SEPERTI SENJA***
Sore itu langit kian menjingga kala Bintang memutuskan untuk menilik jam tangannya. Selepas pulang dari sekolah, dia memutuskan singgah sebentar ke kedai oren. Setakat memirsa lukisan masterpiece yang baru saja dipajang di sudut istimewa kedai itu. Cakrawala pernah bilang, mengapa sudut itu diberi nama ‘sudut istimewa’ – katanya…
“Kata Bos gue, mereka yang pernah patah, melangitkan suara hatinya lewat aksara disana. Gue juga nggak cukup mengerti sepenuhnya, kenapa tempat itu disebut sudut istimewa waktu itu. Tapi dia bilang, kalau orang-orang menitipkan lara-lara itu disana. Yang kalau kita buka satu-satu, luka satu dengan yang lain pasti berbeda. Katanya juga, setiap luka itu istimewa, Tang."
“Emang istimewanya apa?” Tanya Bintang malam itu, saat late night melancholy mengudara dengan tenangnya dan memenuhi setiap ruang sendu kedai oren.
“Dengan luka, jiwa kita seperti ditempa, Bintang! Kita dipahat untuk dibentuk jadi insan yang lebih kuat, lebih baik. Supaya kita nggak gampang patah dan nggak rapuh kaya puih kayu.” Tatap keduanya bertemu dalam kehampaan yang membentang dalam sepersekian detik.
Jika memang harus dijabarkan, bukan hanya sudut itu yang istimewa. Tetapi seluruh tempat ini, sebuah loka dimana sebagian anak manusia mengobati kekecewaannya disini. Dengan panorama milik sang pencipta yang mereka sebut sebagai langit senja.
Setelah cukup lama berdiam di depan motor bututnya, gadis itu akhirnya mulai membina langkah untuk masuk ke kedai. Dan lonceng tempat itu berbunyi saat gadis itu purna menjejakkan kakinya ke dalam sana. Lampu kedai telah menyorot hangat para pelanggan yang tengah menikmati secangkir Frappucino.
Netranya menyapu seluruh keadaan yang tertangkap mata. Dan sama seperti hari-hari sebelumnya, tempat itu telah disesaki oleh mahasiswa ataupun pelajar galau yang mengagumi sajak puisi ditemani secangkir kopi.
Ada banyak hal yang begitu menarik dari kedai oren. Dulu, Bintang pernah menjumpai sebuah lukisan yang mampu membuat sebagian nuraga nya bergetar. Resonansi asing itu singgah kala netranya menatap lukisan empat bunga matahari yang telah layu, seolah bersinar diantara sapuan midnight blue. Langitnya berpendar biru kemewahan. Namun sayang jarak antar keempatnya terlampau renggang hingga dia menyadari satu diantara bunga matahari itu nyaris tumbang. Ilustrasi yang seolah ada dia di dalamnya. Bintang menyebutnya dengan kisah yang tidak asing.
Kini, netranya jatuh pada meja konter tempat Cakrawala. Namun sosok itu kini tak ada disana. Gadis itu membina langkah dengan pelan. Ini bukan kali pertama dia ke tempat ini. Biasanya Bintang akan datang berdua dengan Naruna, namun hari ini – Bintang sama sekali tak bertemu dengannya. Terkadang, hanya untuk melihat betapa indah citra kirana senja yang melebur bersama jingga. Tabiat keduanya tidak banyak berbeda, sama-sama mengagumi panorama fana atas pulangnya sang baskara.
Sesederhana itu bahagia yang mereka cari. Namun katanya, dunia bukan tempat untuk berbahagia. Ada tempat yang lebih pantas untuk mengecap itu semua – terlebih untuk orang seperti Naruna.“Sesekali lo juga boleh menangis. Jangan hanya menghela napas berkali-kali.”
Langkah Bintang berhenti, tepat di belakang siluet dua insan yang tengah berdialog. Dalam sekali tatap, Bintang mampu mengenali siapa mereka.
Mereka, Naruna dan Cakrawala.
Naruna menatap Cakrawala dengan datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seperti Senja
Short Story[COMPLETED] Sama seperti Senja, Bintang mengharapkan kehadiran Naruna lebih lama.