Tamu Itu

2 0 0
                                    

"Oh, ini rupanya anakmu yang bernama Hilya, cantik, Juf!"

Aku hanya tersenyum kaku menanggapi kata-kata lelaki yang kutebak seumuran dengan bapakku. Tapi, kok rasanya ada yang janggal dengan tatapannya padaku? Dia tersenyum misterius sambil mengerling nakal. Ah, sudahlah, mungkin hanya perasaanku saja yang terlalu sensitif.

"Siapa dia, Bu? Teman bapak?"

Aku berusaha menghalau pikiran burukku tentang tamu tadi dengan menanyakannya kepada ibuku.

"Iya, Hil, dia kawan bapakmu sewaktu SD, dulu." Jawab ibu sambari membereskan cangkir dan sisa makanan yang kurasa dihidangkan pada tamu tadi. "Tadi ada urusan katanya di daerah sini dan kebetulan ketemu bapakmu. Jadinya, ya, mampir sebentar." Lanjut ibu dan berlalu ke dapur.

"O iya, Bu, katanya, Mas Fikri masih tinggal setengah bulan lagi yang mau pulang. Kok aku ngerasa lama banget ya, Bu yang mau melewati masa lima belas hari itu?"

"Sabar, lah Hil...... kayak pengantin baru aja kamu. Padahal sudah hampir empat tahun kalian menikah."

"He...., iya, ya Bu. Habisnya aku cinta banget sama mas Fikri. Sehari aja gak ketemu, udah kayak seminggu tahu, Bu."

Aku hanya bisa tersenyum malu di depan ibuku yang sering kali menjadi tempat curhatku kala suamiku dinas di luar kota. Aku tidak sungkan untuk mengekspresikan emosiku tatkala ribut-ribut manja dengan suamiku. Bapak-ibuku adalah tipe orang tua yang terbuka dan tidak kaku pada anaknya. Hal inilah yang memicu keakraban dan kehangatan di keluarga kami.

Aku masih berdiri di belakang ibuku, memperhatikan beliau yang sedang mencuci piring tanpa ada keinginan membantunya.

"Gimana tadi ngajarnya, Hil? Katanya ada guru baru di sekolahmu?"

Aku tidak tahu ibu mendengar dari siapa perihal guru baru di sekolah tempat aku mengajar.

"Ya, nggak gimana, Bu. Seperti biasanya aja. Ibu tahu dari mana kalau ada guru baru?"

Sampai pada kalimat kulli lamhatin dari shalawat nariyah yang tak sengaja kubaca dalam hati, sebab teringat tugas materi Imla' di sekolah untuk besok, ibu masih belum menjawab pertanyaanku. Kuulangi sekali lagi, "tahu dari mana, Bu, kalau ada guru baru?"

"Hah, gu-ru baru, maksudnya?"

Gugup. Sangat kentara dari nada bicara ibuku.

"Loh, tadi kan ibu nanya guru baru di sekolah?"

"Ih, apa, sih Hil. Siapa yang ngomong guru baru? Orang ibu tadi cuma nanya gimana tadi ngajarnya."

Masa ibu lupa sama perkataannya yang tadi? Atau aku yang salah dengar, ya? Habisnya guru baru itu jadi tranding Topic, sih di kalangan guru perempuan. Jadinya mungkin aku kebawa pikiran.

Ah, aku kok jadi sibuk dengan pikiranku sendiri sih? Udah ah.

"Heh, salah dengar paling aku ya, Bu? Udah ah,  aku mau istirahat di kamar dulu, capek."

Bersamaan dengan ibu yang sudah mengelap tangannya, akupun berlalu meninggalkan dapur dan merebahkan diri di kamar. Aku rindu dengan suara mas Fikri. Kubuka aplikasi WhatsApp untuk menghubungin huya lewat video call. Tapi, layar ponselku tak menampilkan kata berdering yang artinya mas Fikri sedang tidak online.

*

**

Tapi, Pak...kamu tega sama mereka? Tega memisahkan mereka yang sudah bahagia?

Yang ketigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang