanya langsung ke kamar."
Setelah Bi Arum pergi, aku cepat-cepat mengganti baju. Mungkin tamu itu secara khusus memang datang untuk makan malam di sini.
***
Aku menuruni tangga rumah yang berlapis karpet motif. Lalu berjalan cukup lama memasuki koridor yang panjang—penuh guci antik favorit Ayah. Berbelok lagi, baru aku tiba di ujung koridor menuju ruang makan. Tinggal selangkah, dan aku akan segera masuk.
Aku terengah sesaat. Rumah ini baru terasa terlalu besar saat aku sedang lelah. Entah apa tujuan Ayah membangun rumah berlantai tiga ini. Padahal, Ayah dan Ibu cuma punya satu anak—ya, aku.
"Ah, Kaila!" Ayah menyambutku riang. Matanya melirik sesaat pria di sampingnya. Aku menelan ludah sesaat. Kenapa Bi Arum tidak bilang kalau dia setampan ini?
Badannya tinggi besar, mengenakan kemeja putih yang lengannya digulung. Rambutnya cokelat dengan manik mata yang juga cokelat. Alisnya tebal, hidungnya mancung, bibirnya tipis kemerahan—yang tengah merekahkan senyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHKOTA & ARTEFAK
RomanceDua CEO ternama, Prasasti dan Kaila, akhirnya bertemu kembali setelah tiga belas tahun lamanya. Bersama-sama mereka meniti perjalanan cinta yang panjang dan penuh ombak, dikelilingi orang-orang yang mencintai dan dicintai mereka. Akan tetapi, semua...